Kehidupan seorang da’i sarat dengan ujian dan fitnah karena 
aktifitasnya sarat dengan aksi –aksi menyeru, mengajak kepada kebaikan 
dan memperbaiki kemunkaran. Aktifitas dakwah tersebut akan menyebabkan 
pihak tertentu (ahlul bathil) terganggu dan merasa dirugikan.
Kehidupan seorang da’i sarat dengan ujian dan fitnah karena itu 
sunnatu dakwah yang akan menjadi realitas berulang, sebagaimana firman 
Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam beberapa ayat al-Qur’an:
“Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan:
 “Kami telah beriman”, lalu kemudian mereka tidak diuji lagi? Dan 
Sesungguhnya Kami telah menguji orang-orang sebelum mereka, sehingga 
Allah mengetahui orang-orang yang benar dan mengetahui orang-orang yang 
dusta.”(QS Al Ankabut: 2-3)
“Apakah kamu mengira bahwa kamu akan masuk syurga, padahal belum 
datang kepadamu (cobaan) sebagaimana halnya orang-orang terdahulu 
sebelum kamu? Mereka ditimpa oleh malapetaka dan kesengsaraan, serta 
digoncangkan (dengan bermacam-macam cobaan) sehingga berkatalah Rasul 
dan orang-orang yang beriman bersamanya: “Kapankah datangnya pertolongan
 Allah?” Ingatlah, bahwa pertolongan Allah itu Amat dekat.”(QS Al 
Baqarah: 214)
Fitnah dan ujian itu bisa menguatkan keimanan seseorang dan bisa juga
 menjerumuskan dan menyebabkannya futur dalam dakwah ini. Oleh karena 
itu, dibutuhkan penjelasan tentang sikap dan kiat–kiat da’i dalam 
mengahadapi fitnah, agar setiap da’i bisa menyikapinya dengan tepat dan 
tegar, dan lulus dalam melewati setiap fitnah dan ujian.
Ada sembilan sikap seorang da’i ketika diuji Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan fitnah, kesembilan penyikapan tersebut adalah:
Pertama, Muhasabah
Sikap pertama yang harus dilakukan adalah bermuhasabah, 
berintrospeksi diri atas apa yang telah dilakukan. Bermuhasabah adalah 
perintah Allah Subhanahu wa Ta’ala, sebagaimana firmanNya:
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah
 Setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok 
(akhirat); dan bertakwalah kepada Allah, Sesungguhnya Allah Maha 
mengetahui apa yang kamu kerjakan.”
Karenanya bermuhasabah adalah tradisi para sahabat dan generasi 
setelahnya, karena dengan bermuhasabah, setiap kekhilafan bisa diketahui
 dan diperbaiki sejak dini.
Sebagaimana taujih Umar bin Al Khathab Radhiyallahu ‘Anhu, “Evaluasi dirimu sebelum engkau dievaluasi.”
Kedua, Bertaubat
Langkah selanjutnya adalah bertaubat kepada Allah Subhanahu wa 
Ta’ala. dengan sebenar-benarnya taubat (taubatan nashuha), sebagaimana 
firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
Hai orang-orang yang beriman, bertaubatlah kepada Allah dengan 
taubatan nasuhaa (taubat yang semurni-murninya).” (QS At-Tahrim: 8)
Bertaubat itu memiliki rukun dan prasyaratnya agar taubatnya diterima oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala. yaitu sebagai berikut:
Bertaubat itu memiliki rukun dan prasyaratnya agar taubatnya diterima oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala. yaitu sebagai berikut:
A. Yang berkenaan dengan hak-hak Allah Subhanahu wa Ta’ala:
Bertaubat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, berarti menunaikan hal-hal berikut:
- Menyesali dosa yang telah dilakukannya. Seorang muslim harus merasa bersalah dengan dosa yang dilakukannya, oleh karena itu ia harus menyesali perbuatannya tersebut.
- Berkomitmen untuk tidak mengulangi lagi kesalahannya.
- Memperbaiki diri dengan memperbanyak amal-amal sholeh.
B. Hak-hak manusia:
Bertaubat juga harus menunaikan hak-hak manusia, yaitu:
- Mengembalikan hak orang lain. Jika kesalahannya tersebut adalah merampas dan mengambil hak orang lain, maka ia harus mengembalikannya kepada si empunya.
- Melakukan tabayyun (cek & recek) atas setiap informasi yang diterimanya, agar terhindar dari sikap bersu‟udzan kepada orang lain.
