| Ilustrasi | 
SELASA, 5 April 2011,  adalah hari yang “menarik” perhatian saya.  Ketika saya di ajak kawan kantor untuk mampir ke suatu tempat di kawasan  Jakarta selatan, sekedar untuk melepaskan penat karena aktivitas yang  lumayan padat dan menghilangkan rasa ngidam nya akan makanan yang bikin klenger,  alias burger, tidak jauh dari tempat saya duduk, saya melihat sosok  wanita cantik, manis dan ia berhijab. Lantas apa yang “menarik”  perhatian saya?
Agak terkejut ketika saya melihat ada sebatang rokok menempel di  sela-sela jemarinya. Perlahan saya amati betapa nikmat dan tenangnya ia  mengisap rokok yang ada di tangannya di depan umum sambil bercengkrama  dengan kawan-kawannya. Hmm.. entah mengapa, saya agak terusik dengan  tingkah wanita ini.
 Meski saya tahu, merokok adalah hak masing-masing orang, tapi nampak  tak pas saja pemandangan itu di mata saya, terlebih ada orang di sebelah  saya terdengar mengatakan “itu cewek pake jilbab ko ngerokok ya?”, dan  lantas teman di sebelah nya menjawab “makanya sekarang ga jamin, cewe  jilbab, kadang cuma kedok doang ato cuma ikut trend..”. Bisikan itu  semakin membuat saya kurang nyaman berada di tempat tersebut.
Kawan saya bingung, melihat saya hanya menatap 1 titik saja, tak berkedip dengan wajah penuh keheranan.
“Kenapa Mbak, bengong gitu,” tanya kawan saya, “Hmm.. nggak itu cewek  ko asyik banget ya, berhijab, kemudian ngerokok dengan santai pula di  depan umum,” jawab ku.
“Ya ampun, udah, santai aja..” katanya. Namun sayang, saya bukan tipe  orang yang bisa santai melihat hal ini.  Ada perasaan risih. Karena  saya berhijab dan kawan saya pun berhijab. Untunglah saya punya jeda  untuk berpikir apa yang ingin saya lakukan melihat kejadian tersebut.
 Tidak lama, setelah saya berpikir apa yang ingin saya lakukan, saya  memutuskan untuk menulis di secarik kertas untuk wanita tersebut
”Mbak yang baik dan cantik, mohon maaf sekali, sekiranya mbak  berkenan, mohon tidak merokok di depan umum ya, kurang pas rasanya..”  sambil memberikan senyuman di akhir tulisan. Dengan bismillah dalam  hati, saya meminta tolong waitress untuk memberikan kertas itu kepada wanita tersebut.
Pandangan  saya belumlah beralih kearah lain. Saya masih menunggu respon wanita  itu. Tidak lama, wanita itu menengok kearah saya dan melemparkan  senyuman sambil memberikan jempol. Ia pun langsung mematikan rokoknya  dan melanjutkan perbincangan bersama kawan-kawannya.
“Alhamdulillaahh..” gumam saya dalam hati sambil mengelus dada, dan  membalas senyum wanita itu. Saya hanya berpikir, semoga saja senyum dan  acungan jempolnya, merupakan tanda ia menerima apa yang saya sampaikan  melalui secarik kertas tersebut. Tidak lama setelah itu, saya bersama  kawan saya beranjak pergi dari tempat tersebut karena sudah cukup malam  bagi kami berdua  dan sudah cukup pula bagi kami menghilangkan penat  ini. Kami beranjak pulang, dan meninggalkan tempat itu dengan senyum,  sungguh indah. 
Hijab kita
Wahai sahabat ku yang baik, sekilas cerita di atas  semoga bisa di cerna dengan baik oleh sahabat semua. Bisa jadi apa yang  saya lakukan kepada wanita tersebut, salah menurut sahabat semua, atau  bisa jadi benar. Namun terlepas dari benar atau tidaknya yang saya  lakukan, saya hanya ingin menyampaikan bahwa adalah tanggung jawab kita  semua (terutama para muslimah) untuk menjaga kesantunan dalam Islam.
