Ada suatu amalan di bulan Ramadhan yang mesti kita ketahui bersama  demi meraih banyak pahala di bulan tersebut. Amalan tersebut adalah  i’tikaf. Bagaimanakah tuntunan Islam dalam menjalankan i’tikaf  di bulan  Ramadhan? Berikut panduan ringkas yang kami sajikan bagi para  pengunjung yang kami  kutip dengan perubahan dari  nukilan Buku Panduan Ramadhan karya Ustadz  Muhammad Abduh Tuasikal. Semoga Allah senantiasa memberkahi beliau dan  kita semua.
Dalil Disyari’atkannya I’tikaf
Ibnul Mundzir mengatakan, “Para ulama sepakat bahwa i’tikaf itu  sunnah, bukan wajib kecuali jika seseorang mewajibkan bagi dirinya  bernadzar untuk melaksanakan i’tikaf.”
Dari Abu Hurairah, ia berkata, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam  biasa beri’tikaf pada bulan Ramadhan selama sepuluh hari. Namun pada  tahun wafatnya, beliau beri’tikaf selama dua puluh hari.” (HR Bukhari)
Waktu i’tikaf yang lebih afdhol adalah di akhir-akhir ramadhan (10  hari terakhir bulan Ramadhan) sebagaimana hadits ‘Aisyah, ia berkata,  “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam beri’tikaf pada sepuluh hari yang  akhir dari Ramadhan hingga wafatnya kemudian isteri-isteri beliau pun  beri’tikaf setelah kepergian beliau.” (HR Bukhari)
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam beri’tikaf pada sepuluh hari  terakhir dengan tujuan untuk mendapatkan malam lailatul qadar, untuk  menghilangkan dari segala kesibukan dunia, sehingga mudah bermunajat  dengan Rabbnya, banyak berdo’a dan banyak berdzikir ketika itu.
I’tikaf Harus Dilakukan di Masjid 
Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala, “(Tetapi) janganlah kamu  campuri mereka sedang kamu beri’tikaf dalam masjid”(QS. Al Baqarah:  187).
Demikian juga dikarenakan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam  begitu juga istri-istri beliau melakukannya di masjid, dan tidak pernah  di rumah sama sekali. Ibnu Hajar rahimahullah berkata, “Para ulama  sepakat bahwa disyaratkan melakukan i’tikaf di masjid.” Termasuk wanita,  ia boleh melakukan i’tikaf sebagaimana laki-laki, tidak sah jika  dilakukan selain di masjid.
I’tikaf Boleh Dilakukan di Masjid Mana Saja
Menurut mayoritas ulama, i’tikaf disyari’atkan di semua masjid karena  keumuman firman Allah di atas (yang artinya) “Sedang kamu beri’tikaf  dalam masjid”.
Imam Bukhari membawakan bab dalam kitab Shahih-nya, “I’tikaf  pada 10 hari terakhir bulan Ramadhan dan i’tikaf di seluruh masjid.”  Ibnu Hajar menyatakan, “Ayat tersebut (surat Al Baqarah ayat 187)  menyebutkan disyaratkannya masjid, tanpa dikhususkan masjid tertentu.”
Adapun hadits marfu’ dari Hudzaifah yang mengatakan, ”Tidak ada  i’tikaf kecuali pada tiga masjid yaitu masjidil harom, masjid nabawi dan  masjidil aqsho”; perlu diketahui, hadits ini masih diperselisihkan  statusnya, apakah marfu’ (sabda Nabi) atau mauquf (perkataan sahabat).  (Lihat Shahih Fiqh Sunnah, 2/151). Jika melihat perkataan Ibnu Hajar Al  Asqolani rahimahullah, beliau lebih memilih bahwa hadits tersebut  hanyalah perkataan Hudzaifah ibnul Yaman. Lihat Fathul Bari, 4/272.
