Periode ini terdiri dari dua fase yang berbeda:
Fase pertama, yaitu masa Rasul di Mekah, lamanya 12 tahun,  
lebih beberapa bulan, sejak kerasulan beliau hingga hijrah ke Madinah.  
Pada fase ini belum ada
 
arahan pembentukan hukum amaliyah dan penyusunan  undang-undang perdata,
 perdagangan, keluarga, dsb. Ayat-ayat Qur’an  yang turun pada masa itu 
sebagain besar berbicara tentang aqidah,  akhlak, suritauladan dan 
sejarah perjalanan orang-orang terdahulu. Dalam  tinjauan historis hal 
ini dapat kita fahami karena pada fase ini fokus  perhatian Rasul adalah
 pada pengenalan prinsip-prinsip Islam, mengajak  orang bertauhid dan 
meninggalkan penyembahan berhala, serta berusaha  menyelamatkan para 
pengikut Islam dari orang-orang yang merintangi  dakwah. Kaum muslimin 
pada saat itu masih lemah secara kuantitas dan  belum memiliki 
pemerintahan sendiri.
Fase Kedua, yaitu sewaktu Rasul berada di Madinah, lamanya hampir 10 tahun, sejak hijrah beliau hingga wafatnya.
Dalam fase ini, Islam benar-benar telah tegak dengan kuantitas  
pengikut yang besar dan memiliki pemerintahan sendiri. Kebutuhan  
pembentuka hukum dan penyusunan undang-undang menjadi sebuah keniscayaan
  untuk mengatur hubungan internal, eksternal, baik dalam keadaan perang
  maupun damai.
Oleh karena itu, di Madinah telah disyariatkan hukum perkawinan,  
talak, waris, utang piutang, dsb. Dan surah-surah Madaniyah (surah-surah
  yang turun setelah hijrah) banyak mengandung ayat-ayat hukum, selain  
ayat-ayat aqidah, akhlak dan kisah-kisah.
Wewenang pembentukan hukum dalam periode ini
 Dalam periode ini, wewenang pembentukan hukum  
sepenuhnya berada di tangan Rasul. Apabila kaum muslimin dihadapkan pada
  suatu permasalahan, mereka segera menyampaikannya pada Rasul. Beliau  
sendiri yang langsung menyampaikan fatwa hukum, meneyelesaikan sengketa,
  dan menjawab berbagai pertanyaan. Keputusan hukum tersebut  
kadang-kadang dijawab oleh ayat-ayat Qur’an yang diwahyukan kepada  
Rasul, dan kadang-kadang beliau berijtihad. Apa yang datang dari Rasul  
menjadi hukum bagai kaum muslimin dan menjadi undang-undang yang wajib  
ditaati, baik yang datangnya dari Allah maupun dari ijtihad beliau  
sendiri.
Namun ini bukan berarti pintu ijtihad tertutup sama sekali bagi  
selain Rasul. Ada beberapa riwayat yang menyebutkan bahwa sebagaian  
sahabat telah berijtihad di masa hidup Rasulullah.
Ali bin Abi Thalib diberi arahan oleh Nabi cara memutuskan hukum  
ketika diutus ke Yaman untuk menjadi hakim. Muadz bin Jabal pun sebelum 
 diutus ke Yaman pernah ditanya oleh Nabi: “Dengan apa engkau akan  
mengambil keputusan, apabila dihadapkan kepadamu suatu masalah yang  
tidak engkau temukan di dalam Kitabullah dan Sunnah Rasul?”, Muadz menjawab: “Aku akan berijtihad dengan pendapatku”. Rasul kemudian berkata: “Segala puji bagi Allah, yang telah menyesuaikan utusan Rasulullah dengan apa yang diridhoi oleh Allah dan Rasul-Nya.”
Amr bin Ash pada suatu hari pernah diperintah oleh Nabi dengan sabdanya: ”Putuskanlah perkara ini!” . Amr bertanya: ”Apakah akau akan berijtihad, sedangkan engkau ada ya Rasulullah?”. Rasul menjawab: “Ya! Kalau engkau benar, maka engkau akan memperoleh dua pahala, dan kalau salah, maka akan memperoleh satu pahala.”
Meskipun demikian, kewenangan para sahabat untuk berijtihad adalah hanya pada situasi-situasi khusus dan sifatnya dalam rangka tathbiq (penerapan / pelaksanaan hukum) dan tidak dalam rangka tasyri (pembentukan
  / pembuatan hukum). Di samping itu hasil ijtihad para sahabat tentang 
 suatu masalah tidaklah menjadi ketetapan hukum bagi kaum muslimin 
secara  umum atau mengikat mereka, kecuali ada ikrar (legalisasi) dari 
Rasul.
Sumber pembentukan hukum
Sumber pembentukan hukum dalam periode Rasul ini ada dua, yaitu: wahyu ilahi dan ijtihad Rasul (ijtihad nabawi).
