
“Mereka yang mendengarkan perkataan, lalu mengikuti yang terbaik. 
Mereka itulah yang Allah beri petunjuk dan mereka itulah Ulil Albab.” 
(QS Az Zumar 18)
Bila kita cermati, saat ini para aktivis mahasiswa Islam 
terkotak-kotak dan mayoritas cenderung fanatik terhadap organisasi atau 
gerakannya. Aktivis HTI (Hizbut Tahrir Indonesia) misalnya, bangga 
berlebihan terhadap kelompoknya dan ‘hanya’ menjadikan Taqiyuddin An 
Nabhani sebagai rujukan utama pembinaannya.
Begitu juga aktivis mahasiswa Ikhwanul Muslimin di Indonesia –yang 
sebagian besar menginduk pada Partai Keadilan Sejahtera. Mereka sudah 
merasa cukup bila sudah dibina dengan kitab-kitab dari Hasan al Banna 
atau tokoh Ikhwan lainnya. Hal yang sama terjadi pada gerakan Salafi 
Wahabi atau Salafi Haraki. Gerakan-gerakan yang sangat ketat dalam 
berpedoman al Qur’an dan Sunnah dan cenderung ‘mengesampingkan’ ijtihad.
 Gerakan Salafi Wahabi lebih banyak berfokus pada hal-hal bid’ah dan 
sunnah. Buku yang menjadi rujukan utamanya adalah Nashirudin al Albani. 
Sedangkan gerakan Salafi Haraki banyak berkutat pada solidaritas dunia 
Islam karena penjajahan fisik Amerika dan sekutunya. Buku yang menjadi 
pedoman utamanya adalah Sayid Qutb dan Abdullah Azzam.
Pergerakan mahasiswa di Muhammadiyah (Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah) 
atau Nahdhatul Ulama (Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia) kurang lebih
 sama. Di PMII cenderung menjadikan Gus Dur sebagai rujukan utama dan 
sebagian condong ke ‘Islam Liberal’. Gerakan KH Wachid Hasyim, tidak 
menjadi inspirasi utama mahasiswa-mahasiswa PMII. Situasi yang sama 
mirip dengan mahasiswa IMM. Gerakan KH Ahmad Dahlan belum menjadi 
teladan sentral dalam gerakan IMM, meski kini dicoba dengan membuat film
 dan memperbanyak buku tentangnya. Mahasiswa-mahasiswa Muhammadiyah 
cenderung terpecah-pecah sumber gerakannya dan sebagian ada yang 
terjangkit ‘liberal’.
Gerakan-gerakan mahasiswa tahun 80-90an menurut penulis, cenderung 
lebih terbuka dan intelektual daripada saat ini. Diperlakukannya 
NKK-BKK, dimana mahasiswa tidak boleh terlibat dalam politik praktis, 
menjadi berkah bagi mahasiswa untuk fokus pada kajian keislaman yang 
lebih serius. Saat itu buku-buku dari IIFSO, yang banyak terinspirasi 
Mohammad Nastir, menjadi rujukan banyak aktivis mahasiswa Islam. 
Buku-buku Sayyid Qutb, Yusuf Qaradhawi, Abul Ala Maududi, Ali Syariati 
menjadi kajian-kajian serius di kalangan mahasiswa dan menimbulkan 
semangat ‘militansi’ yang hebat untuk melawan imperialisme/pemikiran 
Barat. Begitu pula buku-buku karya Mohammad Natsir, Deliar Noer, Rasjidi
 menjadi kajian penting dalam membentuk perspektif perjuangan mahasiswa 
Islam di Indonesia.
Semangat membentuk dan memperbaiki masyarakat Islam yang ‘modern’ 
menjadi dambaan dan tujuan mahasiswa. Hampir tidak ditemui saar itu 
aktivis mahasiswa yang gampang membid’ahkan masyarakat atau aktivis 
mahasiswa yang menutup telinga bila yang ceramah bukan dari harakahnya.
Kini banyak ditemui aktivis mahasiswa Islam yang ‘kaku’ dalam 
pemikiran. Memang mereka tidak bisa disalahkan sepenuhnya, karena yang 
membuat mereka demikian adalah para guru/ustadz yang mengajarinya. Para 
ustadz mereka ada yang hanya membolehkan membaca buku-bukunya atau 
buku-buku yang seide dengan ustadz itu (guru-gurunya). Bila ada buku 
lain yang bertentangan atau mengkritik pemikiran ustadz itu, Ustadz 
tersebut melarang muridnya untuk membacanya. Ada sebuah kejadian, 
seorang aktivis memarahi penjual buku yang memajang buku Syekh Yusuf 
Qaradhawi di lapaknya. Dikatakan bahwa Qaradhawi itu hanya menggunakan 
akalnya saja dalam bukunya. “Kurang nyunnah” istilahnya atau “Ia kan 
bukan ahli Hadits”, begitu biasanya aktivis Salafi Wahabi berucap. 
Penulis temui pula ada sebuah kelompok harakah yang melarang aktivis 
mahasiswanya mendengarkan ceramah beberapa ustadz (ahli dalam pemikiran 
Islam), hanya karena para ustadz itu tidak masuk dalam kelompok harakah 
mereka.
Sehingga kini banyak ditemui mahasiswa yang jumud terhadap pemikiran 
atau gerakan-gerakan Islam. Mereka hanya tahu pemikiran dan gerakannya 
saja. Tidak memahami dan mencoba mencari tahu apa yang terjadi pada 
gerakan Islam lain.