Para ulama selanjutnya berselisih pendapat masjid apakah yang  dimaksud. Apakah masjid biasa di mana dijalankan shalat jama’ah lima  waktu  ataukah masjid jaami’ yang diadakan juga shalat jum’at di sana?
Walaupun namanya beraneka ragam di tempat kita, baik dengan sebutan  masjid, mushalla, langgar, maka itu dinamakan masjid menurut istilah  para ulama selama diadakan shalat jama’ah lima waktu di sana untuk kaum  muslimin. Ini berarti jika itu mushalla rumahan yang bukan tempat  ditegakkan shalat lima waktu bagi kaum muslimin lainnya, maka ini tidak  masuk dalam istilah masjid. Sedangkan dinamakan Masjid Jaami’ jika  ditegakkan shalat Jum’at di sana.
Imam Malik mengatakan bahwa i’tikaf boleh dilakukan di masjid mana  saja (asal ditegakkan shalat lima waktu di sana, pen) karena keumuman  firman Allah Ta’ala, “Sedang kamu beri’tikaf dalam masjid”(QS. Al  Baqarah: 187).
Ini juga menjadi pendapat Imam Asy Syafi’i. Namun Imam Asy Syafi’i  rahimahullah menambahkan syarat, yaitu masjid tersebut diadakan juga  shalat Jum’at.  Tujuannya di sini adalah agar ketika pelaksanaan shalat  Jum’at, orang yang beri’tikaf tidak perlu keluar dari masjid.
Kenapa disyaratkan di masjid yang ditegakkan shalat jama’ah? Ibnu  Qudamah mengatakan, “Shalat jama’ah itu wajib (bagi laki-laki). Jika  seorang laki-laki yang hendak melaksanakan i’tikaf tidak berdiam di  masjid yang tidak ditegakkan shalat jama’ah, maka bisa terjadi dua  dampak negatif: (1) meninggalkan shalat jama’ah yang hukumnya wajib, dan  (2) terus menerus keluar dari tempat i’tikaf padahal seperti ini bisa  saja dihindari. Jika semacam ini yang terjadi, maka ini sama saja tidak  i’tikaf. Padahal maksud i’tikaf adalah untuk menetap dalam rangka  melaksanakan ibadah pada Allah.”
Wanita Boleh Beri’tikaf 
Sebagaimana Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengizinkan istri  beliau untuk beri’tikaf.  ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata,  “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam biasa beri’tikaf pada bulan  Ramadhan. Apabila selesai dari shalat shubuh, beliau masuk ke tempat  khusus i’tikaf beliau. Dia (Yahya bin Sa’id) berkata: Kemudian ‘Aisyah  radhiyallahu ‘anha meminta izin untuk bisa beri’tikaf bersama beliau,  maka beliau mengizinkannya.” (HR Bukhari)
Dari ‘Aisyah, ia berkata, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam  beri’tikaf pada sepuluh hari yang akhir dari Ramadhan hingga wafatnya  kemudian isteri-isteri beliau pun beri’tikaf setelah kepergian  beliau.”(HR Bukhari dan Muslim)
Namun wanita boleh beri’tikaf di masjid asalkan memenuhi 2 syarat:  (1) Meminta izin suami dan (2) Tidak menimbulkan fitnah (godaan bagi  laki-laki) sehingga wanita yang i’tikaf harus benar-benar menutup aurat  dengan sempurna dan juga tidak memakai wewangian.
Lama Waktu Berdiam di Masjid 
Para ulama sepakat bahwa i’tikaf tidak ada batasan waktu maksimalnya.  Namun mereka berselisih pendapat berapa waktu minimal untuk dikatakan  sudah beri’tikaf.