Jadi apabila datang permasalahan diantara kaum muslimin yang  
membutuhkan ketentuan hukum (terjadi sengketa, pertanyaan, atau  
permohonan fatwa), ada dua kemungkinan yang akan terjadi:
Pertama, Allah menurunkan wahyu kepada nabi untuk menetapkan  
keputusan. Contohnya adalah turunnya wahyu untuk menjawab pertanyaan  
sahabat tentang: perang di bulan haram (2: 217) dan tentang arak dan  
judi (2: 219).
Kemungkinan kedua adalah suatu hukum diputuskan dengan ijtihad  
nabawi. Ijtihad ini pun pada suatu waktu merupakan ta’bir ilham Ilahi  
yang diberikan Allah kepada nabi, dan di waktu yang lain praktis  
merupakan hasil dari kesimpulan-kesimpulan yang beliau ambil sendiri  
dengan berorientasi kepada kemaslahatan.
Hukum-hukum ijtihadiyah yang nabi tidak memperoleh ilham dari Allah, 
 yakni yang bersumber dari pandangan pribadi beliau disebut hukum 
nabawi;  hukum ini tidak akan diakui Allah, kecuali kalau ternyata 
benar. Jika  ternyata salah, maka Allah akan mengadakan pembetulan.
Contoh nyata mengenai hal ini adalah peristiwa penetapan hukum bagi  
tawanan perang Badar. Saat itu belum ada syariat tentang tawanan perang,
  karenanya nabi berijtihad dengan memusyawarahkan hal ini dengan para  
pembesar di kalangan sahabat. Abu bakar memberikan pandangan agar para  
tawanan itu dikenakan tebusan sebagai imbalan pembebasannya, “Mereka
  adalah kaummu dan kerabatmu, biarkanlah mereka tetap hidup, barangkali
  Allah menerima taubat mereka, lalu ambilah fidyah dari mereka, yang  
berfumgsi memperkuat sahabat-sahabatmu.”, demikian pendapat Abu bakar.
Sedangkan Umar bin Khattab berpendapat bahwa para tawanan itu harus dibunuh, “Mereka
  telah membohongi dan mengusir engkau, maka hadapkanlah mereka kemari  
dan penggallah leher-leher mereka, mereka adalah tokoh-tokoh kafir,  
sedangkan Allah akan memberimu kecukupan bukan dari uang tebusan.”,  demikian alasan Umar.
Rasulullah kemudian lebih memilih pendapat Abu Bakar, yang kemudian ternyata Allah mengadakan pembetulan dengan turunnya ayat:
“Tidak patut ada beberapa tawanan bagi nabi, sehingga ia pecah  
belahkan (musuh) di bumi; kamu suka kepada harta benda dunia, padahal  
Allah menghendaki (pahala) akhirat.” (QS. Al-anfal: 67).
Contoh lain berkaitan dengan ijtihad nabawi yang diralat firman Allah
  adalah peristiwa pemberian izin Nabi kepada beberapa orang untuk tidak
  turut dalam peperangan Tabuk dengan alasan adanya udzur. Allah  
mengadakan pembetulan keputusan Nabi tersebut dengan menurunkan  
firman-Nya:
”Allah memberi maaf kepadamu, mengapa engkau izinkan mereka,  
sebelum nyata bagimu orang-orang yang benar, dan( sebelum)  engkau tahu 
 orang-orang yang berdusta?” (QS. At-taubah: 43).
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pembentukan hukum pada  
periode Rasul ini dapat dikatakan seluruhnya adalah bersumber dari  
Allah, meskipun ada ijtihad Rasul. Karena pada akhirnya keputusan tetap 
 harus sesuai dengan apa yang dikehendaki Allah. Jika ijtihad itu benar 
 Allah akan membiarkannya, dan jika salah maka akan segera mendatangkan 
 pembetulan atau ralat.
Pedoman pembentukan hukum pada periode ini
Dalam upaya memberikan keputusan hukum yang merujuk kepada  
sumber-sumber tasyri, Rasulullah selalu menunggu datangnya wahyu sebelum
  memmutuskan sesuatu; dan kalau ternyata wahyu tidak turun, beliau  
menyadari, bahwa persoalannya telah diserahkan kepada ijtihad beliau  
dengan berlandaskan kepada undang-undang Ilahi dan jiwa tasyri, serta  
perhitungan pribadinya yang berorientasi pada kemaslahatan, dan juga  
musyawarah dengan para sahabat.
Adapun prinsip-prinsip umum yang menjadi landasan pembentukan hukum, secara garis besar ada 4 prinsip:
Berangsur-angsur (tadarruj)
Proses pembentukan hukum Islam terjadi secara berangsur-angsur.  
Hukum-hukum syariat tidak datang secara sekaligus berbentuk  
undang-undang, ia datang bertahap mengikuti berbagai peristiwa dan  
kejadian.
Tadarruj ini memiliki hikmah sebagai berikut:
- Memudahkan ummat dalam mengenal materi demi materi undang-undang yang mengatur kehidupannya.
- Memudahkan ummat dalam memahami masalah-masalah hukum secara sempurna.
- Menjadi ilaj (obat) untuk memperbaiki jiwa-jiwa yang keras agar siap menerima taklif agama tanpa bosan, kesulitan atau keengganan.