Ketiga, Bersabar
Langkah selanjutnya adalah bersabar atas fitnah yang menimpa da’i, 
dengan berkeyakinan bahwa semua ini adalah ujian dari Allah Subhanahu wa
 Ta’ala. untuk mengetahui hamba-hamba pilihan-Nya, sebagaimana firman 
Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam ayat-ayat al-Qur’an:
“Hai orang-orang yang beriman, bersabarlah kamu dan kuatkanlah 
kesabaranmu dan tetaplah bersiap siaga (di perbatasan negerimu) dan 
bertakwalah kepada Allah, supaya kamu beruntung.” (QS Ali Imran: 200)
Keempat, Taqarrub kepada allah Subhanahu wa Ta’ala
Setiap da’i harus senantiasa bertaqarrub kepada Allah Subhanahu wa 
Ta’ala. agar senantiasa dekat dengan Allah Subhanahu wa Ta’ala., karena 
sesungguhnya maksiat dilakukan karena jauh dari Allah Subhanahu wa 
Ta’ala. Bertaqarrub yang dimaksud adalah dua hal:
- Berkomitmen menunaikan kewajiban (fara‟id), seperti sholat lima waktu, puasa ramadhan, dan lain-lain.
- Memperbanyak ibadah atau amalan sunnah seperti shalat sunnah rawatib, puasa senin dan kamis, sholat tahajjud, tilawah al-Qur’an dan amalan sunnah yang lain, sebagaimana dalam hadits qudsi: “Tidak ada ibadah yang dilakukan oleh hamba-Ku yang lebih Aku cintai selain ibadah yang Aku wajibkan. Dan hambaku senantiasa bertaqarrub kepadaku dengan ibadah sunnah hingga Aku mencintainya. Jika Aku mencintainya, maka Aku yang menjaga pendengarannya, Aku yang menjaga pandangannya, Aku yang menjaga tangannya, Aku yang menjaga kakinya. Jika ia meminta kepadaku, maka Aku akan kabulkan. Dan jika ia berlindung kepadaku, maka Aku melindunginya.‟ (Shahih Al Bukhari, kitab Raqaiq, Bab Tawadhu‟, No. 6021)
Kelima, Menghindari tempat-tempat fitnah
Agar kita tidak terhindar dari fitnah, maka setiap da’i harus 
menghindari hal-hal atau tempat-tempat yang akan menjerumuskannya ke 
dalam fitnah.
Di antara hal-hal yang bisa mengakibatkan fitnah adalah sebagai berikut:
1. Harta, dengan segala bentuknya. 
Banyak sekali ayat-ayat al-Qur’an yang 
memberikan warning agar setiap muslim waspada dengan harta karena 
karakter harta itu dominan menyebabkan pelakunya kepada maksiat.
2. Perempuan
Begitu pula dengan perempuan, seperti 
halnya harta, perempuan adalah fitnah / ujian bagi manusia, sebagaimana 
firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
“Dijadikan indah pada (pandangan) manusia
 kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita, 
anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, 
binatang-binatang ternak dan Shallallahu ‘Alaihi wa Sallamah ladang. 
Itulah kesenangan hidup di dunia. Dan di sisi Allah-lah tempat kembali 
yang baik (surga).” (QS Ali Imran ; 14)
“Dan ketahuilah, bahwa hartamu dan 
anak-anakmu itu hanyalah cobaan dan sesungguhnya di sisi Allah-lah 
pahala yang besar.” (QS Al Anfal; 28)
3. Hal-hal syubhat
Menjauhi hal-hal yang syubhat termasuk 
hal yang harus dilakukan da’i agar bisa terhindar atau berhasil melewati
 ujian, sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam:
Dari Nu‟man bin basyir r.aberkata: saya 
mendengar Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: 
sesungguhnya yang halal itu sudah jelas dan yang haram juga sudah jelas,
 diantara keduanya ada hal-hal syubhat yang tidak diketahui banyak 
manusia. Barang siapa yang menghindari hal-hal syubhat, maka ia telah 
menjaga agama dan kehormatannya. Barang siapa yang melakukan yang 
syubhat, maka ia telah melakukan yang haram.‟
4. Teman yang tidak baik
Teman adalah cermin keperibadian 
sesorang, oleh karena itu jika ingin mengetahui ihwal seseorang, maka 
bisa diketahui dengan ihwal sahabatnya. Oleh karena itu harus dipastikan
 karib kita adalah orang-orang sholeh, sebagaimana hadits Rasulullah 
Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam:
Dari Abi Hurairah Radhiyallahu ‘Anhu, ia 
berkata: Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: “Setiap 
orang tergantung pada agama temannya, maka kalian lihatlah siapa yang 
dia jadikan teman.” (Musnad Ahmad, Kitab: Musnad al-muktsirin, Bab: 
Musnad Abi Hurairah, No. 7685)
5. Berambisi mendapatkan jabatan 
Jabatan adalah amanah yang harus 
dipertanggung jawabkan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Oleh karena itu
 Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam memerintahkan orang yang 
memegang amanah adalah orang memiliki kualifikasi dan kompetensi. Maka 
berambisi mendapatkan jabatan adalah perilaku tercela yang harus 
dihindarkan, sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam:
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam 
bersabda: “Dua serigala yang dilepas di tengah gerombolan kambing itu 
tidaklah lebih merusak dibanding merusaknya ambisi untuk mendapatkan 
harta dan jabatan terhadap agama seseorang.” (Sunan Tirmidzi, Kitab: 
Zuhud, Bab: ma ja‟a fi akhdzil mal bihaqqihi, no. 2298)
Maksud hadits tersebut adalah bahwa 
ambisi meraih harta dan jabatan berdampak merusak agama seseorang lebih 
dahsyat dari pada dampak kerusakan yang dibuat oleh dua ekor serigala 
yang menyerang segerombolan domba.
