Sesungguhnya bunga yang diambil oleh penabung di bank adalah riba
yang diharamkan, karena riba adalah semua tambahan yang disyaratkan atas
pokok harta. Artinya, apa yang diambil seseorang tanpa melalui usaha
perdagangan dan tanpa berpayah-payah sebagai tambahan atas pokok
hartanya, maka yang demikian itu termasuk riba. Dalam hal ini Allah
berfirman:
“Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada
Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu
orang-orang yang beriman. Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan
sisa riba) maka ketahuilah, bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu.
Dan jika kamu bertobat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok
hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya.” (QS. Baqarah: 278-279)
Yang
dimaksud dengan tobat di sini ialah seseorang tetap pada pokok
hartanya, dan berprinsip bahwa tambahan yang timbul darinya adalah riba.
Bunga-bunga sebagai tambahan atas pokok harta yang diperoleh tanpa
melalui persekutuan atas perkongsian, mudharakah, atau bentuk-bentuk
persekutuan dagang lainnya, adalah riba yang diharamkan. Sedangkan guru
saya Syekh Syaltut sepengetahuan saya tidak pernah memperbolehkan bunga
riba, hanya beliau pernah mengatakan: “Bila keadaan darurat – baik
darurat individu maupun darurat ijtima’iyah – maka bolehlah dipungut
bunga itu.” Dalam hal ini beliau memperluas makna darurat melebihi yang
semestinya, dan perluasan beliau ini tidak saya setujui. Yang pernah
beliau fatwakan juga ialah menabung di bank sebagai sesuatu yang lain
dari bunga bank. Namun, saya tetap tidak setuju dengan pendapat ini.
Islam
tidak memperbolehkan seseorang menaruh pokok hartanya dengan hanya
mengambil keuntungan. Apabila dia melakukan perkongsian, dia wajib
memperoleh keuntungan begitu pun kerugiannya. Kalau keuntungannya
sedikit, maka dia berbagi keuntungan sedikit, demikian juga jika
memperoleh keuntungan yang banyak. Dan jika tidak mendapatkan
keuntungan, dia juga harus menanggung kerugiannya. Inilah makna
persekutuan yang sama-sama memikul tanggung jawab.
Perbandingan
perolehan keuntungan yang tidak wajar antara pemilik modal dengan
pengelola – misalnya pengelola memperoleh keuntungan sebesar 80%-90%
sedangkan pemilik modal hanya lima atau enam persen – atau terlepasnya
tanggung jawab pemilik modal ketika pengelola mengalami kerugian, maka
cara seperti ini menyimpang dari sistem ekonomi Islam meskipun Syekh
Syaltut pernah memfatwakan kebolehannya. Semoga Allah memberi rahmat dan
ampunan kepada beliau.
Maka pertanyaan apakah dibolehkan
mengambil bunga bank, saya jawab tidak boleh. Tidak halal baginya dan
tidak boleh ia mengambil bunga bank, serta tidaklah memadai jika ia
menzakati harta yang ia simpan di bank.
Kemudian langkah apa yang harus kita lakukan jika menghadapi kasus demikian?
Jawaban
saya: segala sesuatu yang haram tidak boleh dimiliki dan wajib
disedekahkan sebagaimana dikatakan para ulama muhaqqiq (ahli tahqiq).
Sedangkan sebagian ulama yang wara’ (sangat berhati-hati) berpendapat
bahwa uang itu tidak boleh diambil meskipun untuk disedekahkan, ia harus
membiarkannya atau membuangnya ke laut. Dengan alasan, seseorang tidak
boleh bersedekah dengan sesuatu yang jelek. Tetapi pendapat ini
bertentangan dengan kaidah syar’iyyah yang melarang menyia-nyiakan harta
dan tidak memanfaatkannya.
Harta itu bolehlah diambil dan
disedekahkan kepada fakir miskin, atau disalurkan pada proyek-proyek
kebaikan atau lainnya yang oleh si penabung dipandang bermanfaat bagi
kepentingan Islam dan kaum muslimin. Karena harta haram itu –
sebagaimana saya katakan – bukanlah milik seseorang, uang itu bukan
milik bank atau milik penabung, tetapi milik kemaslahatan umum.
