| Abbas As Sisi | 
Terkadang, dalam suatu acara kita
 dihadapkan pada sesuatu yang mendadak dan mendesak, serta masalah yang 
tidak ada kesepakatan sebelumnya. Bahkan sebagian hadirin tidak pernah 
kenal sebelumnya. Suatu ketika —dalam suatu diskusi—, tiba-tiba 
pembicaraan berkisar tentang da’wah Ikhwanul Muslimin. Saya paparkan 
beberapa pom seputar pemikiran Al Ikhwanul Muslimun, sejarah, dan 
hal-hal yang berkaitan dengannya. Setelah ceramah, saya menunggu reaksi 
para peserta.
Muncullah pertanyaan dari salah seorang peserta, ia mengatakan, “Kita
 adalah Ikhwan, apa sikap kita terhadap orang-orang yang menghalangi 
da’wah kita? Saya ingin penjelasan tentang pokok-pokok pemikiran Ikhwan 
dan sejarahnya sehingga saya dapat membelanya?”
Pada saat yang bersamaan ada peserta lain yang bertanya, “Kalian 
adalah Ikhwan. Bagaimana kalian menghadapi tantangan, tuduhan, dan 
rencana musuh-musuh da’wah Islam?”
Dari dua tanggapan tersebut, saya menyadari sekaligus menyimpulkan 
bahwa penanya pertama telah dibukakan hatinya oleh Allah sehingga 
merespon dan merasa mantap terhadap da’wah Ikhwan. Sementara penanya 
kedua masih ragu-ragu dan belum mantap menerima manhaj da’wah Ikhwan, 
sehingga masih perlu mendapat banyak penjelasan. Maka, langsung saja 
saya mengarahkan perhatian dan pembicaraan kepada penanya kedua dengan 
penuh rasa hormat. Saya tidak berusaha membantah dan menghubungkan 
pertanyaannya dengan penanya pertama. Seandainya saya melakukan hal itu,
 berarti saya telah membuat jarak secara kejiwaan antara keduanya karena terjadi perbedaan pemikiran/pendapat.
Sebenarnya, secara kejiwaan seseorang itu tidak menyukai orang lain yang tidak sependapat dengannya.
Saya menyadari bahwa menyampaikan da’wah pada sekelompok orang yang 
mempunyai latar belakang dan tujuan berbeda-beda, kecil kemungkinannya 
dapat menembus hati dan pikiran mereka, karena jumlahnya yang banyak. 
Yang terjadi justru munculnya perbedaan pen-dapat
 dan madzhab. Karena kebiasaan seorang pembicara adalah mempertahankan 
pendapatnya, baik ber-dalih kepada kebenaran maupun kebatilan, sehingga 
timbullah perdebatan yang tak bermanfaat.
Akan tetapi da’wah fardiyah adalah menyentuh inti permasalahan dan 
memberikan kesempatan lebih luas dalam berdialog yang bebas dan tenang 
atau dalam bahasa da’wah “billati hiya ahsan “, 5ehingga dapat saling
 tukar pandangan dan adu argumentasi. Da’wah fardiyah merupakan cara 
untuk saling terbuka, karena terkadang ada pertanyaan-pertanyaan yang 
tidak dapat diungkap di depan umum.
Seperti tuduhan-tuduhan buruk yang sempat merasuki pikiran generasi 
muda, yang tidak mengetahui hakikat sebenarnya tentang kondisi politik :
 Kairo yang dikendalikan oleh musuh-musuh da’wah Islam, yaitu 
musuh-musuh yang selalu ingin menutup jalan Allah. Namun, Allah berkuasa
 terhadap utusan-Nya, “Tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahuinya.” (Yusuf:21)
 
 
 
 
0 Komentar:
Posting Komentar
Kehormatan buat kami jika selesai baca Anda beri komentar atas Artikel ini....tapi, Mohon Maaf kawan Komentarnya yang sopan ya....he..he..he..