Bagi ulama yang mensyaratkan i’tikaf harus disertai dengan puasa,  maka waktu minimalnya adalah sehari. Ulama lainnya mengatakan dibolehkan  kurang dari sehari, namun tetap disyaratkan puasa. Imam Malik  mensyaratkan minimal sepuluh hari. Imam Malik  juga memiliki pendapat  lainnya, minimal satu atau dua hari. Sedangkan bagi ulama yang tidak  mensyaratkan puasa, maka waktu minimal dikatakan telah beri’tikaf adalah  selama ia sudah berdiam di masjid dan di sini tanpa dipersyaratkan  harus duduk.
Yang tepat dalam masalah ini, i’tikaf tidak dipersyaratkan untuk  puasa, hanya disunnahkan. Menurut mayoritas ulama, i’tikaf tidak ada  batasan waktu minimalnya, artinya boleh cuma sesaat di malam atau di  siang hari. Al Mardawi rahimahullah mengatakan, “Waktu minimal dikatakan  i’tikaf pada i’tikaf yang sunnah atau i’tikaf yang mutlak adalah selama  disebut berdiam di masjid (walaupun hanya sesaat).”
Yang Membatalkan I’tikaf
- Keluar masjid tanpa alasan syar’i dan tanpa ada kebutuhan yang mubah yang mendesak.
- Jima’ (bersetubuh) dengan istri berdasarkan Surat Al Baqarah ayat 187. Ibnul Mundzir telah menukil adanya ijma’ (kesepakatan ulama) bahwa yang dimaksud mubasyarah dalam surat Al Baqarah ayat 187 adalah jima’ (hubungan intim).
Yang Dibolehkan Ketika I’tikaf
- Keluar masjid disebabkan ada hajat yang mesti ditunaikan seperti keluar untuk makan, minum, dan hajat lain yang tidak bisa dilakukan di dalam masjid.
- Melakukan hal-hal mubah seperti mengantarkan orang yang mengunjunginya sampai pintu masjid atau bercakap-cakap dengan orang lain.
- Istri mengunjungi suami yang beri’tikaf dan berdua-duaan dengannya.
- Mandi dan berwudhu di masjid.
- Membawa kasur untuk tidur di masjid.
Mulai Masuk dan Keluar Masjid
Jika ingin beri’tikaf selama 10 hari terakhir bulan Ramadhan, maka  seorang yang beri’tikaf mulai memasuki masjid setelah shalat Shubuh pada  hari ke-21 dan keluar setelah shalat shubuh pada hari ‘Idul Fithri  menuju lapangan. Hal ini sebagaimana terdapat dalam hadits ‘Aisyah, ia  berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam biasa beri’tikaf pada  bulan Ramadhan. Apabila selesai dari shalat shubuh, beliau masuk ke  tempat khusus i’tikaf beliau. Dia (Yahya bin Sa’id) berkata: Kemudian  ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha meminta izin untuk bisa beri’tikaf bersama  beliau, maka beliau mengizinkannya.” (HR Bukhari)
Namun para ulama madzhab menganjurkan untuk memasuki masjid menjelang  matahari tenggelam pada hari ke-20 Ramadhan. Mereka mengatakan bahwa  yang namanya 10 hari yang dimaksudkan adalah jumlah bilangan malam  sehingga seharusnya dimulai dari awal malam.
Adab I’tikaf
Hendaknya ketika beri’tikaf, seseorang menyibukkan diri dengan  melakukan ketaatan seperti berdo’a, dzikir, bershalawat pada Nabi,  mengkaji Al Qur’an dan mengkaji hadits. Dan dimakruhkan menyibukkan diri  dengan perkataan dan perbuatan yang tidak bermanfaat.
Semoga panduan singkat ini bermanfaat bagi pembaca sekalian. Semoga menjadi ilmu yang bermanfaat dan membuahkan amalan tentunya.
 http://www.fimadani.com/panduan-ringkas-itikaf-ramadhan/ 
 
 
 
 
0 Komentar:
Posting Komentar
Kehormatan buat kami jika selesai baca Anda beri komentar atas Artikel ini....tapi, Mohon Maaf kawan Komentarnya yang sopan ya....he..he..he..