Memang tidak ada manusia sempurna selain Rasulullah saw. Namun orang tua harus berusaha memiliki sifat-sifat terpuji agar bisa dijadikan teladan bagi anak-anaknya. Semakin baik sifat-sifat orang sebagai pendidik, semakin dekat tingkat keberhasilannya dalam mendidik anak. Berikut ini adalah sifat-sifat:
a) Penyabar dan tidak pemarah Dua sifat ini, yakni penyabar dan tidak pemarah, menurut Rasulullah SAW adalah yang dicintai oleh Allah SWT [ h.r. Muslim dari Ibnu Abbas ]. Berkenaan dengan sifat ini ada sebuah kejadian menarik yang diceritakan oleh Abdullah ibnu Thahir. “Pada suatu hari,” Kata Abdullah bercerita, “Saya bersama Al-Makmun [seorang khalifah Bani Abbasiyah], lalu memanggil pelayannya, Ghulama! Tidak dijawab, Ghulama! Kedua kalinya pun tidak dijawab, lalu dipanggil yang ketiga kalinya barulah seorang pelayan lelaki muda keluar sambil berkata, Apakah seorang pelayan tidak berhak makan dan minum? Bukankah saya baru saja melayani anda, kenapa dipanggil-panggil lagi?” Mendengar bicara pelayannya itu Al-Makmun lama tertunduk. Saya curiga jangan-jangan Al-Makmun akan menyuruh saya untuk memenggal leher pelayannya itu. Kemudian ia mengangkat kepalanya dan memandang saya, “Wahai Abdullah,” ujarnya, “Jika ada majikan yang baik, justru pelayannya yang buruk. Tapi saya tidak mau berperilaku buruk untuk memperbaiki perilaku pembantu saya.”
b) Lemah-lembut dan menghindari kekerasan Rasulullah bersabda, “Allah itu Maha Lemah-lembut, cinta kelamah-lembutan. Diberikan kepada kelembutan apa yang tidak diberikan kepada kekerasan dan kepada selainnya.”[h.r. Muslim dari Aisyah ] Sabda yang lain, “Tidaklah kelemah-lembutan itu terdapat pada sesuatu melainkan akan membuatnya indah, dan ketiadaannya dari sesuatu akan menyebabkannya menjadi buruk.”[h.r. Muslim ] Sifat demikian juga ditunjukkan oleh para salafus shalih dalam bermuamalah. Diantaranya adalah kejadian yang pernah dialami oleh budak lelaki Imam Zainal Abidin (cicit Sayidina Ali). Pada suatu hari budak itu menuangkan air minum ke gelas minumnya Imam Zainal Abidin dari poci yang terbuat dari porselin. Tiba-tiba poci itu jatuh dan mengenai kaki sang Imam hingga berdarah. Buru-buru pelayan itu berkata, “Wahai Tuan, Allah telah berfirman, “Dan mereka itu adalah orang-orang yang bisa menahan kemarahan” mendengar itu beliau berkata, “Ya, saya tahan kemarahan saya.” “Dan (juga) pemaaf kepada manusia,” kata budak itu membaca lanjutan firman Allah tadi. “Ya, saya pun telah memaafkan kamu”, kata Imam ZainalAbidin. Dan Allah mencintai orang-orang yang berbuat kebajikan”, lanjut budak itu menyempurnakan bunyi firman Allah tersebut. “Sudah, kamu saya merdekakan Karena Allah”, kata Imam Zainal Abidin.
