Mendengarnya pun, banyak
orang yang masuk Islam, menelaah dan mendalaminya semakin yakin akan
kebesarannya, memahami setiap huruf, kata, dan kalimatnya menunjukkan
keluasan ilmu yang terkandung di dalamnya. Inilah al-Qur’an al-Karim
yang menjadi pegangan pokok umat Islam di sepanjang hidupnya.
Allah
SWT tengah menurunkan 114 surat secara berangsur-angsur kepada
Rasulullah SAW (Al-Isra: 106). Sebaliknya, Dia menurunkan al-Qur’an
kepada orang yang hidup di masa ini secara sekaligus 114 surat tidak
lagi secara berangsur-angsur. Namun, kebanyakan orang kafir pada saat
itu meminta kepada Rasulullah SAW supaya al-Qur’an diturunkan secara
sekaligus (Al-Furqan: 32).
Bagaimana supaya kita dapat memahami
al-Qur’an? Ada logika sederhana penulis, jika kita hendak merasakan
manisnya air kelapa, tentu saja kita harus mempunyai alat seperti golok
untuk dapat membuka kelapa tersebut, tidak seperti monyet yang memegang
kelapa tetapi tidak tahu cara membuka manisnya air kelapa. Begitu juga
dengan al-Qur’an, jika ingin merasakan manisnya kandungan al-Qur’an dari
setiap huruf, kalimat dan ayatnya, tentu saja harus dibuka dengan
alatnya yaitu ilmu-ilmu al-Qur’an. Tidak seperti monyet ngagugulung kelapa,
Dalam terjemah arab, ilmu-ilmu al-Qur’an mempunyai arti ‘ulum al-Qur’an.
Al-Zarkasyi menyebutkan bahwa Ulumul Qur’an ada sebanyak tujuh ribu
ilmu (Al-Burhan: 2007: 7). Banyak sekali para sahabat yang menjadi Turjuman
al-Qur’an seperti yang populer adalah Ibnu Mas’ud, Ibnu Abbas, Ubay bin
Ka’ab, dan lain sebagainya. Hal ini menunjukkan bahwa al-Qur’an perlu
dijelaskan supaya dapat merasakan manisnya setiap kata dan kalimatnya.
Begitu
juga dengan para Ulama tafsir yang banyak menulis kitab-kitab tafsir
semata-mata hanya untuk memberikan pemahaman kepada orang di zamannya.
Seperti beberapa kitab yang dikelompokkan oleh al-Dzahabiy dalam bukunya
bahwa para ahli tafsir ada yang tergolong penafsirannya kepada ma’tsur yaitu yang hanya mengandalkan penafsiran dari aspek riwayat saja yakni upaya menjauhkan dari berbagai dakhil
yang infiltrasi terhadap setiap redaksi al-Qur’an (‘ilmu al-Tafsir:
1119: 64-68). Pun, ada yang membuka penafsirannya dari aspek ra’yi yaitu dengan cara mengandalkan kemampuan intelektualnya semata.
Kedua
pendekatan ini, jika dikaji dari aspek sosio kultural masyarakat pada
zamannya adalah upaya untuk menjawab karakter masyarakat pada setiap
zamannya. Misalnya, mengapa Zhilal al-Qur’an karya Sayid Quthb digolongkan sebagai tafsir harakiy
yakni tafsir pergerakan. Karena secara psikologi ia hidup dalam
kekangan politik, sehingga dalam setiap redaksi tafsirnya mempunyai
motivasi untuk selalu menjadi penggerak sebuah gerakan Islam.
Sangat
berbeda dengan kitab Ibnu Katsir yang berusaha untuk membebaskan tafsir
dari aspek israiliyat yakni dongeng-dongeng tanpa sumber yang jelas
pada zaman yang banyak membuat cerita dinisbatkan terhadap ayat
al-Qur’an. Karenanya, penafsirannya pun sangat berbeda dengan karakter
tafsir Sayid Quthb. Begitu juga dengan kitab-kitab tafsir lainnya
seperti al-Raziy dan al-Zamakhsyari, dan banyak lagi yang lain.
