Periode Rasul merupakan masa awal pembentukan hukum Islam. Pada
periode yang tidak berlangsung lama inilah—lebih kurang 22
tahun—terwariskan dasar-dasar pembentukan hukum yang sempurna.
Periode ini terdiri dari dua fase yang berbeda:
Fase pertama, yaitu masa Rasul di Mekah, lamanya 12 tahun,
lebih beberapa bulan, sejak kerasulan beliau hingga hijrah ke Madinah.
Pada fase ini belum ada
arahan pembentukan hukum amaliyah dan penyusunan undang-undang perdata,
perdagangan, keluarga, dsb. Ayat-ayat Qur’an yang turun pada masa itu
sebagain besar berbicara tentang aqidah, akhlak, suritauladan dan
sejarah perjalanan orang-orang terdahulu. Dalam tinjauan historis hal
ini dapat kita fahami karena pada fase ini fokus perhatian Rasul adalah
pada pengenalan prinsip-prinsip Islam, mengajak orang bertauhid dan
meninggalkan penyembahan berhala, serta berusaha menyelamatkan para
pengikut Islam dari orang-orang yang merintangi dakwah. Kaum muslimin
pada saat itu masih lemah secara kuantitas dan belum memiliki
pemerintahan sendiri.
Fase Kedua, yaitu sewaktu Rasul berada di Madinah, lamanya hampir 10 tahun, sejak hijrah beliau hingga wafatnya.
Dalam fase ini, Islam benar-benar telah tegak dengan kuantitas
pengikut yang besar dan memiliki pemerintahan sendiri. Kebutuhan
pembentuka hukum dan penyusunan undang-undang menjadi sebuah keniscayaan
untuk mengatur hubungan internal, eksternal, baik dalam keadaan perang
maupun damai.
Oleh karena itu, di Madinah telah disyariatkan hukum perkawinan,
talak, waris, utang piutang, dsb. Dan surah-surah Madaniyah (surah-surah
yang turun setelah hijrah) banyak mengandung ayat-ayat hukum, selain
ayat-ayat aqidah, akhlak dan kisah-kisah.
Wewenang pembentukan hukum dalam periode ini
Dalam periode ini, wewenang pembentukan hukum
sepenuhnya berada di tangan Rasul. Apabila kaum muslimin dihadapkan pada
suatu permasalahan, mereka segera menyampaikannya pada Rasul. Beliau
sendiri yang langsung menyampaikan fatwa hukum, meneyelesaikan sengketa,
dan menjawab berbagai pertanyaan. Keputusan hukum tersebut
kadang-kadang dijawab oleh ayat-ayat Qur’an yang diwahyukan kepada
Rasul, dan kadang-kadang beliau berijtihad. Apa yang datang dari Rasul
menjadi hukum bagai kaum muslimin dan menjadi undang-undang yang wajib
ditaati, baik yang datangnya dari Allah maupun dari ijtihad beliau
sendiri.
Namun ini bukan berarti pintu ijtihad tertutup sama sekali bagi
selain Rasul. Ada beberapa riwayat yang menyebutkan bahwa sebagaian
sahabat telah berijtihad di masa hidup Rasulullah.
Ali bin Abi Thalib diberi arahan oleh Nabi cara memutuskan hukum
ketika diutus ke Yaman untuk menjadi hakim. Muadz bin Jabal pun sebelum
diutus ke Yaman pernah ditanya oleh Nabi: “Dengan apa engkau akan
mengambil keputusan, apabila dihadapkan kepadamu suatu masalah yang
tidak engkau temukan di dalam Kitabullah dan Sunnah Rasul?”, Muadz menjawab: “Aku akan berijtihad dengan pendapatku”. Rasul kemudian berkata: “Segala puji bagi Allah, yang telah menyesuaikan utusan Rasulullah dengan apa yang diridhoi oleh Allah dan Rasul-Nya.”
