Assalamu Alaikum, Selamat datang Saudaraku. Semoga BLOG ini bermanfaat dan harapan kami agar Anda sering datang berkunjung. Wassalam. ==> YAHYA AYYASY <==

Mencintai pun Ada Seninya….

Oleh : Cahyadi Takariawan
 
Suatu saat saya sedang menikmati hidangan Coto Makassar bersama beberapa orang teman. Masakan Makassar yang satu ini memang salah satu menu yang saya sukai. Setiap kali mengunjungi kota Makassar, menu wajib yang harus saya nikmati adalah coto ini.


Namun ada hal yang mengganjal di hati saat menyaksikan seorang teman menyantap coto dengan cara yang tidak mengindahkan perasaan seni. Saya harus berhenti makan, dan ”meluruskan” cara makannya teman tersebut.

”Dalam hal makan”, kata saya memulai pembicaraan, ”ada dua hal yang tidak bisa dipisahkan satu sama lain. Pertama adalah fungsi makan, dan kedua adalah seni makan…”

”Fungsi makan di antaranya adalah memberikan nutrisi bagi tubuh, agar kita kenyang dan kuat beraktivitas. Agar keperluan tubuh akan vitamin, mineral, zat besi dan zat-zat lainnya terpenuhi secara proporsional, sehingga kita sehat dan kuat. Jika semata-mata melihat fungsi makan, maka makan itu sangat mudah dan tidak memerlukan cara tertentu. Kita bisa makan coto sampai habis, baru menyantap ketupatnya. Kita bisa melahap semua ketupat sampai habis, baru menikmati cotonya. Atau kita campurkan coto dan ketupat jadi satu mangkuk, dan menghabiskan bersama-sama”.

Tapi itu namanya makan mekanis. Tanpa sentuhan seni.
Ketika kita melihat sisi seni makan, maka setiap jenis makanan atau minuman memiliki seni tersendiri untuk menyantapnya. Ini memang peristiwa yang berbeda. Yang pertama adalah peristiwa memasukkan bahan makanan ke dalam perut melalui mulut. Yang kedua adalah seni menikmati makanan.

Jika kita makan Coto Makassar, pilihlah yang baru selesai dimasak, bukan yang bercampur sisa masakan kemarin. Pastikan bahwa berbagai acesoris yang anda sukai telah tercampurkan dalam mangkuk coto, seperti sambal, perasan air jeruk nipis, kecap dan lain-lain sesuai selera. Setelah siap, ambil satu ketupat, dan belah menjadi dua bagian. Pegang ketupat tersebut, dan ambil dengan senduk untuk anda campurkan sebentar dengan kuah coto dan langsung anda santap.

Saya kira itulah seni ”standar” menikmati Coto Makassar. Teman saya tadi menyantap coto tidak dengan cara seperti itu. Ia potong potong ketupat dan ia campurkan semua potongan ketupat ke dalam mangkuk coto. Jadi, ketupatnya berendam berlama lama di dalam coto, baru ia memakannya. Ini bukan soal salah dan benar, namun ini apresiasasi atas perasaan seni.

Sebagai seorang seseorang yang lahir di Solo, saya juga menyukai masakan Garang Asem. Masakan ini disajikan dalam bentuk terbungkus dengan daun pisang, di dalamnya berisi potongan ayam dengan bumbu bumbu khas dan kuah santan, dimasak dengan cara dikukus. Jika anda menyantapnya, memiliki seni tersendiri.

Letakkan bungkusan Garang Asem dalam sebuah piring, lalu bukalah bungkusan daun pisangnya. Terlebih dahulu anda bisa membuang bagian bagian bumbu apabila dianggap mengganggu, seperti potongan lengkuas dan daun salam. Ambil nasi dan masukkan ke dalam bungkusan Garang Asem, lalu nikmati kelezatannya.
Jika saya melihat orang menyantap Garang Asem dengan jalan menuangkan kuah dan isi bungkusan ke dalam sepiring nasi, saya merasa orang itu tidak mengindahkan seni memakan Garang Asem. Ia sekedar ingin makan  nasi dengan lauk. Tidak menikmati seni memakannya.

Warga Jogjakarta yang tinggal di bagian sebelah selatan Kota, memiliki makan tradisional sate kambing yang khas, disebut Sate Klatak. Banyak dijual di sepanjang Jalan Imogiri Timur. Sate Klatak adalah sate kambing yang dagingnya ditusuk dengan penusuk dari besi. Dagingnya dibakar dengan bumbu minimalis, yaitu garam, kemiri dan sedikit bawang putih. Karena diambil dari daging kambing yang masih sangat muda, maka cita rasanya sangat empuk, apalagi saat terhidang dalam kondisi panas.

Bagi para penggemarnya, seni tertinggi menyantap Sate Klatak adalah dengan langsung memakan sate tersebut pada saat masih panas usai dibakar, tanpa tambahan apapun lagi. Jadi kalau melihat orang makan Sate Klatak tapi masih sibuk minta tambahan sambal, kecap, kuah dan lain lain, menandakan tidak menghayati seni menikmati Klatak.

Saya juga pernah beberapa kali merasa heran dan bahkan harus ditertawakan teman karena belum mengerti seni memakan sesuatu. Misalnya betapa heran saya waktu awal awal keliling Sulawesi, menyaksikan warung makan yang –menurut kebiasaan saya– berkategori minimalis. Ikan bakar di Sulawesi, artinya ikan segar yang dibakar. Ikan goreng artinya ikan segar yang digoreng. Saya protes, mana bumbunya ? Kenapa hanya dibakar atau digoreng tanpa bumbu sama sekali ?

