ilustrasi (dari google) |
Aduh, ngomongin tentang cuek nih. Ada yang tersungging, eh,
tersinggung nggak ya? Kalo tersinggung berarti masih manusia, bukan
batu. Hehehe… ya iyalah. Manusia kan punya pikiran dan perasaan. Itu
sebabnya, sebenarnya cocok pembahasan kita kali ini, karena arti cuek
itu adalah masa bodoh alias nggak mau peduli. Jadi, seharusnya boleh
tersinggung tapi kemudian memperbaiki agar nggak cuek. Tul nggak?
Sobat, dalam sebuah komunitas atau organisasi sangat
diperlukan komunikasi. Komunikasi antara anggota komunitas atau
organisasi dibangun untuk saling memberikan masukan berupa saran dan
kritik. Hasilnya akan dievaluasi untuk kemudian dibuat program. Jika
bagus, akan dibuat program utuk mempertahankannya, bahkan bila memungkin
akan ditingkatkan levelnya ke arah inovasi alias pengembangan. Jika
ternyata setelah dievaluasi kondisi komunitas kita selama ini memegang
rekor buruk, tentunya akan dibuat program untuk memperbaikinya. Pengurus
dan anggota komunitas itu harus saling berbagi informasi dan tentunya
melaksanakan tugas dan wewenangnya masing-masing. Sangat diperlukan
komunikasi di antara mereka untuk mengokohkan ikatan komuntas tersebut.
Tentunya, semua itu dilakukan utuk kebersamaan kita dalam komunitas yang
kita buat. Bukan untuk menghancurkannya.
Oya, kalo kamu sebagai ketua osis atau ketua rohis ngambil keputusan
sepihak mungkin dalam kondisi tertentu bisa aja dilakukan. Apalagi
kapasitasnya sebagai ketua memang harus cepat bertindak. Kalo pun nggak
bisa sendiri, seorang ketua pasti punya temen-temen pengurus lainnya.
Bisa aja kan ketua rohis kemudian sharing dengan temen-temen
pengurus rohis untuk memutuskan suatu program. Meski semua anggota tak
perlu tahu, tapi kalo kemudian ada anggota rohis yang bertanya gara-gara
ketua rohis dan jajarannya telat nagsih sosialisasi program, ya harus
dijawab en dilayani dengan baik. Jangan bilang, “Anggota nggak perlu
tahu semua. Lagian laksanakan aja keputusan kita-kita” Apalagi kalo
sampe keceplosan bilang, “Terserah ente sekarang. Ngikut program yang
udah kita buat, atau ente menolak. Emangnya ane pikirin!” Waduh, itu
bukan cuma cuek, tapi lebih parah dari cuek, sobat!
Waspadalah, bisa jadi itu udah arogan en sombong bin keras kepala. Nggak banget dah!
Komunikasi yang sehat
Sobat, saya rasa dan saya pikir kejadian seperti ini sering
terjadi di antara kita-kita. Bukan aneh, karena emang sudah biasa
terjadi. Masalahnya, tak ada komunikasi yang sehat di antara kita.
Padahal tuh program misalnya untuk kita wujudkan bersama. Lha, gimana
jadinya kan kalo misalnya sebuah program yang dimengerti hanya oleh yang
bikin aja, sementara pelaksananya hanya diberikan juklak (petunjuk
pelaksanaan) dan sedikit juknis (petunjuk teknis). Itu pun dengan tanpa
tahu alasan dibuatnya program, termasuk kenapa juklak dan juknisnya
seperti itu.
Wah, gimana nih? Kalo diingatkan malah balik sewot dan bilang, “Nggak
mau tahu. Pokoknya laksanakan. Emangnya ane pikirin nanti kayak gimana
di lapangan. Ente udah tahu lah apa yang seharusnya dilakukan seorang
aktivis rohis”. Duileee… padahal nggak semua tuh aktivis rohis ngerti.