Menyedikitkan peraturan-peraturan
Kelahiran hukum-hukum syariat adalah semata-mata karena adanya  
kebutuhan manusia dalam menjamin kemaslahatannya, maka seyogyanya  
pembentukan hukum-hukum itu dibatasi menurut relevansi kebutuhan dan  
kemaslahatan manusia..
Qur’an dan Sunnah melarang memperbanyak pertanyaan yang menyebabkan menjadi ketetapan hukum.
Allah SWT berfirman: (QS. Al-maidah: 101)
Rasulullah bersabda:
”Yang paling besar dosanya bagi orang Islam terhadap orang Islam,
  adalah orang bertanya-tanya tentang sesuatu yang tidak diharamkan bagi
  kaum muslimin, kemudian diharamkan terhadap mereka karena  
pertanyaannya”.
Beliau juga bersabda:
”Sesungguhnya Allah telah mewajibkan beberapa kewajiban, maka  
janganlah kamu sia-siakan, dan telah meletakkan pembatasan-pembatasan,  
maka janganlah kamu melampauinya, dan telah mengharamkan beberapa  
perkara, maka janganlah kamu melanggar, dan telah mendiamkan beberapa  
perkara, sebagai rahmat atas kamu dan bukan karena lupa, maka janganlah 
 kamu mencari-carinya.”
Mempermudah dan memperingan (taisir dan takhfif)
Prinsip memberikan kemudahan dan keringanan adalah karakter syariat Islam yang sangat menonjol. 
Allah SWT berfirman:
“Allah menghendaki kemudahan dan tidak menghendaki kesukaran” (QS. 2:…).
Allah juga berfirman:
“Allah hendak meringankan (keberatan) dari kamu, manusia itu dijadikan (bersifat) lemah.” (QS. An-Nisaa: 28).
Di firman-Nya:
”Dan tidak dijadikan bagi kalian dalam agama satu perkara yang berat.” (QS. Al-Haj: 78).
Dalam hadits shahih diriwayatkan bahwasanya apabila dipilihkan kepada
  nabi dua hal, maka Nabi mesti memilih yang lebih mudah diantara  
keduanya, asal saja tidak mengandung dosa.
Dalam syariat Islam, jika ada situasi-situasi khusus, dimana  
hukum-hukum yang telah ditetapkan ternyata mengandung kesulitan, maka  
sudah pasti disyariatkan rukhshah (keringanan), maka dihalalkan
  apa yang semula haram, manakala timbul keadaan yang memaksa.  
Diperbolehkan meninggalkan kewajiban apabila timbul kesulitan dalam  
melaksanakannya. Keadaan terpaksa, sakit, bepergian, lupa,  
ketidaksengajaan, ketidaktahuan, adalah hal-hal yang dianggap udzur yang
  menuntut adanya keringanan.
Pembentukan hukum sejalan dengan kemaslahatan manusia
Bukti berlakunya prinsip ini merujuk pada beberapa kenyataan yang  
terjadi bahwa pada suatu saat Allah telah menentukan hukum sesuatu,  
kemudian dinyatakan tidak berlaku lagi, karena dipandang tidak relevan  
lagi dengan kemaslahatan manusia.
Contoh:
- Perubahan ketentuan kiblat dari baitul Maqdis ke Baitullah, Ka’bah.
- Perubahan ketentuan masa iddah bagi wanita yang ditinggal mati suaminya dari setahun menjadi 4 bulan 10 hari.
- Nabi pernah melarang ziarah kubur, kemudian memperkenankannya.
Selain itu, syariat Islam pada masa itu juga membiarkannya tradisi  
manusia yang ada, sepanjang tidak bertentangan dengan sendi-sendi agama 
 dan tidak menimbulkan bahaya. Contoh: Islam membiarkan masalah kekufuan
  dalam perkawinan; membiarkan ikatan kekeluargaan dalam hukum waris, 
dll.
Peninggalan periode ini
Periode rasul ini telah mewariskan sumber tasyri pertama, yaitu wahyu
  Ilahi (ayat-ayat ahkam), dan ijtihad Rasul (hadits-hadits ahkam).
Materi-materi himpunan nash-nash ini tidak banyak, jumlah ayat-ayat  
ahkam tentang ibadah dan hubungannya dengan jihad ada 140 ayat. Jumlah  
ayat-ayat yang berkenaan dengan muamalat, jinayat (pidana), dan  
persaksian, kira-kira ada 200 ayat. Semuanya tersebar dalam berbagai  
surah.
Sementara jumlah hadits-hadits ahkam kira-kira berjumlah 4500 hadits, hal ini seperti diungkapkan oleh Ibnul Qayyim dalam A’lamul Muwaqqi’in. Sebagian besar menjelaskan kandungan Al-Qur’an yang mujmal (global) atau sebagai taqrir (pengakuan) atau taukid (penguat). Selebihnya berupa ketentuan-ketentuan hukum yang tidak disebutkan dalam Al-Qur’an.
Klik sumber 
 
 
 
 
0 Komentar:
Posting Komentar
Kehormatan buat kami jika selesai baca Anda beri komentar atas Artikel ini....tapi, Mohon Maaf kawan Komentarnya yang sopan ya....he..he..he..