“Mungkin Abu Nawas marah kepadaku,” pikir Sultan, maka diutuslah seorang punggawa ke rumah Abu Nawas.
“Tolong sampaikan kepada Sultan, aku sakit hendak bersalin,” jawab 
Abu Nawas kepada punggawa yang datang ke rumah Abu Nawas menyampaikan 
pesan Sultan. “Aku sedang menunggu dukun beranak untuk mengelurkan 
bayiku ini,” kata Abu Nawas lagi sambil mengelus-elus perutnya yang 
buncit.
“Ajaib benar,” kata Baginda dalam hati, setelah mendengar laporan
 punggawa setianya. “Baru hari ini aku mendengar kabar seorang lelaki 
bisa hamil dan sekarang hendak bersalin. Dulu mana ada lelaki 
melahirkan. Aneh, maka timbul keinginan Sultan untuk menengok Abu Nawas.
 Maka berangkatlah dia diiringi sejumlah mentri dan para punggawa ke 
rumah Abu Nawas.
Begitu melihat Sultan datang, Abu Nawas pun berlari-lari menyamabut 
dan menyembah kakinya, seraya berkata, “Ya tuanku Syah Alam, berkenan 
juga rupanya tuanku datang ke rumah hamba yang hina dina ini.”
Sultan dipersilahkan duduk di tempat yang paling terhormat, sementara
 Abu Nawas duduk bersila di bawahnya. “Ya tuanku Syah Alam, apakah 
kehendak duli Syah Alam datang ke rumah hamba ini? Rasanya bertahta 
selama bertahun-tahun baru kali ini tuanku datang ke rumah hamba,” tanya
 Abu Nawas.
“Aku kemari karena ingin tahu keadaanmu,” jawab Sultan, “Engkau 
dikabarkan sakit hendak melahirkan dan sedang menunggu dukun beranak, 
sejak zaman nenek moyangku hingga sekarang, aku belum pernah mendengar 
ada seorang lelaki mengandung dan melahirkan, itu sebabnya aku datang 
kemari.”
Abu Nawas tidak menjawab, ia hanya tersenyum.
“Coba jelaskan perkatanmu. Siapa lelaki yang hamil dan siapa dukun beranaknya,” tanya Sultan lagi.
Maka dengan senang hati berceritalah Abu Nawas. “Konon, ada seorang 
raja mengusir seorang pembesar istana. Tetapi setelah lima bulan 
berlalu, tanpa alasan yang jelas, sang Raja memanggil kembali pembear 
tersebut ke Istana, ini ibarat hubungan laki-laki dan perempuan yang 
kemudian hamil tanpa menikah. Tentu saja itu melanggar adat dan agama, 
menggegerkan seluruh negeri.
Lagi pula apabila seorang mengeluarkan titah, tidak boleh mencabut 
perintahnya lagi, jika itu dilakukan, ibarat menjilat air ludah sendiri,
 itulah tanda-tanda pengecut. Oleh akrena itu harus berpikir masak-masak
 sebelum bertindak. Itulah tamsil seorang lelaki yang hendak bersalin, 
adapun dukun beranak yang ditunggu, adalah baginda kemari,”. Dengan kedatangan baginda kemari, berarti 
hamba sudah melahirkan, yang dimaksud dengan bersalin adalah hilangnya 
rasa sakit atau takut hamba kepada Baginda.”
“Bukan begitu, kata Sultan. “Ketika aku melarang kamu datang lagi ke 
istana, itu tidak sungguh-sungguh, melainkan hanya bergurau. Besok 
datanglah engkau ke istana, aku ingin bicara denganmu. Memang di sana 
banyak mentri, tetapi tidak seperti kamu. lagi pula selama engkau tidak 
hadir di istana, selama itu pula hilanglah cahaya Balairungku”.
“Segala titah baginda, patik junjung tinggi tuanku,” sembah Abu Nawas
 dengan takdzim. Tetapi Sutan cuma geleng-geleng kepala. Dan tidak 
seberapa lama kemudian Sultan pun kembali ke Istana dengan perasaan 
heran bercampur geli….
Air Susu yang Pemalu
Suatu hari Sultan Harun Al-Rasyid berjalan-jalan di pasar. Tiba-tiba 
ia memergoki Abu Nawas tengah memegang botol berisi anggur. Sultan pun 
menegur sang Penyair, “Wahai Abu Nawas, apa yang tengah kau pegang itu?”
Dengan gugup Abu Nawas menjawab, “Ini susu Baginda.”
“Bagaimana mungkin air susu ini berwarna merah, biasanya susu kan 
berwarna putih bersih,” kata Sultan keheranan sambil mengambil botol 
yang di pegang Abu Nawas.
“Betul Baginda, semula air susu ini berwarna putih bersih, saat 
melihat Baginda yang gagah rupawan, ia tersipu-sipu malu, dan merona 
merah.”
Mendengar jawaban Abu Nawas, baginda pun tertawa dan meninggalkannya sambil geleng-geleng kepala.
 Referensi Kisah, alkisah nomor 04 / 16-29 Feb 2004
 
 
 
 
0 Komentar:
Posting Komentar
Kehormatan buat kami jika selesai baca Anda beri komentar atas Artikel ini....tapi, Mohon Maaf kawan Komentarnya yang sopan ya....he..he..he..