Saya pribadi meyakini, ketika saya menjaga kesantunan dan hijab saya,  sesungguhnya saya tidak hanya menjaga harga diri saya sendiri, tapi  juga saudari-saudari muslimah lainnya yang juga mengenakan hijab dan  lebih dari pada itu menjaga nama baik Islam.
Sekali saja saya berbuat atau bertingkah di luar koridor kebaikan dan  kesantunan, orang lain bukan hanya menilai diri saya sendiri, tapi  ironi nya juga men-generalisasi wanita muslimah lainnya. Contoh seperti  kasus di atas tadi, mungkin hanya satu orang wanita berhijab yang  “merokok”, tapi orang lain langsung berpendapat “Sekarang hijab hanya  jadi kedok saja, dan gak jaminan.” Istilahnya, hanya karena 1 orang,  semua wanita berhijab  bisa jadi sasaran salah-nya. Ibarat gara-gara  nila setitik, rusaklah susu sebelanga.
Wahai sahabat ku yang baik,  saya sangat mahfum, jika ada pendapat “Ya itu kan hak masing-masing  orang, mau melakukan apapun.” Betul. Namun bijak-nya betapa kita masih  punya beribu alasan atau pilihan untuk memilih hal yang lebih baik.
Meski saya dan kita semua masih sangat jauh dari sebuah kesempurnaan  sebagai seorang muslimah yang mungkin dinilai baik. Namun selayaknya lah  mari sama-sama kita terus saling mengingatkan dan mengupgrade diri  menjadi pribadi yang lebih baik dari kemarin, menjaga diri sendiri, dan  juga Islam.
Memang tidak mudah, namun bukan pula sesuatu yang sulit, jika kita  terus berusaha. Karenanya puncak dari kenikmatan bagi saya salah satunya  adalah ketika mencapai titik kebaikan, karena jalan menuju nya, penuh  dengan rintangan dan tidak jarang juga menerima cibiran dan sindiran.
Seorang ulama pernah mengatakan, “Al-Islamu mahjubun bil muslimin”  (Islam terhijab/tertutupi oleh perilaku umat Islam sendiri. Karena itu,  marilah kita ikut menjaga Islam ini. Caranya, ya menjaga perilaku kita  sendiri.
Wahai sahabat ku yang baik, Tak ada  niatan bagi saya untuk menunjukan atau memamerkan sebuah ketaataan atau  kesantunan. Semua akan menjadi tak ada arti, semu dan penuh fatamorgana  ketika saya menyampaikan hal ini dengan jubah penuh riya'.
Harapan saya hanya satu, semoga melalui tulisan ini, sahabat semua mendapatkan insight yang  lebih baik, dan mempunyai prihatin yang besar terhadap Islam. Saya  mulai merenungi, bahwa seringkali saya prihatin berlebihan pada hal-hal  duniawi, namun apakah sama keprihatinan saya terhadap kemunduran Islam?
Sebagai penutup, salah satu ciri muslimah yang baik adalah memiliki keberanian (syaja’ah)  dalam menyatakan yang hak (benar) itu hak (benar) dan yang batil  (salah) itu batil (salah).  Selain itu, muslimah berkarakter,  ia akan  selalu berusaha untuk menjaga akhlak dan kepribadian sehingga tidak  terjerumus pada perbuatan asusilasi.
Semoga peristiwa ini bisa menjadi perenungan yang sama bagi sahabat-sahabat semua.
Riri Artakusuma. Tinggal di Ciputat, Jakarta
sumber : http://hidayatullah.com/ 
 
 
 
 
0 Komentar:
Posting Komentar
Kehormatan buat kami jika selesai baca Anda beri komentar atas Artikel ini....tapi, Mohon Maaf kawan Komentarnya yang sopan ya....he..he..he..