“Barangsiapa yang tidak menyayangi 
anak-anak muda dan tidak mengetahui hak (dalam riwayat yang lain: tidak 
menghormati) orang-orang dewasa, maka ia bukanlah golongan kami.”[1]
Muhammad Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam 
adalah seorang nabi, bukanlah semata-mata seorang pemimpin yang bijak 
ataupun seorang pemikir yang jenius saja. Karena jika tidaklah demikian 
maka tidak mungkin ia akan menempatkan masalah sayang pada yang muda 
serta hormat pada yang tua ini pada kedudukan sedemikian tingginya. 
Cobalah anda perhatikan akhir sabdanya itu… bukanlah golongan kami…
 Apa makna katakata ini?! Orang yang tidak menghormati yang tua dan 
menyayangi yang muda adalah bukan golongan Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa 
Sallam, atau dengan kata lain bukan ummat Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi 
wa Sallam!
Subhanallah.. Betapa malangnya dan 
betapa meruginya mereka yang datang di  hari Kiamat kelak dengan 
berbagai pahala tetapi tidak diakui sebagai ummat beliau Shalallahu 
‘Alaihi wa Sallam. Mengapakah sampai sedemikian keras ancaman beliau 
Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam itu?!
Sebagaimana saya katakan di awal tulisan ini, karena beliau adalah seorang Nabi! 
Seorang pemikir yang brillian ataupun 
seorang pemimpin yang bijak tidak akan demikian tinggi menempatkan 
permasalahan ini, cukuplah kalau beliau mengatakannya sebagai sebuah 
keutamaan atau kebaikan belaka.
Tapi sebagai seorang nabi, Rasulullah 
Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam telah menganggap masalah hilangnya 
penghormatan pada orang dewasa dan lenyapnya kasih-sayang kepada orang 
muda sebagai sebuah masalah besar, dan bahkan beliau Shalallahu ‘Alaihi 
wa Sallam memasukkannya dalam salah satu bentuk pengagungan terhadap 
kebesaran Allah Subhanahu wa Ta’ala. Simaklah sabdanya yang lain berikut
 ini: “Sesungguhnya termasuk dalam mengagungkan ALLAH adalah memuliakan 
orang-orang tua…”[2]
Lebih jauh dari itu dengan wahyu 
kenabiannya beliau Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam juga memerintahkan 
kepada seluruh kaum Muslimin agar penghormatan kepada yang lebih tua ini
 diaplikasikan dalam realitas kehidupan keseharian, seperti dalam etika 
berbicara, beliau Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam selalu memerintahkan agar
 hendaklah dimulai oleh yang lebih tua, sebagaimana dalam tegurannya 
kepada Abdurrahman bin Sahl yang memulai pembicaraan, padahal ia adalah 
yang termuda ketika itu (dari kedua sahabatnya Huwayyishah dan 
Muhayyishah).[3]
Demikian pula dalam mengangkat seorang 
menjadi pemimpin jika keilmuan dan keagamaannya setara hendaklah 
didahulukan yang lebih tua,[4]
 kecuali jika keilmuan dan keagamaan berbeda maka haruslah didahulukan 
ilmu dan agamanya, sebagaimana dalam sabdanya Shalallahu ‘Alaihi wa 
Sallam: Yang paling berhak menjadi Imam bagi suatu kaum adalah yang 
paling menguasai kitabuLLAH, jika dalam hal tersebut sama derajatnya 
maka yang paling menguasai as-Sunnah, jika sama pula maka yang paling 
dahulu hijrah, jika sama hijrahnya maka yang paling tua…”[5]
Beliau Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam tak 
henti-hentinya mengingatkan, menegur dan memperbaiki ummatnya agar 
senantiasa menempatkan para senior lebih dahulu dari yang lebih yunior, 
seperti dalam barisan shalat berjama’ah beliau Shalallahu ‘Alaihi wa 
Sallam senantiasa berpesan agar barisan pertama diisi oleh para ahli 
ilmu dan yang lebih senior.[6]
 Demikian seterusnya sampai pun dalam menguburkan orang yang meninggal, 
beliau selalu menanyakan mana yang lebih berilmu? Dan jika sama dalam 
keilmuan dan keagamaan maka beliau Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam 
memerintahkan agar yang lebih senior didahulukan penguburannya.[7]
Tentunya apa yang beliau lakukan dan 
biasakan untuk kita lakukan ini tidak berarti membolehkan seorang senior
 menyombongkan diri dan membangga-banggakan senioritasnya. Hal ini 
adalah sikap yang sangat tercela dan bukanlah menjadi bagian dari 
pembahasan kita. Sifat sombong adalah tercela baik karena alasan apapun,
 apakah karena ilmu, kedudukan, senioritas bahkan karena merasa lebih 
taqwa sekalipun adalah diharamkan dan sangat dicela dalam Islam, firman 
Allah Subhanahu Wa Ta’ala: “… Dan janganlah kamu merasa dirimu itu suci,
 karena Dia-lah yang lebih mengetahui siapa yang lebih bertaqwa 
(diantaramu).” (QS An Najm, 53: 32).
Yang beliau Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam
 tanamkan adalah sifat tawadhu’ (rendah hati) dan menyayangi bagi yang 
senior dan sebaliknya beliau Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam menanamkan 
agar para yunior mendahulukan dan menghormati yang lebih senior. 
Alangkah indah dan serasinya, sehingga kedua sikap ini akan berkelindan 
dan bertemu ditengah-tengah dalam hubungan yang sangat erat dan 
mendalam, antara kasih-sayang dan penghormatan, antara rendah hati dan 
penghargaan. Subhanallah…
Demikianlah pelajaran dan teladan beliau
 Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam kepada para sahabatnya, sehingga hal ini 
menjadi kebiasaan dan perilaku keseharian dikalangan generasi para 
sahabat dan salafus-shalih, sebagaimana perkataan sahabat Abu Said Al 
 Khudhriy Radhiyallahu ‘Anhu: “Ketika masa Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa 
Sallam aku masih remaja, dan aku banyak menghafal perkataan beliau 
Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam, tidak ada yang menghalangiku untuk banyak 
menceritakan hadits beliau Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam ketika itu 
kecuali karena pada saat itu masih banyak para sahabat yang lebih senior
 dari aku.” [8]
[1]
 Hadits Riwayat: 1. Abu Daud, kitab Al Adab, bab ar-Rahmah. 2. Tirmidzi,
 kitab Al Birru wash Shilah, bab Ma ja’a fi Rahmati Shibyan. 3. 
Di-shahih-kan oleh Albani dalam At Ta’liqu Ar Raghib (I/66); Lihat juga 
komentarnya dalam Shahihu Targhib wa Tarhib (I/117).
[2] HR. Abu Daud dengan sanad hasan, lihat dalam Takhrijul Misykah (4972), juga dalam Ta’liqu Ar Raghib (I/66).
[3] HR. Bukhari, kitab Al Adab, bab Al Haramu Al Kabir; Muslim kitab Al Qasamah.
[4] HR. Bukhari dalam Adabul Mufrad (147) dengan sanad yang hasan.
[5] HR. Muslim (hadits no. 291 dan 673).
[6] HR. Muslim (hadits no. 123 dan 432).
[7] HR. Bukhari III/170.
 
 
 
 
0 Komentar:
Posting Komentar
Kehormatan buat kami jika selesai baca Anda beri komentar atas Artikel ini....tapi, Mohon Maaf kawan Komentarnya yang sopan ya....he..he..he..