| Ilustrasi. (inet) | 
Anak muda hari ini malas baca. Mungkin termasuk saya ataupun Anda. Berjam-jam pelototin film Korea. Ambil tissue untuk usap air mata. Pasang wajah mewek tanpa jeda.
“Ihhh, film-nya romantis bangeeettt eaaa,”
Padahal, pemeran dalam film tak jelas status hubungan antar mereka. 
Istri bukan, suami bukan. Entah di mana letak romantisnya. Heran.
Mungkin karena wajah pemeran wanita jelita. Atau sang pria dengan 
tampang rupawan. Itu saja, tidak lebih. Maka berhari-harilah film itu 
ditonton. Tapi itu bukanlah hal yang romantis. Bukan. Semua pasti setuju itu.
Bela-belain beli CD-nya. Saling
 pinjam. Atau tongkrongin di warnet lola, downloadnya berjam-jam. Tetap 
saja menikmatinya. Katanya demi sebuah pelajaran romantisme. Kemudian, 
dilanjutkan bikin jadwal nonton bareng. Niat banget deh pokoknya.
Pas ditanya, “demen banget nontonnya ya?” Dengan wajah berbinar 
dijawab, “iyaa, aku pencinta sejati. Suka yang romantis dan ingin 
menjadi orang yang romantis. Pokoknya, amat menyukainya.”
Padahal kisahnya banyak fiktif belaka. Bisakah terlahir seorang 
pencinta sejati dari hal yang seperti itu? Owh, yang benar sajalah. 
Tentu, romantismenya pun perlu dipertanyakan.
Jika hendak belajar romantisme, bacalah sejarah para pencinta sejati.
  Kisah romantis mereka apik dicatat dalam kehidupan nyata. Kitanya saja
 yang malas baca. Maunya yang praktis. Hanya hasil imajinatif yang 
kualitasnya pun fluktuatif. Yakinlah, tak kan bisa menghadirkan 
romantisme yang sesungguhnya dari karya fiktif.
Mari kita simak kisah romantisme Ali bin Abi Thalib RA dan Fatimah 
Az-Zahra RA. Ini cerita nyata. Bukan hasil rekayasa. Tak perlu 
sutradara. Karena Allah sendiri yang punya rencana. Jauh-jauh hari telah
 tertulis di Lauh Mahfudz manuskripnya.
Ali dan Fathimah. Sudah ada
 rasa suka di antara keduanya saat mulai mengerti tentang cinta. 
Gejolak-gejolak rasa pun membuncah bak air telaga. Tapi mereka saling 
menjaga. Hati-hati menjaga sikap. Tidak pernah diumbar. Mencintai dalam 
diam.
Ali tak pernah nyatakan cinta. Bukan karena dia pria cemen. Bukan 
karena dia tak punya nyali. Tapi, karena dia tahu batasan syar’i. Juga 
tak pernah kasih kode-kode maut melalui kerlingan mata. Perhatian 
‘pedekate’ pun tak pernah. Apalagi sms gombal. Pokoknya sangat dijaga 
hingga syaithan pun tak tahu. Meski cinta di dada semakin menggebu.
Begitu juga dengan Fatimah. Tak pernah tebar pesona di depan Ali. 
Pura-pura ‘kecentilan’ cari perhatian pun tidak. Tak pernah kalimat 
manja yang dia lontarkan. Apalagi ngajak jalan bareng, memanfaatkan 
kendaraan si doi hanya untuk ngojek.
“Beib, motor kamu bagusss deh…anterin aku donk…donk…donk,” ahh rayuan
 maut. Asli modus. Minyak gratis. Fasilitas gratis. Tapi sayangnya 
diragukan dihitung sebagai pahala. Dosa mungkin iya. Na’udzubillah.
Ali dan Fatimah, keduanya saling mencinta. Hebatnya, tetap saling 
menjaga hati. Bahkan seandainya Muhammad saw yang merupakan ayah Fatimah
 bukan Rasul Allah, mungkin tak kan tahu cinta suci ini seumur hidupnya.
