| Berbagai upaya sudah dilakukan agar anak semangat belajar. Tapi, hasilnya justru sebaliknya. Seringkali penyebabnya muncul dari orangtua. | 
Memahami anak sebagai individu yang 
sedang menjalani tahapan-tahapan dalam masa pertumbuhannya, diperlukan 
kesabaran ekstra. Demikian pula ketika mendapati anak yang telah 
memasuki usia sekolah begitu malas belajar. Mengandalkan guru untuk 
menyelesaikan masalah? Tentu tak bisa begitu.
Apalagi bila kita menyadari bahwa anak 
sesungguhnya memulai pendidikannya dari rumah. Sehingga, peran orangtua 
untuk membantu secara langsung kesulitan yang dialami anak merupakan hal
 yang sangat penting. Mencari penyebabnya adalah langkah awal untuk 
menerapkan solusi yang tepat.
Robert D. Carpenter MD adalah seorang peneliti yang pernah mengadakan  pengamatan terhadap perkembangan belajar murid sekolah dasar di California,
 Amerika Serikat. Dalam pengamatannya ditemukan adanya penyebab mengapa 
anak-anak kerap mengalami masalah dalam belajar yang cenderung membuat 
mereka jadi malas. Berikut ini empat penyebab yang kerap terjadi dan 
menyebabkan anak malas belajar.
1. Komunikasi tidak efektif
Ingat, target kita berkomunikasi adalah 
memastikan bahwa ‘pesan’ yang ingin kita sampaikan kepada penerima pesan
 (anak) diterima dengan benar. Tentu orangtua ingin agar anak mengerti, 
menyukai dan melakukan apa-apa yang dipikirkan orangtua. Komunikasi yang
 efektif juga bisa mengungkapkan kehangatan dan kasih sayang orangtua, misalnya, “Ayah bangga sekali, kamu sudah berusaha keras belajar di semester ini.”
Coba ingat-ingat bagaimana pola 
komunikasi yang kita bangun selama ini. Sudahkah anak-anak menangkap 
pesan yang kita sampaikan sesuai dengan yang kita maksud?
Seringkali orangtua lupa menyampaikan ‘isi’
 dari pesannya, tapi lebih banyak merembet pada hal-hal yang sebenarnya 
di luar maksud utamanya. Misal, nilai ulangan harian anak di bawah rata-rata teman sekelasnya. Tanpa bertanya terlebih dulu kepada anak kenapa nilainya jelek, Ibu langsung komentar, “Itulah
 akibatnya kalau kamu nggak nurut Ibu. Main melulu sih. Ibu tuh dulu 
waktu sekolah nggak pernah dapat nilai 6. Kamu kok nilainya jelek 
begini. Gimana sih?” Apa inti pesan yang disampaikan Ibu? Anak 
salah karena nilainya jelek dan semakin salah karena Ibu selalu 
membandingkan anak dengan keadaan Ibunya sewaktu sekolah. Akibatnya, 
anak akan berpendapat, “Ah, nggak ada gunanya bilang ke Ibu kalau nilai jelek. Nanti pasti dimarahin.”
Padahal, mengetahui nilai anak yang di bawah rata-rata buat orangtua sangat penting untuk mengevaluasi penyebabnya. “Wah, nilai anak saya untuk mata pelajaran matematika kenapa selalu jelek ya? Apa yang perlu dibantu?”
 Sederet pertanyaan itu bisa terjawab bila kita berkomunikasi secara 
efektif, bukan menyalah-nyalahkan anak. Bila penyebab bisa segera 
diketahui, maka orangtua bisa mencari solusinya dan melakukan perbaikan.
Komunikasi yang tidak efektif yang 
berjalan selama bertahun-tahun, pastinya akan berdampak negatif pada 
pembentukan karakter anak. Padahal, salah satu fungsi komunikasi adalah 
untuk mengenal diri sendiri dan orang lain. Bisa dipastikan pola seperti
 itu akan membuat anak bingung dalam mengenali dirinya sendiri dan 
orangtuanya. ‘Apa sih sebenarnya maunya Ayah/Ibu?’ Kebingungan ini mengakibatkan dalam diri anak tidak tumbuh motivasi kuat untuk berprestasi, toh mereka tak tahu apa gunanya mereka belajar.
2. Tak terbantahkan
‘Pokoknya kamu harus ranking satu. Dulu, ayah sekolah jalan kaki, tapi selalu ranking satu. Kenapa kamu nggak bisa?’ Menekankan dengan kalimat, ‘pokoknya’, ‘seharusnya’, dan kata sejenis lainnya menunjukkan tidak adanya celah untuk pilihan lain.         