Karena
ilmu tafsir adalah bagian dari Ulumul Qur’an, maka kebutuhan masyarakat
Islam terhadap tafsir al-Qur’an sangat besar sehingga dijaga dengan
pembukuan-pembukuan tafsir. Seperti, tafsir Mafatih al-Ghaib karya al-Razi (w. 606 H), Anwar al-Tanzil wa Asrar al-Ta’wil karya al-Baidhawiy (w. 691 H), Madarik al-Tanzil wa Haqa`iq al-Ta`wil karya al-Nasafiy (w. 701 H), Lubab al-Ta`wil fi Ma’an al-Tanzil karya al-Khazin (w. 741 H), al-Bahru al-Muhith karya Abu Hayyan (w. 745 H), Ghara`ib al-Qur’an wa Ragha`ib al-Furqan karya al-Naisabury (w. 728 H), Tafsir al-Jalalain karya al-Mahalliy (w. 791 H) dan al-Suyuthiy (w. 911 H), al-Siraj al-Munir karya al-Syarbainiy (w. 977 H), Irsyad al-‘aql al-Salim ila Mazaya al-Qur’an al-Karim karya Abu Su’ud (w. 982 H), dan Ruh al-Ma’aniy karya al-Alusy (w. 1270 H), al-Kasyaf ‘an Haqa`iq al-Tanzil wa ‘uyun al-Aqawil fi Wujuh al-Ta`wil karya al-Zamakhsyariy (w. 538 H), Fathu al-Qadir karya al-Syaukaniy (w. 1250 H), dan lain sebagainya.
Tujuan
adanya penafsiran terhadap ayat-ayat al-Qur’an adalah upaya untuk
membuka setiap rahasia yang terkandung dalam setiap lafazh ayat
al-Qur’an supaya dapat dipahami secara maknanya dengan kadar kemampuan
intelektualnya masing-masing. Kekayaan khazanah tafsir ini perlu
diteliti ulang tidak hanya menerima saja setiap apa yang termaktub di
dalamnya. Misalnya, penafsirannya al-Suyuthiy dalam al-Durr al-Mantsur fi al-Tafsir bi al-Ma`tsur di
dalam surat al-Bayyinah: 7 menafsirkan bahwa kata “Khair al-Barriyah”
itu adalah Ali dan pengikutnya yang akan mendapat keridhaan di hari
kiamat nanti. Kendati tafsir ini disebut ma’tsur tidak harus
seluruhnya diterima secara gamblang tetapi harus adanya penelitian ulang
atau pengkajian supaya lebih luas lagi. Karena banyak ulama tafsir yang
hanya sebagai pengumpul, tidak melihat shahih atau dhaifnya sebuah riwayat tersebut.
Lagi-lagi, dalam beberapa penafsiran ra’yi banyak sekali penafsiran yang berbeda seperti huruf al-Muqatha’ah ada yang tawaquf dengan hanya menyebut Allahu’alam bi Muradih (hanya Allah yang Maha Mengetahui Maksudnya), ada pula yang menerjemahkan secara harfiah seperti dalam kitab al-Khazin Kaf diartikan Karim dan Kabir, huruf Ha mempunyai arti Hadin, huruf Ya diartikan Rahim, huruf ‘ain dengan arti ‘alim, huruf Shad diartikan Shadiq.
Melihat
banyaknya perbedaan penafsiran dalam khazanah intelektual Muslim itu
menjadikan kita lebih kaya dengan ilmu, dan itu menandakan masih
terbukanya pintu ijtihad untuk memikirkan banyak hal, tidak semata-mata
berhenti di satu titik yang dianggap sudah mapan menyebabkan banyak
orang taklid pada satu kitab atau guru tidak ingin mengembangkan kembali
penafsiran-penafsiran yang sudah ada.
Pendekatan Ilmu Sains
Kemampuan
seseorang berbeda-beda dalam menafsirkan al-Qur’an, terkadang ada yang
mampu memahami al-Qur’an dari aspek matematika, psikologi, astronomi,
fisika, teknik, biologi, anatomi, teknologi, genetika, dan lain
sebagainya. Hal ini menunjukkan keluasan kandungan al-Qur’an yang
mencakup berbagai disiplin ilmu tidak hanya mengikat seputar kebahasaan
seperti balagah, nahwu, sharaf, ulumul qur’an seperti asbabun nuzul,
maki madani, nasikh mansukh, qashashul qur’an, ilmu tafsir, dan lain
sebagainya.