c) Hatinya penuh rasa kasih sayang Sulaiman Malik Ibnu Al Huwairits pernah tinggal ( untuk nyantri ) bersama Rasulullah saw. Dengan teman-teman sebayanya selama dua puluh malam. “Kami dapati beliau sebagai seorang yang sangat penyayang dan pengasih”, cerita Al Huwairits. Setelah beliau melihat bahwa kami sudah rindu kepada keluarga, beliau bertanya tentang siapa saja orang-orang yang kami tinggalkan di rumah. Kami pun memberitahukannya. Lalu, kami diperintahkan agar pulang. Beliau menasehati, “Pulanglah kepada keluarga kalian, tinggallah bersama mereka, ajari mereka, berbuat baiklah kepada mereka, dan shalatlah kamu seperti ini di waktu demikian, shalatlah begini di saat demikian! Jika tiba waktu shalat, salah seorang harus adzan dan yang paling tua menjadi imam.” Rasulullah SAW, bersabda, “Sesungguhnya setiap pohon itu berbuah. Buah hati adalah anak. Allah tidak akan menyayangi orang yang tidak sayang kepada anaknya. Demi Dzat yang jiwaku ada di tangan-Nya, tidak akan masuk surga kecuali orang yang bersifat penyayang.” Seorang sahabat berkata, “Wahai Rasulullah, setiap kita bisa menyayangi.” Rasulullah SAW menjawab, “Kasih sayang itu bukan (terbatas) seorang menyayangi kawannya, namun kasih sayang untuk semua manusia.”[diriwayatkan Ibnu Bazzar dari Ibnu Umar]
d) Memilih yang termudah di antara dua perkara selagi tidak berdosa Aisyah berkata, “Tidaklah dihadapkan kepada Rasulullah antara dua pilihan melainkan akan dipilihnya perkara yang paling mudah selama hal itu tidak berdosa. Jika itu dosa maka beliaulah orang yang paling jauh meninggalkannya. Dan, beliau tidak mendendam sama sekali terhadap dirinya kecuali jika dirinya melanggar larangan Allah. Maka beliau akan menghukum dirinya sendiri karena Allah.”
e) Fleksibel Bukan fleksibilitas yang berarti lemah dan kendor sama sekali, melainkan sikap fleksibel dan mudah yang tetap berada dalam koridor syariah. Rasulullah SAW bersabda, “Maukah kuberitahukan terhadap siapakah api neraka itu diharamkan atau siapakah yang diharamkan dari neraka?” Beliau bersabda, “Neraka itu diharamkan terhadap orang yang dekat, sedang, fleksibel dan mudah”.
f) Tidak emosional (suka marah) Dalam pendidikan, sifat pemarah dan emosional harus dijauhi. Sifat demikian bahkan menjadi faktor kegagalan dalam pendidikan anak, maka ketika ada orang yang meminta Nabi agar diberi pesan secara khusus, tiga kali beliau memintanya agar tidak suka marah. Rasulullah SAW bersabda, “Orang kuat itu bukan karena kekuatannya dalam berkelahi, tetapi karena kemampuannya mengendalikan diri ketika sedang marah.” (h.r. Imam Bukhari dari Abu Hurairah)
g) Bersikap moderat dan seimbang Ekstrim dan berlebih-lebihan adalah sikap tercela. Jika harus marahpun ada tempatnya dan tidak sampai menyebabkan tindakan keluar dari kebenaran. Rasullullah saw, sebagaimana layaknya manusia lain, juga bisa marah. Namun, jika marah pun karena kebenaran. Kalimat yang terucap pun tidak pernah keluar dari kebenaran. Ada seorang laki-laki mengadu kepada Nabi bahwa dirinya akan datang terlambat ketika sholat subuh lantaran si fulan jadi imam itu suka memanjangkan shalatnya. Ketika berpidato, menyinggung masalah itu, beliau marah sekali hingga tidak seperti biasanya. Kemudian Rasulullah SAW bersabda, “Wahai sekalian manusia! Ada di antara kalian yang menyebabkan orang lari (dari Islam) maka siapa saja yang menjadi Imam, hendaklah mempersingkat sholatnya. Karena di belakang kalian ada orang tua, anak kecil dan orang yang ada keperluan.”
h) Ada senjang waktu dalam memberi nasihat Sering kali banyak bicara itu tidak mendapatkan hasil. Sebab itulah Imam Ibnu Hanifah berpesan kepada muridnya, “Janganlah kalian mengajarkan fiqih kalian kepada orang yang sudah tidak berminat!” Ibnu Masâ’ud ra. Hanya memberi nasihat kepada para sahabat setiap hari Kamis. Maka ada seorang yang berkata kepada beliau, “Wahai Abu Abdur Rahman, alangkah baiknya jika Anda memberi nasihat kepada kami setiap hari.” Beliau menjawab, “Saya enggan begitu karena saya tidak ingin membuat kalian merasa bosan dan saya memberi senjang waktu dalam memberi nasihat sebagaimana Rasulullah lakukan terhadap kami dulu karena khawatir kami bosan.” (Muttafaâ’alaih)
Sumber: Kitab Manhaj Tarbiyah Nabawiyah Lith Thifli
0 Komentar:
Posting Komentar
Kehormatan buat kami jika selesai baca Anda beri komentar atas Artikel ini....tapi, Mohon Maaf kawan Komentarnya yang sopan ya....he..he..he..