Demikianlah
keadaan harta yang haram, tidak ada manfaatnya dizakati, karena zakat
itu tidak dapat mensucikannya. Yang dapat mensucikan harta ialah
mengeluarkan sebagian darinya untuk zakat. Karena itulah Rasulullah SAW
bersabda:
“Sesungguhnya Allah tidak menerima sedekah dari hasil korupsi.” (HR Muslim)
Allah
tidak menerima sedekah dari harta semacam ini, karena harta tersebut
bukan milik orang yang memegangnya tetapi milik umum yang dikorupsi.
Oleh
sebab itu, janganlah seseorang mengambil bunga bank untuk kepentingan
dirinya, dan jangan pula membiarkannya menjadi milik bank sehingga
dimanfaatkan karena hal ini akan memperkuat posisi bank dalam
bermuamalat secara riba. Tetapi hendaklah ia mengambilnya dan
menggunakannya pada jalan-jalan kebaikan.
Sebagian orang ada yang
mengemukakan alasan bahwa sesungguhnya seseorang yang menyimpan uang di
bank juga memiliki risiko kerugian jika bank itu mengalami kerugian dan
pailit, misalnya karena sebab tertentu.
Maka saya katakan bahwa kerugian
seperti itu tidak membatalkan kaidah, walaupun si penabung mengalami
kerugian akibat dari kepailitan atau kebangkrutan tersebut, karena hal
ini menyimpang dari kaidah yang telah ditetapkan. Sebab tiap-tiap kaidah
ada penyimpangannya, dan hukum-hukum dalam syariat Ilahi -demikian juga
dalam undang-undang buatan manusia – tidak boleh disandarkan kepada
perkara-perkara yang ganjil dan jarang terjadi. Semua ulama telah
sepakat bahwa sesuatu yang jarang terjadi tidak dapat dijadikan sebagai
sandaran hukum, dan sesuatu yang lebih sering terjadi dihukumi sebagai
hukum keseluruhan. Oleh karenanya, kejadian tertentu tidak dapat
membatalkan kaidah kulliyyah (kaidah umum).
Menurut kaidah umum,
orang yang menabung uang (di bank) dengan jalan riba hanya mendapatkan
keuntungan tanpa memiliki risiko kerugian. Apabila sekali waktu ia
mengalami kerugian, maka hal itu merupakan suatu keganjilan atau
penyimpangan dari kondisi normal, dan keganjilan tersebut tidak dapat
dijadikan sandaran hukum.
Boleh jadi saudara berkata, “Tetapi bank
juga mengolah uang para nasabah, maka mengapa saya tidak boleh
mengambil keuntungannya?”
Betul bahwa bank memperdagangkan uang
tersebut, tetapi apakah sang nasabah ikut melakukan aktivitas dagang
itu. Sudah tentu tidak. Kalau nasabah bersekutu atau berkongsi dengan
pihak bank sejak semula, maka akadnya adalah akad berkongsi, dan sebagai
konsekuensinya nasabah akan ikut menanggung apabila bank mengalami
kerugian. Tetapi pada kenyataannya, pada saat bank mengalami kerugian
atau bangkrut, maka para penabung menuntut dan meminta uang mereka, dan
pihak bank pun tidak mengingkarinya. Bahkan kadang-kadang pihak bank
mengembalikan uang simpanan tersebut dengan pembagian yang adil
(seimbang) jika berjumlah banyak, atau diberikannya sekaligus jika
berjumlah sedikit.
Bagaimanapun juga sang nasabah tidaklah
menganggap dirinya bertanggung jawab atas kerugian itu dan tidak pula
merasa bersekutu dalam kerugian bank tersebut, bahkan mereka menuntut
uangnya secara utuh tanpa kurang sedikit pun.
–
Yusuf Qaradhawi, Fatwa-Fatwa Kontemporer
0 Komentar:
Posting Komentar
Kehormatan buat kami jika selesai baca Anda beri komentar atas Artikel ini....tapi, Mohon Maaf kawan Komentarnya yang sopan ya....he..he..he..