Kitab Raudhotu An Nazhir Wa Junnatu Al Munadzhir. Itulah kitab ushul fiqh yang menjadi kurikulum tetap hampir diseluruh kampus saudi arabia fakultas syariah.
Kitab ini bisa dikatakan kitab yang cukup berat karena retorika dan
gaya bahasa yang bisa dikatakan sulit, yang teramu dari perpaduan antara
naql (dalil syar’i) dan aql (logika).
Raudhoh nazhir merupakan kitab karangan Ibnu Qudamah Al Maqdisi Al
Hambali. Jika diteliti lebih jauh kitab tersebut merupakan kitab
ringkasan dari beberapa kitab diantaranya Al Mustashfa karangan Hujjatul Islam Imam Al Ghozali, juga Al ‘Uddah karangan Abu Ya’la, At Tamhid karangan Abul Khatththab, dan At Tabshirah karangan Asy Syirazi, dua diantara referensinya berafiliasi pada madzhab Syafi’i sedangkan dua lainnya bermadzhab Hambali.
Bisa dikatakan sejujurnya kitab Al mushtashfa merupakan referensi
utama dalam kitab tersebut, sehingga guru kami Dr. Abdullah Almahdi Asy
Syinqithy mengatakan hampir 90 % isi Raudhah adalah isi Al Mushtasfa dan secara retorika, penjelasan dan penyusunan kitab Al Ghozali lebih unggul dari kitab Raudhah
Ibnu Qudamah. Ini didukung karena kemampuan Al Ghozali dalam ilmu ushul
lebih kuat dari Ibn Qudamah tukas dosen mata kuliah ushul fiqh ini.
Beliau pun menambahkan seharusnya kitab yang lebih berhak untuk dijadikan kurikulum adalah Al Mushtasfa
ujarnya, karena ia merupakan sebagai sumber asli sedangkan raudhah
adalah cabang dan telah dimaklumi dalam kaidah bahwa jika ada sumber
asli maka cabang dibatalkan, ini kalau mau memandang secara objektif,
komentar beliau sambil tersenyum renyah. Namun barangakali yang
mendorong menjadikan Raudhah sebagai kurikulum ialah Al
Hanbalah (bermadzhab Hambali) ujar beliau, yang membuat suasana kelas
yang hening menjadi renyah penuh tawa.
Disela- sela dars (pelajaran) beliau, seorang mahasiswa lantas
bertanya: “Syaikh, barangkali sebab kitab Al Ghozali tidak digunakan
sebagai kurikulum karena masalah aqa’id yang dianggap menyimpang
didalamnya.”
Syaikh pun menanggapi penuh antusias dengan wajah senyum merekah,
lantas berkata, “Jika seandainya kita tidak membaca buku atas dasar
demikian maka hendaknya kita juga tidak usah membaca kitab seperti
Tafsir Al Qurthubi, Fathul Bary, Syarh Al Minhaj, Ahkamul Quran li Ibnul
Araby, dan seterusnya, maka tidak ada yang akan bisa kita baca sebagai
literatur. Akan tetapi sperti kata pepatah “ambillah yang bersih dan
buanglah yang buruk”, dan jika ada yang menyimpang maka perlu diberi
catatan dan tanggapan, tidak serta merta membuangnya, padahal
kebenarannya jauh lebih banyak dari kesalahannya.”
Si mahasiswa pun merasa puas dengan jawaban sang dosen. Jam pelajaranpun berakhir dengan berakhirnya pertanyaan tadi.
Wans Alfaqi,
19/6/1436
Penulis adalah mahasiswa S2 Fak. Syariah di Islamic University of Madina KSA asal Bali.
sumber klik
0 Komentar:
Posting Komentar
Kehormatan buat kami jika selesai baca Anda beri komentar atas Artikel ini....tapi, Mohon Maaf kawan Komentarnya yang sopan ya....he..he..he..