Perjanjian Hudaibiyah yang baru saja dibacanya membuat Umar bin
Khattab ra gelisah. Bagaimana mungkin Rasulullah saw menyetujui
perjanjian itu? Perjanjian yang dibuka dengan lafaz “bismikallahumma” bukan “bismillahirrahmanirrahim”, perjanjian yang menggunakan kata “Muhammad bin Abdullah” bukan “Muhammad Rasulullah”, serta poin-poin politis lainnya.
Umar yang jeli segera bertanya pada Abu Bakar ra, “Wahai Abu Bakar,
bukankah beliau utusan Allah? Bukankah kita kaum Muslimin? Dan bukankah
mereka orang-orang musyrik?”
Semua pertanyaan Umar dijawab oleh Abu Bakar, “Ya”. Bahkan ia
menambahkan, “Tetaplah pada perintah dan larangannya. Aku bersaksi bahwa
ia adalah utusan Allah.”
Tak cukup menemui Abu Bakar, Umar bergegas menemui Rasulullah dan
mengajukan pertanyaan yang sama. Dengan nada tinggi Rasulullah menjawab,
“Aku adalah hamba Allah dan Rasul-Nya. Aku tidak menentang perintah
Allah dan Dia sekali-kali tidak akan menelantarkan aku.”
Kemudian Umar kembali kepada Abu Bakar dan bertanya, “Bukankah beliau menjanjikan kepada kita untuk memasuki kota Makkah?”
Abu Bakar menjawab, “Dan apakah beliau menjanjikannya tahun ini?” Jawaban Abu Bakar membuat Umar tersadar.
Karakter Umar yang kritis dan memiliki izzah tinggi,
terutama dalam masalah agama, mendorongnya bersegera melontarkan
pertanyaan tentang sesuatu yang menggelisahkan dirinya.
Sahabat, orang-orang yang kritis selalu melihat permasalahan dengan
sangat jeli. Ia mampu melihat masalah di balik masalah. Namun sifat
positif ini menjadi kurang baik ketika disampaikan dengan tergesa-gesa
dan tidak pada tempatnya.
Salahkah Umar ketika mempertanyakan kesepakatan Rasulullah? Tentu
tidak. Sesungguhnya Umar hanya perlu waktu dalam menerima isi perjanjian
Hudaibiyah.
Pertanyaan Umar sesungguhnya mewakili kegelisahan banyak sahabat.
Jawaban Rasulullah dan Abu Bakar juga seperti menjawab kegelisahan
banyak sahabat. Dalam hal ini, sifat kritis Umar membawa banyak
manfaat.
Tapi setelah peristiwa ini, Umar semakin rajin beribadah dan
bersedekah. Ia dianugerahi sifat kritis dan sensitivitas dalam penjagaan
hati yang begitu tinggi.
Bening hati Umar selalu menjadi penyeimbang sifat kritisnya. Ia tak
hanya memberi ruang bagi sifat kritisnya, tetapi juga memberi pengawasan
yang kuat sehingga tidak bertentangan dengan perintah Allah dan
Rasul-Nya.
Sering kali sifat kritis kita meluap-luap. Pertanyaaan ‘mengapa’
kerap menggema, bahkan yang terkait dengan ketentuan Allah swt.
Sayangnya kita tidak menindaklanjuti sifat kritis dengan amal shalih
sebagaimana Umar.
Kita terlalu percaya diri bahwa sikap kritis tak akan mengganggu amal shalih. Sanggupkah kita meneladani Umar? Wallahu a’lam bisshawwab.
0 Komentar:
Posting Komentar
Kehormatan buat kami jika selesai baca Anda beri komentar atas Artikel ini....tapi, Mohon Maaf kawan Komentarnya yang sopan ya....he..he..he..