Dalam kehidupan rumah
tangga, banyak sekali cara yang digunakan untuk berkomunikasi. Suatu
ketika suami dan isteri bisa berdiskusi dengan lancar tentang berbagai
macam tema. Mereka berdua mengobrol, bercerita, berdialog tentang
berbagai urusan rumah tangga hingga urusan dunia. Mereka bisa saling
mengungkapkan perasaan dan keinginan masing-masing dengan lancar, tanpa
kendala dan tanpa kekakuan suasana.
Namun relasi suami isteri
sering mengalami fluktuasi, kondisinya bisa sangat cepat berubah. Ada
masa dimana hubungan di antara mereka menjadi jauh dan berjarak. Mereka
berdua tidak bisa nyaman berdiskusi, tidak bisa jenak bercerita, tidak
bisa lancar berkata-kata. Suasana di dalam rumah terasa sangat kaku
bahkan sangat menyiksa. Ada suasana asing dan aneh yang menyelimuti
rumah tangga, sehingga mereka berdua memilih saling mendiamkan dan tidak
bertegur sapa.
Kadang ada keinginan yang
tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata. Saat isteri memendam banyak
sekali perasaan yang tidak bisa ditumpahkan dengan kata-kata, maka
mengalirlah air mata. Rata-rata kaum perempuan lebih mudah dan lebih
banyak menangis dibanding rata-rata laki-laki. Konon, rata-rata
perempuan menangis sekitar 47 (empatpuluh tujuh) kali dalam setahun,
sedangkan laki-laki hanya 7 (tujuh) kali saja. Tingginya hormon
prolaktin dalam tubuh perempuan diduga menjadi salah satu penyebabnya.
Ketika isteri menangis,
sesungguhnya ia sedang mengekspresikan perasaan dan mencurahkan
keinginan yang terpendam. Ia ingin mengungkapkan sesuatu, namun tidak
mampu dilukiskan dengan kata-kata. Mungkin perasaan sangat bahagia,
mungkin perasaan sangat terluka, mungkin perasaan sangat kagum, mungkin
perasaan sangat benci. Air mata lebih bisa mewakili perasaan yang ingin
diungkapkan dibandingkan dengan kata-kata. Ada sangat banyak
keterbatasan kata untuk mewakili suasana hati.
Bagi para suami,
hendaklah semakin pandai memahami bahasa komunikasi yang satu ini. Saat
melihat isteri menangis, pahamilah ia tengah berkomunikasi dengan bahasa
air mata. Oleh karena itu tidak layak bagi para suami untuk memarahi
isteri yang sedang menangis, atau memaksanya untuk diam. Apalagi jika
sampai mengancam dan menggunakan kekerasan dalam rangka membuat sang
isteri menghentikan tangisnya. Bukankah ia sedang berkomunikasi lewat
tangisnya, mengapa dipaksa diam ? Para suami harus bersedia mendengar
dan menampung tangis isterinya, sebagai bagian dari media berkomunikasi.
Ada sangat banyak pesan
yang bisa disampaikan lewat tangis isteri. Para suami harus semakin
pandai memahami pesan yang sedang disampaikan isteri lewat tangisnya.
Mungkin saja ada pesan seperti ini yang hendak disampaikan sang isteri
melalui tangis :
“Aku sungguh sangat mencintaimu”.
“Aku tidak ingin kehilanganmu”.
“Aku sangat bangga menjadi isterimu”.
“Suamiku, betapa bahagia hatiku berdekatan denganmu”.
Atau bisa jadi, ada pesan seperti ini :
“Engkau benar-benar tidak memahami perasaanku”.
“Engkau salah mengerti tentang diriku”.
“Engkau tidak pernah mempedulikanku”.
“Engkau tidak tahu betapa sangat sakit hatiku”.
Mungkin juga, isteri sedang mengirim pesan seperti ini :
“Aku kecewa sekali dengan sikapmu”.
“Engkau lelaki yang sangat kasar dan tidak berperasaan”.
“Aku sangat membenci perbuatanmu”.
“Malu sekali aku menjadi isterimu”.
Ketika selesai menangis,
ada perasaan lega. Seperti telah berhasil melenyapkan gunung yang
menghimpit tubuhnya. Perasaannya lebih nyaman dan suasana emosinya
menjadi lebih stabil. Apalagi ketika suami mendekat dan memeluknya
dengan penuh kasih sayang serta kelembutan, serasa perasaannya lebih
terdukung. Ia merasa memiliki arti dan dihargai. Ia merasa dimengerti
dan dicintai. Ia merasa benar-benar disayangi.