Tul nggak sih? Kenapa nggak dengan lembut mengatakan, “Insya Allah nanti
kita akan jelaskan latar belakang kenapa program ini dibuat dan
diputuskan untuk dijalankan. Kita cari waktunya. Akhi tenang aja. Kita
bicarakan bersama dan kami akan memberikan argumentasi. Jika memang ada
hal-hal yang kurang jelas, kita bisa samakan persepsi. Kalo pun belum
ada kata sepakat nantinya, tolong beri waktu kami untuk mengukur
seberapa efektif program ini. Jika memang kurang efektif, kita bisa urun
rembug untuk memperbaikinya. Afwan, karena kemarin kita tak sempat
sosialisasikan dengan cepat kepada semua anggota rohis” Hmm.. tuh
rangkaian kalimat bikin tenang yang bertanya. Sekaligus menunjukkan
kredibilitas seorang ketua rohis yang bisa mengayomi dan dijadikan
panutan. Meski pada akhirnya program itu kurang bagus hasilnya, tetap
ada penghormatan dan nggak akan saling menjatuhkan.
Kebersamaan ini memang harus terus kita jalin. Nggak boleh ada yang
merasa benar sendiri. Nggak boleh ada yang perlu menyombongkan diri dan
cuek abis dengan kondisi komunitas yang kita bangun dan juga lingkungan
sekitar. Kalo di sekolah ada teman yang berbuat maksiat, tentunya kudu
kita ingatkan. Teman yang diingatkan juga kudu mau terima. Karena
namanya maksiat kalo didiemin bukan cuma yang maksiat yang bakalan rugi,
yang lain juga rugi. Nggak percaya? Kalo di sekolah ada yang pacarannya
hot, tapi yang mengetahui soal itu diem aja, nggak bereaksi negur atau
ngingetin dengan alasan takut atau merasa bukan urusannya. Karena merasa
tak ada yang resah dengan kelakuannya, maka tuh yang pacaran kebablasan
sampe berzina. Lha, kalo aksi itu kemudian ketahuan, yang mukanya
kecoreng kan bukan cuma dua orang teman kita itu, tapi kita dan seluruh
sekolah dibikin malu. Tul nggak?
Itu sebabnya, Rasulullah saw. mengingatkan kita semua dalam sabdanya: “Perumpamaan
keadaan suatu kaum/masyarakat yang menjaga batasan hukum-hukum Allah
(mencegah kemungkaran) adalah ibarat satu rombongan yang naik sebuah
kapal. Lalu mereka membagi tempat duduknya masing-masing, ada yang di
bagian atas dan sebagian di bagian bawah. Dan bila ada orang yang di
bagian bawah akan mengambil air, maka ia harus melewati orang yang duduk
di bagian atasnya. Sehingga orang yang di bawah tadi berkata:
“Seandainya aku melubangi tempat duduk milikiku sendiri (untuk
mendapatkan air), tentu aku tidak mengganggu orang lain di atas.” Bila
mereka (para penumpang lain) membiarkannya, tentu mereka semua akan
binasa.” (HR Bukhari)
Ya, ibarat kita bersama-sama ngumpul di sebuah komplek perumahan.
Kalo sama-sama cuek dan berprinsip “emang gue pikirin” atas tindakan apa
pun yang dilakukan tetangga kita, maka cepat atau lambat kita juga
bakalan kena getahnya. Misalnya aja ada tetangga kita yang hobi buag
sampah ke got. Kita cuekkin aja dengan alasan ada petugas kebersihan
komplek. Tapi kita lupa, bahwa kalo nggak ada yang negur, tuh ‘penyakit’
bisa menular ke tetangga yang lain. Nah, kalo sebagian warga komplek
perumahan itu buang sampah sembarangan ke got, nanti pas musim ujan
datang tuh got bakalan mampet, dan yang kena banjir bukan cuma yang
buang sampah sembarangan, tapi semua orang yang ada di komplek itu.