Bila ditelaah secara mendalam, kecenderungan gerakan saat ini yang 
‘ashabiyahnya sangat tinggi’ ini adalah sangat mengkhawatirkan. Para 
ustadz dari Timur Tengah yang banyak tidak faham sejarah penyebaran 
Islam atau gerakan Islam di Indonesia banyak yang gegabah mengajari 
mahasiswa atau santrinya sejak awal bid’ah dan sunnah. Bukan mengajari 
mereka mereka bagaimana menjaga aqidah Islam yang kokoh di tengah 
serbuan liberalisme saat ini, bagaimana perjuangan Islam yang tepat di 
Indonesia, bagaimana memperbaiki masyarakat Islam Indonesia, bagaimana 
membentuk peradaban Islam di Indonesia dan lain-lain. Sehingga yang 
terjadi sebenarnya adalah gerakan setback ke belakang, yang meributkan 
kembali hal-hal fqh yang furu’. Tidak sedikit sekarang aktivis Islam 
yang mengharamkan musik, maulid, organisasi politik dan lain-lain. 
Padahal masalah-masalah seperti ini telah dibahas (diperdebatkan) ulama 
sejak lama. Para ulama telah membahas tentang kebolehan musik dan 
syarat-syarat musik atau syair yang dibolehkan dan sebagainya. Ketika 
kaum Muslimin di puncak peradaban Andalusia (abad ke 8 s/d abad ke-15) 
ada tradisi musik Islam di sana.
Saatnyalah kini para mahasiswa dan khususnya ustadz-ustadnya mau 
mempelajari dengan serius pemikiran dari tokoh-tokoh gerakan Islam lain.
 Anak-anak mahasiswa IMM atau PMII mau membaca seirus buku-buku karya 
Taqiyuddin an Nabhani (pendiri Hizbut Tahrir) dan Hasan al Banna 
(pendiri Ikhwanul Muslimin). Para aktivis Hizbut Tahrir atau Ikhwanul 
Muslimin mau mengkaji seksama buku-buku Ahmad Dachlan, Wachid Hasyim, 
Mohammad Natsir, Naquib Alatas atau Mohammad Roem. Begitu pula para 
aktivis Salafi mau mempelajari buku-buku Hamka, Raja Ali Haji, 
tokoh-tokoh Ikhwan atau Hizbut Tahrir.
Bila ini dilakukan insya Allah gerakan mahasiswa Islam Indonesia akan
 menjadi ‘leader’ bagi arah Indonesia ke depan. Dan bukan mustahil 
aktivis mahasiswa Islam Indonesia akan menjadi pemimpin bagi 
aktivis-aktivis mahasiswa Islam di seluruh dunia. Karena di belahan 
dunia lain pun terjadi kecenderungan gerakan mahaiswa yang kurang lebih 
sama dengan yang terjadi di Indonesia.
Tokoh-tokoh gerakan Islam itu adalah mutiara-mutiara Islam. Sayang 
bila kita hanya mengambil satu mutiara saja. Sementara sebenarnya kita 
bisa mengambil banyak mutiara untuk kita manfaatkan secara optimal. 
Apalagi sekarang di era ‘kebebasan informasi’, era internet. Dimana kita
 bisa membaca buku-buku karya tokoh-tokoh itu hanya sekali klik dalam 
internet. Jadi bagaimanapun ara ustadz membatasi muridnya untuk mengkaji
 pemikiran gerakan-gerakan lain, ibaratnya sebenarnya seperti melarang 
seorang konsumen untuk memilih minuman yang terbaik bagi dirinya, ketika
 ia berkunjung ke supermarket. Tentu agar konsumen bisa memilih tepat 
minuman itu, ia harus dibekali dengan pengetahuan yang cukup tentang 
manfaat vitamin, kegunaan air bagi tubuh dan lain-lain.
Kita bisa mengambil pelajaran dari sejarah pemikiran atau kemajuan 
Barat. Mengapa mereka begitu melesat maju sekarang ini (terlepas 
kemajuannya arahnya benar atau tidak)? Karena pemikir-pemikir Barat 
tidak fanatik buta terhadap pendapat pemikir-pemikir besar pendahulu 
mereka. Mereka meramu pemikiran Aristoteles, Plato, Aquinas, Hobbes, 
Adam Smith, Faucault dan lain-lain. Mereka tidak mati-matian 
mempertahankan pendapat salah satu pemikir mereka, bila ditemui pemikir 
Barat lainnya yang lebih baik.
Akhirnya ulama besar Hamka dalam Tafsir Al Azhar-nya, memberikan 
nasihat: “Berapa banyak kita banggakan sejarah, sedikit-sedikit sejarah 
kebesaran Islam, sejarah ulama Islam, sejarah kemenangan Islam. Dan 
semuanya itu memang benar, tetapi semuanya adalah bekas usaha ummat yang
 telah lalu. Kalau mereka beroleh pahala dari usaha itu, tidaklah kita 
yang datang di belakang ini yang akan menerimanya. Kita hanya menerima 
bekas dari usaha kita sendiri. Adalah amat membosankan 
membangga-banggakan zaman yang telah lampau, dari usaha orang lain, 
sehingga masa hanya habis dalam ceritera, tetapi tidak dapat menunjukkan
 bukti dan usaha sendiri. Inilah penyakit ummat yang telah masuk ke 
dalam Lumpur. Kata pepatah ahli syair:
“Orang muda sejati ialah yang berkata: Inilah aku
Bukanlah orang muda sejati yang berkata: Bapakku dahulu begini dan begitu.”
Bukanlah orang muda sejati yang berkata: Bapakku dahulu begini dan begitu.”
Alumni Lembaga Dakwah Kampus IPB
sumber :
 
 
 
 
0 Komentar:
Posting Komentar
Kehormatan buat kami jika selesai baca Anda beri komentar atas Artikel ini....tapi, Mohon Maaf kawan Komentarnya yang sopan ya....he..he..he..