 Hingga Allah mengabari sang Rasul dengan cara yang sangat halus. Ya, sangat halus.
Allah menepati janjinya pada waktu yang tepat. “..Laki-laki baik, 
untuk perempuan baik. Perempuan baik untuk laki-laki baik,” (An-nur 26).
 Akhirnya, mereka berdua dinikahkan. Bertemulah cinta dengan cinta. 
Cinta yang tumbuh bersama ketaatan. Tak terkotori dengan kemaksiatan.
“Suamiku, sesungguhnya ada seorang laki-laki yang teramat aku cintai 
sebelum menikahimu,” ungkap Fathimah setelah ijab qabul terlaksana. 
Sambil menunduk ia ucapkan pengakuan itu.
Owh, broo… Bayangkan bagaimana perasaan kita saat itu jika menjadi 
Ali. Perempuan yang telah lama kita cintai, bahkan Allah takdirkan juga 
menikahinya, kini membuat pengakuan yang bisa membuat hati ini sangat 
cemburu. Panas amarah bahkan bisa saja memuncak saat itu.
“Sampaikan kepadaku, siapakah lelaki itu?” tanya Ali dengan perasaan 
bergemuruh. Namun sikapnya tetap tenang. Ia pandangi dengan dekat 
perempuan yang telah jadi istrinya ini.
Fatimah pun mengangkat wajahnya, “Laki-laki yang pernah aku cintai itu, kini berdiri tepat di hadapanku,”
Allahu Akbar…Allahu Akbar…
Atau kisah tentang Utsman bin Affan RA waktu itu usianya menginjak 80
 tahun. Sudah renta untuk ukuran usia. Tapi jangan ditanya kualitasnya 
sebagai pencinta sejati. Seorang gadis berusia 18 tahun, Naila, bersedia
 menikah dengannya.
Ini bukanlah perjodohan yang mudah. Tapi itulah cinta, ia hadir 
bersama kerahasiaan yang begitu menjelaga. Persis serahasia jodoh itu 
sendiri. “Kamu terkejut melihat ubanku? Percayalah, hanya kebaikan yang 
engkau temui di sini,” itulah kalimat pertama Utsman bin Afffan saat 
menyambut istri terakhirnya itu. Itu kata yang ia ucapkan setelah 
pernikahan berlangsung. Bukan gombal. Apalagi penipuan. Karena setelah 
itu yang ada hanya bukti dari kata-kata yang telah terpateri.
Utsman, lelaki tua itu membuktikan cintanya. Cinta yang bersumber 
dari ketaatannya pada Allah. Bahkan, setelah Utsman meninggal karena 
terbunuh. Naila memutuskan untuk tidak menikah lagi. Ia bahkan merusak 
wajahnya untuk menolak semua pelamarnya. Bayangkan, berarti banyak sudah
 pelamar yang datang. Terbukti, tak ada yang dapat mencintai sehebat 
lelaki tua itu. Masya Allah.
Dan tentu kita harus tahu, seperti apa sebenarnya Naila ini. Kenapa 
begitu layak ia menikah dengan Utsman. Karena dulu, ketika ia pernah 
ditanya tentang alasannya mau menikah dengan Utsman, dia menjawab, “Aku 
suka ketuaanmu, karena mudamu telah kau habiskan bersama Rasulullah,”. 
Cinta bertemu Cinta. Cinta yang bermuara pada ketaatan, bukan 
kemaksiatan. “..Laki-laki baik, untuk perempuan yang baik. Perempuan 
yang baik, untuk laki-laki yang baik.” Allah selalu tepati janji-Nya.
 
 
 
 
0 Komentar:
Posting Komentar
Kehormatan buat kami jika selesai baca Anda beri komentar atas Artikel ini....tapi, Mohon Maaf kawan Komentarnya yang sopan ya....he..he..he..