Keenam, Saling memberikan nasihat
Setiap da’i harus terbiasa saling memberi nasihat (tanashuh), karena 
hanya dengan itulah setiap da’i terbantu untuk memperbaiki diri. Jika 
yang terjadi sebaliknya; tidak ada budaya tanashuh dan kontrol internal 
melemah sehingga memungkinkan setiap da’i terperangkap fitnah atau tidak
 sabar menghadapinya.
Tanashuh dan lapang dada menerima nasihat adalah dua sisi mata uang 
yang tidak bisa terpisahkan. Oleh karena budaya tanashuh tersebut tidak 
akan terwujud jika tidak diimbangi dengan sikap lapang dada; maksudnya 
setiap da’i jika mendapatkan nasihat, ia harus berlapang dada menerima 
masukan dan nasihat tersebut. Insya Allah Subhanahu wa Ta’ala nasihat 
itu memperbaiki kita. Sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi 
wa Sallam:
Dari Tamim ad-Dari, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam 
bersabda, “Agama adalah nasihat.” Kami bertanya, “Nasihat untuk siapa?” 
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam Bersabda, “Untuk Allah, 
kitab-Nya, Rasul-Nya, para pemimpin kaum muslimin dan masyarakat umum.” 
(Shahih muslim, kitab: al-iman, Bab: ad din nashihah, no. 82)
Ketujuh, Terus bekerja melayani
Setiap ujian dan fitnah tidak boleh menyebabkan kita futur dan 
berhenti berdakwah, tetapi sebaliknya, ujian tersebut harus menjadi 
cambuk agar setiap da’i lebih bersemangat dalam beramal dan berdakwah.
Kerja-kerja dakwah itu sangatlah luas, di antara amal dakwah yang 
menyentuh hajat masyarakat adalah dakwah dalam bidang sosial, dakwah 
dalam bidang kesehatan agar masyarat hidup sehat, berdakwah dalam bidang
 keamanan agar masyarakat hidup aman dan nyaman, berdakwah dengan 
membangun infrastruktur agar fasilitas masyarakat terpenuhi sehingga 
mereka lancar dan leluasa melakukan hajat dan aktifitas hidupnya. Hal 
ini sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
“Dan Katakanlah: “Bekerjalah kamu, maka Allah dan Rasul-Nya serta 
orang-orang mukmin akan melihat pekerjaanmu itu, dan kamu akan 
dikembalikan kepada (Allah) yang mengetahui akan yang ghaib dan yang 
nyata, lalu diberitakan-Nya kepada kamu apa yang telah kamu kerjakan.” 
(QS At-Taubah: 105)
Delapan, Husnudzan terhadap ikhwah dan dakwah
Setiap da’i senantiasa berhusnudzan terhadap ikhwah dan dakwah. 
Setiap kali mendengar kabar tidak baik tentang seorang akh atau dakwah, 
maka harus mengedepankan husnudzan, hingga mendapatkan informasi / 
penjelasan dari dakwah.
Prinsip berhusnudzan ini yang diperintahkan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
“Tidakkah sebaiknya ketika kamu mendengar (berita bohong) itu 
orang-orang mukminin dan mukminat bersangka baik terhadap diri mereka 
sendiri.” (QS An-Nur: 12)
Apalagi jika informasi bersumber dari orang fasiq, maka kita tidak 
boleh percaya sebelum tabayyun terhadap berita tersebut, sebagaimana 
firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
“Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik 
membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak 
menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya 
yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu.” (QS Al Hujarat: 6)
Sembilan, Istiqomah dalam Jama’ah
Ujian dan fitnah adalah fitrah dalam perjuangan dan dakwah, sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
“Hai orang-orang yang beriman, bersabarlah kamu dan kuatkanlah 
kesabaranmu dan tetaplah bersiap siaga (di perbatasan negerimu) dan 
bertakwalah kepada Allah, supaya kamu beruntung.” (QS Ali Imron:200)
“Hai orang-orang yang beriman, ruku’lah kamu, sujudlah kamu, 
sembahlah Tuhanmu dan perbuatlah kebajikan, supaya kamu mendapat 
kemenangan.” (QS Al Hajj:77)
Oleh karena itu setiap ujian dan fitnah itu tidak boleh membuat da’i 
futur, tetapi sebaliknya, harus membuat tetap istiqomah dalam dakwah 
ini.
Ustadz DR. Surahman Hidayat
 
 
 
 
0 Komentar:
Posting Komentar
Kehormatan buat kami jika selesai baca Anda beri komentar atas Artikel ini....tapi, Mohon Maaf kawan Komentarnya yang sopan ya....he..he..he..