Kita nggak sendirian
Sobat, saling mengingatkan tuh bukan untuk kita sendiri
aja, tapi harus dipahami untuk semuanya. Untuk kebersamaan kita. Jadi,
kalo diingatkan jangan sewot, tapi sebaliknya berterima kasih. Memang
harus ada keberanian dalam diri kita untuk mengingatkan, dan juga harus
ada keikhlasan dari yang diingatkan untuk mengakui kesalahannya. Jangan
kitanya cuek, dan yang melakukan kesalahan juga cuek. Sama-sama
berprinsip: “emangnya gue pikirin!”. Orang yang pertama ngerasa nggak
perlu capek-capek ngingetin, dan orang yang kedua ngerasa bebas berbuat
dan berpikir instan tanpa perlu merasa risih dengan omongan orang lain
nantinya. Cocok kalo gitu. Maksudanya cocok untuk bisa ancur barengan.
Bahaya banget tuh!
Padahal nih, demi sebuah kebersamaan dan kebaikan kita semua, kalo
ada yang lupa diri wajib diingatkan oleh yang sadar. Kalo ada yang
maksiat, wajib ditegur dan diingatkan oleh yang tahu. Kalo nggak, ingat
deh firman Allah Ta’ala tentang laknat bagi orang yang tak mau mencegah
kemunkaran sebagaimana kisah kaum terdahulu, yang diceritakan Allah
dalam al-Quran: “Telah dilaknati orang-orang kafir dari Bani Israil
dengan lisan Daud dan `Isa putera Maryam. Yang demikian itu, disebabkan
mereka durhaka dan selalu melampaui batas. Mereka satu sama lain selalu
tidak melarang tindakan munkar yang mereka perbuat. Sesungguhnya amat
buruklah apa yang selalu mereka perbuat itu.” (QS al-Maaidah [5]: 78-79)
Nabi kita, Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam juga pernah memberi
tahu bagaimana caranya mencegah kemunkaran. Dari Abi Said al-Khudri
Radhiallahu ‘anhu telah berkata: Aku mendengar Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda: “Barangsiapa di antara kalian melihat
suatu kemungkaran, maka hendaklah ia mengubahnya dengan tangannya; maka
bila ia tidak mampu, maka dengan lisannya, dan kalau tidak mampu maka
dengan hatinya, dan yang demikian itu adalah selemah-lemah iman.” (HR Muslim)
Lukman al-Hakim berkata kepada anaknya: “Orang yang melihat tindakan
munkar di hadapannya tapi tidak berusaha mencegahnya. Orang yang melihat
keburukan di depan matanya tapi berdiam diri. Orang yang melihat
perbuatan dosa di dalam keluarganya tapi ia mengabaikannya dan
seolah-olah tidak tahu. Kesemua mereka wahai anakku, adalah manusia yang
sakit jiwanya, lemah imannya, tidak punya kepribadian dan tidak punya
kewibawaan. Dia adalah manusia penakut yang tidak layak hidup. Dialah
manusia hina yang tidak kenal akan dirinya dan keutamaannya. Dia hidup
tak ubahnya seperti hewan ternak yang ditarik ke sana dan ke sini, tidak
tahu harga diri dan tidak mau mengerti akan dirinya.” (Mutiara Nasihat Lukman al-Hakim, karya Dr. Fathullah al-Hafnawi, hlm. 72)
Oke deh, semoga kebersamaan kita tetap terjalin dalam ikatan akidah
Islam. Tentu, agar kebersamaan itu bernilai di hadapan Allah Ta’ala.
Bersama itu, seharusnya juga bersatu. Sebab, percuma dong, bersama tapi
nggak bersatu. Kok bisa? Iya, maksudnya, keberadaan kita jangan hanya
sebatas ngumpul, tapi harus bersatu untuk saling peduli. Idealnya kan
saling mengingatkan dan jangan ada yang cuek alias masa bodoh terhadap
diri sendiri, teman, dan lingkungan sekitar. Dakwah itu, adalah tanda
peduli. Orang yang peduli, pastinya berdakwah. Mereka yang cuek, ke laut
aja. Ok? Sip! [O. Solihin | Twitter @osolihin]
0 Komentar:
Posting Komentar
Kehormatan buat kami jika selesai baca Anda beri komentar atas Artikel ini....tapi, Mohon Maaf kawan Komentarnya yang sopan ya....he..he..he..