Ulumul Qur’an adalah sebuah pisau atau metodologi
untuk dapat membuka dan menelaah al-Qur’an secara lebih mendalam dan
luas sebagaimana beberapa kitab Ulumul Qur’an yang sudah popular di
kalangan umat Islam seperti al-Burhan Ulum al-Qur’an karya al-Zarkasyi, al-Itqan fi Ulum al-Qur’an karya al-Suyuthiy, al-Nasikh wa al-Mansukh karya Ibnu Salamah, al-Tibyan fi Ulum al-Qur’an karya al-Shabuniy, Mabahits fi ‘ulum al-Qur’an karya al-Qaththan, dan lain sebagainya masih banyak lagi.
Ini
sebuah metodologi, kita boleh mengembangkan secara lebih luas lagi jika
tengah menemukan teori-teori baru yang dapat memberikan pemahaman baru
terhadap umat Islam. Pendekatan al-Qur’an terkadang tidak hanya dapat
didekati dengan satu titik ilmu saja, namun memerlukan beberapa
pendekatan ilmu lain seperti kedokteran, psikologi, teknologi,
matematika, fisika, biologi, anatomi, genetika, dan lain sebagainya.
Misalnya, dalam surat al-Baqarah: 234 yang bermakna setiap istri yang ditinggalkan mati oleh para suaminya mempunyai ‘iddah harus menunggu selama empat bulan sepuluh hari jika hendak menikah lagi. Dalam teori usul fikih, maqashid dari adanya ayat ini adalah upaya Li Bara`ati al-Rahmi
artinya untuk melihat ada atau tidak adanya janin di dalam rahim si
perempuan tersebut. Logika saat ini, sekarang untuk melihat ada atau
tidaknya janin tak perlu menunggu sampai empat bulan sepuluh hari, cukup
dengan USG kita dapat melihat ada dan tidaknya janin tersebut sebelum
waktu yang dicantumkan dalam al-Qur’an.
Ayat tersebut seolah-olah
mentah dengan adanya perkembangan teknologi masa kini, seakan-akan tak
berlaku kembali apa yang disebutkan empat bulan sepuluh hari dalam
al-Qur’an itu. Akan tetapi, ada seorang pakar genetika, Robert Guilhem
yang menemukan ayat tentang masa ‘iddah perceraian di dalam
al-Quran surat al-Baqarah: 228 yang bermakna, para istri yang dicerai
hendaknya menunggu selama tiga kali suci. Para ulama sepakat tiga kali
suci itu adalah tiga bulan. Pertanyaan dari seorang Robert Guilhem,
mengapa harus menunggu selama tiga bulan?
Setelah sekian lama
meneliti, ternyata setiap perempuan yang menikah kemudian mereka
bercerai, maka bekas mantan suaminya dapat hilang selama tiga bulan,
sebelum tiga bulan bekas tersebut masih ada di perempuan tersebut,
apalagi setelah empat bulan sepuluh hari. Lihat lengkapnya Robert
Guilhem:
http://indonesia.faithfreedom.org/forum/robert-guilhem-gara-gara-iddah-masuk-islam-t49976/#p883179.
Hal
ini menunjukkan bahwa, al-Qur’an perlu pendekatan ilmu-ilmu al-Qur’an
dan beberapa aspek disiplin ilmu sains supaya lebih terasa manisnya bagi
orang yang kehausan, petunjuknya bagi orang yang dalam kegelapan, obat
bagi orang yang sedang sakit jiwanya, dan bagi semua orang yang hendak
menyelami lautan ilmu dan hidayah dari al-Qur’an.
0 Komentar:
Posting Komentar
Kehormatan buat kami jika selesai baca Anda beri komentar atas Artikel ini....tapi, Mohon Maaf kawan Komentarnya yang sopan ya....he..he..he..