Orangtua yang tak terbantahkan membuat 
anak sulit mengemukakan pendapatnya. Bahkan, sulit mengetahui potensi 
dirinya sendiri, apalagi mengoptimalkan potensinya. Kecenderungan tak 
terbantahkan ini kalau berlanjut terus bisa menjurus pada upaya 
memaksakan kehendak orangtua pada anak. Misalnya, “Nanti kamu harus jadi
 dokter.” Kalaupun akhirnya anak mengikuti kehendak orangtuanya kuliah 
di fakultas kedokteran, ia akan menjalaninya dengan setengah hati. Bisa 
jadi, hanya setahun dijalani, selanjutnya keluar karena bertentangan 
dengan keinginannya. Tentu kita tak ingin ini terjadi bukan?
3. Target tidak pas
Target yang tidak pas, bisa terlalu 
rendah atau terlalu tinggi dari kemampuannya. Jangan sampai memaksakan 
begitu banyak kegiatan pada seorang anak sehingga mereka jadi jenuh dan 
terlalu lelah. Akibat overaktivitas, banyak anak yang kemudian mulai 
meninggalkan belajar sebagai kegiatan yang seharusnya paling utama.
Di sinilah peranan orangtua sangat 
penting, jangan sampai terlalu memaksa anak dengan harapan agar mereka 
dapat menuai prestasi sebanyak-banyaknya. Mereka didaftarkan pada 
berbagai macam kursus atau les privat tanpa mengetahui bahwa batas IQ 
seorang anak tidak memungkinkannya menerima berbagai macam kegiatan yang
 disodorkan oleh orangtua.
Namun, sebaliknya bagi anak yang 
memiliki IQ tinggi, juga perlu penanganan khusus, karena mereka tidak 
cukup dengan target regular untuk anak lainnya. Mereka membutuhkan 
tantangan lebih supaya potensinya teroptimalkan. Untuk mengetahui 
potensi ini, orangtua perlu bantuan psikolog.
4. Aturan dan hukuman yang tidak mendidik
Terlalu ketat dalam rutinitas harian 
bisa menyebabkan akhirnya anak malas belajar. Namun, sebaliknya tanpa 
membuat rutinitas harian anak tidak terbiasa memiliki jadwal belajar 
yang harus dipatuhinya. Jalan tengahnya, rutinitas tidak bisa ditetapkan
 secara sepihak oleh orangtua, namun dibangun bersama-sama.
Membuat aturan juga harus diikuti dengan
 konsekuensi. Jadi, anak dapat mengerti apa hubungannya antara kepatuhan
 menjalani aturan dengan konsekuensinya, bukan sekadar hukuman yang 
tidak mendidik, seperti hukuman cubitan bila dapat nilai jelek
Bagi anak usia SD ke atas, orangtua 
perlu mendiskusikannya dengan anak. Aturan tersebut ditandatangani dan 
dipasang di dekat meja belajar. Misal, 1) Belajar sehabis shalat 
Maghrib sampai Isya;  2) Boleh nonton Avatar pada minggu pagi; 3) Main 
PS paling lama 2 jam di hari libur; 4) dan seterusnya.  
Jangan bosan juga untuk meng-up date kesepakatan dan mengingatkan kalau ada yang melanggar. Ingatkan juga akan konsekwensinya, misalnya “Belajar yuk! Kemarin kita sepakat kan kalau nggak belajar, gimana hayo?”
Biarkan anak menjawab konsekwensinya. 
Jika aturan itu sudah dibuat bersama, pasti anak ingat akan 
konsekwensinya. Harapannya, kesadaran untuk belajar akan tumbuh dari 
dalam diri anak, bukan dipaksakan orangtua. Tidak ada lagi hukuman yang 
tidak mendidik, karena hukuman akan membuat anak berpikir “Ugh, belajar sangat tidak menyenangkan!”
Mewaspadai empat hal tersebut penting 
untuk mencegah kemalasan anak semakin parah. Yuk, bantu anak-anak kita 
agar rajin dan senang belajar.
(Sarah Handayani)
 
 
 
 
0 Komentar:
Posting Komentar
Kehormatan buat kami jika selesai baca Anda beri komentar atas Artikel ini....tapi, Mohon Maaf kawan Komentarnya yang sopan ya....he..he..he..