Rata-rata warung makan di Jawa menyajikan menu ikan goreng atau ikan bakar penuh dengan bumbu-bumbu. Maka menjadi cukup terkejut ketika di Sulawesi bumbunya bercorak minimalis. Namun setelah terbiasa dengan selera Sulawesi, akhirnya saya mengerti sendiri, itulah seni menikmati ikan. Jika terlalu banyak bumbu, hilang rasa asli ikannya. Di Jawa, banyak ikan yang sudah tidak segar, maka perlu banyak bumbu agar bisa terasa enak dan lezat. Seakan masyarakat Sulawesi ingin mengatakan, ”Rasakan ikan kami yang sangat enak. Bumbu justru akan mengurasngi kelezatan ikan kami”.

Ya, itulah seni menikmati ikan.
Bagi para penggemar kopi, konon seni tertinggi menikmati kopi adalah ketika meminum dalam kondisi panas dan tanpa gula. Bagi penggemar teh, hanya akan mau meminum teh panas dari seduhan pertama yang dilakukan dengan air yang masih mendidih.

Itu tadi seni dalam makan dan minum. Dalam berpakaian tentu juga ada seninya. Selain berfungsi menutup aurat, melindungi badan, pakaian juga memiliki nilai seni yang sangat tinggi. Dalam membuat rumah tempat tinggal juga berlaku hal yang sama. Selain berfungsi untuk tempat tinggal dan berkumpul dengan seluruh anggota keluarga, rumah juga memerlukan sentuhan seni yang tinggi agar lebih indah.

Demikianlah dalam segala sesuatu selalu ada sisi fungsi dan sisi seni. Keduanya perlu dipadukan secara serasi dan harmonis, justru untuk menghadirkan kehidupan yang selalu bisa dinikmati.

Dalam kehidupan perasaan dan hati kita, juga ditemukan dua sisi tersebut. Ketika ada perasaan cinta, maka dalam segi fisik bisa diwujudkan sejumlah ”fungsi”, seperti penyaluran potensi kemanusiaan dan penjagaan fitrah kehidupan. Cinta orang tua kepada anak, cinta anak kepada orang tua, cinta suami kepada isteri, cinta isteri kepada suami, cinta seseorang kepada keluarga, kerabat, dan teman-teman. Cinta manusia kepada harta dan keindahan dunia. Semuanya adalah fitrah kehidupan dan potensi kemanusiaan.

Namun untuk bisa mencintai diperlukan seni tersendiri. Ada orang yang menyalurkan cinta dengan cara dan jalan yang merusak tatanan kehidupan. Mereka mengekspresikan kecintaan dengan memuaskan semua keinginan dan hasrat tanpa memperhatikan aturan dan batasan. Ini sungguh kecintaan yang hanya berpikir tentang penyaluran potensi dan fitrah kehidupan, tanpa sentuhan dan nilai seni sama sekali.
Ada orang tua yang berlaku sangat kasar bahkan kejam kepada anaknya. Pukulan, tamparan, caci maki, sumpah serapah, sering keluar dari orang tua kepada anak. Katanya untuk mendidik anak, untuk mengajari anak, untuk mendisplinkan anak, untuk mengatur anak, dan lain sebagainya. Benarkah cinta harus diwujudkan dalam bentuk kekerasan seperti itu ?

Ada suami yang berlaku otoriter kepada isterinya. Ia mengatur semua detail kehidupan isterinya tanpa dialog yang melegakan. Semua serba diatur, diarahkan dan tidak ada ruangan utnuk mendiskusikan keinginan. Kadang disertai kata-kata yang menyakitkan hati isteri, bahkan perbuatan yang menyakiti tubuh isteri. Atas nama otoritas kepemimpinan dalam rumah tangga, kadang terjadi perlakuan yang menyakitkan isteri.

Ada isteri yang tidak pernah bisa melihat ada kebaikan suami. Yang di depan mata isteri hanyalah kelemahan, keburukan, kejelekan suami. Seakan-akan suami tidak pernah memiliki dan melakukan kebaikan apapun. Kata kata sering terlontar begitu saja tanpa berpikir bahwa itu sangat menyakitkan suami. Atas nama upaya penjagaan kebaikan keluarga, isteri bertindak semaunya tanpa meperhatikan perasaan suami yang terluka.

Sepertinya mereka tidak memperhatikan seni mencintai. Mereka hanya berbicara fungsi, bahwa memarahi itu adalah untuk mendidik atau memberi pelajaran. Bahwa memukul itu adalah untuk meluruskan atau memberi hukuman agar jera. Bahwa melontarkan caci maki itu adalah untuk menasihati dan mengingatkan kepada kebaikan. Bahwa mengatur segala sesuatu itu adalah kewajiban pemimpin untuk mengarahkan.
Ada dimensi yang terlewatkan, bahwa untuk mencintai ada seninya. Bahwa seni tertinggi dari cinta adalah mencintai tanpa melukai, dan tetap mencintai walau dilukai. Sanggupkah kita menggapainya ?
 
nDalem Mertosanan, 20 Agustus 2011

sumber: http://cahyadi-takariawan.web.id/?p=1505

0 Komentar:

Posting Komentar

Kehormatan buat kami jika selesai baca Anda beri komentar atas Artikel ini....tapi, Mohon Maaf kawan Komentarnya yang sopan ya....he..he..he..

Recent Post widget Inspirasi Rabbani

Menuju

Blog Tetangga

Blog Tetangga
Klik Gambar untuk Berkunjung

Luwuk Banggai SULTENG

Luwuk Banggai SULTENG
ebeeee......