Namun apabila suami
berlaku keras dan kasar saat isteri menangis, justru akan memperpanjang
tangis sang isteri. Dipastikan suami akan gagal menangkap pesan
nonverbal yang disampaikan lewat tangis sang isteri, jika ia melakukan
tindakan kekerasan dengan memaksa isteri menghentikan tangisnya. Sungguh
sebuah tindakan bodoh memaksa isteri berhenti menangis dengan cara yang
keras dan kasar, karena pasti tidak akan berhasil.
Para suami harus
menyediakan kelapangan dada untuk menampung dan mendengarkan tangis sang
isteri. Jangan disikapi dengan cuek, pura-pura tidak tahu, sengaja
tidak mempedulikan, atau bahkan melakukan tindakan kekerasan untuk
memaksa menghentikan tangis. Pahamilah bahwa air mata merupakan salah
satu bahasa komunikasi, seperti bahasa komunikasi lainnya. Maka saat
isteri menangis, pertanda ia tengah mengajak berkomunikasi, dan suami
harus merespon komunikasi itu dengan bahasa yang tepat.
Kadang kala suami merasa
jengkel karena ia telah sangat lelah dan jenuh menghadapi permasalahan
di luar rumah. Ia telah sangat penat menghadapi persoalan di kantor
tempatnya bekerja, dan ingin ada suasana rehat di rumah. Ia ingin
istirahat dan ingin meringankan beban yang tengah dirasakan akibat
persoalan di dunia pekerjaan. Namun di rumah ternyata menjumpai suasana
yang tidak diharapkan. Sesampai di rumah ia menjumpai isterinya berlaku
asing dan sangat sensitif. Menyambut kedatangan suami dari kerja bukan
dengan senyum dan keramahan, justru dengan ledakan tangis.
Menghadapi situasi
seperti itu, para suami harus bersikap dingin. Tidak boleh emosional.
Para suami harus menyadari bahwa isteri dan anak-anak di rumah memiliki
hak untuk mendapatkan dirinya dalam suasana yang segar, selalu fresh.
Sebagaimana kantor tempatnya bekerja, ingin mendapatkan dirinya selalu
dalam suasana segar dan penuh semangat. Tidak layak kesegaran dan
semangatnya hanya diberikan untuk kantor, sementara pulang dengan
sisa-sisa tenaga. Sisa-sisa kesegaran, sisa-sisa perasaan, sisa-sisa
semangat saja yang dibawa pulang ke rumah.
Isteri selalu menjumpai
suami dalam suasana kusut saat di rumah, padahal isteri juga sedang
mengalami banyak masalah. Maka muncullah suasana sentimentil, dan
meledaklah tangis isteri di saat suami sedang menghendaki ketenangan.
Kondisi ini harus disikapi dengan tenang dan proporsional. Para suami
hendaknya membaca bahwa tangis sang isteri merupakan bahsa komunikasi.
Ada pesan yang hendak disampaikan lewat tangis itu. Kendati sedang dalam
suasana lelah dan jenuh, para suami harus bersikap dingin hati dan
sejuk pikiran. Hadapilah dengan sepenuh jiwa, bahwa itulah realitas
kehidupan yang senyatanya.
Kita tidak sedang hidup
di dunia sinetron atau sinema. Kita hidup di alam yang senyatanya. Maka
berbagai peristiwa kehidupan harus disikapi dengan bijaksana. Hadapi
tangis isteri dengan bahasa perasaan. Tampunglah tangisnya, kendati anda
juga sedang dalam kondisi jenuh dan penat menghadapi problematika dunia
kerja di luar rumah. Dengan cara itu, anda berdua telah merajut bahasa
komunikasi lewat hati. Suami tidak perlu kaget dan risau dengan tangis
isteri, dan isteri tidak perlu kecewa karena tangisnya tidak ditanggapi.
Semakin lama usia
pernikahan anda, harus semakin pandai memahami setiap simbol dan bahasa
yang digunakan pasangan dalam menyampaikan pesan. Menangis adalah salah
satu simbol dan juga bahasa, yang sering digunakan para isteri untuk
berkomunikasi. Jangan lagi disalahpahami para suami.
Cahyadi Takariawan
http://www.islamedia.web.id/2013/06/menangis-sebagai-bahasa-komunikasi.html
0 Komentar:
Posting Komentar
Kehormatan buat kami jika selesai baca Anda beri komentar atas Artikel ini....tapi, Mohon Maaf kawan Komentarnya yang sopan ya....he..he..he..