Amr bin Ash pada suatu hari pernah diperintah oleh Nabi dengan sabdanya: ”Putuskanlah perkara ini!” . Amr bertanya: ”Apakah akau akan berijtihad, sedangkan engkau ada ya Rasulullah?”. Rasul menjawab: “Ya! Kalau engkau benar, maka engkau akan memperoleh dua pahala, dan kalau salah, maka akan memperoleh satu pahala.”
Meskipun demikian, kewenangan para sahabat untuk berijtihad adalah hanya pada situasi-situasi khusus dan sifatnya dalam rangka tathbiq (penerapan / pelaksanaan hukum) dan tidak dalam rangka tasyri (pembentukan
/ pembuatan hukum). Di samping itu hasil ijtihad para sahabat tentang
suatu masalah tidaklah menjadi ketetapan hukum bagi kaum muslimin
secara umum atau mengikat mereka, kecuali ada ikrar (legalisasi) dari
Rasul.
Sumber pembentukan hukum
Sumber pembentukan hukum dalam periode Rasul ini ada dua, yaitu: wahyu ilahi dan ijtihad Rasul (ijtihad nabawi).
Jadi apabila datang permasalahan diantara kaum muslimin yang
membutuhkan ketentuan hukum (terjadi sengketa, pertanyaan, atau
permohonan fatwa), ada dua kemungkinan yang akan terjadi:
Pertama, Allah menurunkan wahyu kepada nabi untuk menetapkan
keputusan. Contohnya adalah turunnya wahyu untuk menjawab pertanyaan
sahabat tentang: perang di bulan haram (2: 217) dan tentang arak dan
judi (2: 219).
Kemungkinan kedua adalah suatu hukum diputuskan dengan ijtihad
nabawi. Ijtihad ini pun pada suatu waktu merupakan ta’bir ilham Ilahi
yang diberikan Allah kepada nabi, dan di waktu yang lain praktis
merupakan hasil dari kesimpulan-kesimpulan yang beliau ambil sendiri
dengan berorientasi kepada kemaslahatan.
Hukum-hukum ijtihadiyah yang nabi tidak memperoleh ilham dari Allah,
yakni yang bersumber dari pandangan pribadi beliau disebut hukum
nabawi; hukum ini tidak akan diakui Allah, kecuali kalau ternyata
benar. Jika ternyata salah, maka Allah akan mengadakan pembetulan.
Contoh nyata mengenai hal ini adalah peristiwa penetapan hukum bagi
tawanan perang Badar. Saat itu belum ada syariat tentang tawanan perang,
karenanya nabi berijtihad dengan memusyawarahkan hal ini dengan para
pembesar di kalangan sahabat. Abu bakar memberikan pandangan agar para
tawanan itu dikenakan tebusan sebagai imbalan pembebasannya, “Mereka
adalah kaummu dan kerabatmu, biarkanlah mereka tetap hidup, barangkali
Allah menerima taubat mereka, lalu ambilah fidyah dari mereka, yang
berfumgsi memperkuat sahabat-sahabatmu.”, demikian pendapat Abu bakar.
Sedangkan Umar bin Khattab berpendapat bahwa para tawanan itu harus dibunuh, “Mereka
telah membohongi dan mengusir engkau, maka hadapkanlah mereka kemari
dan penggallah leher-leher mereka, mereka adalah tokoh-tokoh kafir,
sedangkan Allah akan memberimu kecukupan bukan dari uang tebusan.”, demikian alasan Umar.
Rasulullah kemudian lebih memilih pendapat Abu Bakar, yang kemudian ternyata Allah mengadakan pembetulan dengan turunnya ayat:
“Tidak patut ada beberapa tawanan bagi nabi, sehingga ia pecah
belahkan (musuh) di bumi; kamu suka kepada harta benda dunia, padahal
Allah menghendaki (pahala) akhirat.” (QS. Al-anfal: 67).
Contoh lain berkaitan dengan ijtihad nabawi yang diralat firman Allah
adalah peristiwa pemberian izin Nabi kepada beberapa orang untuk tidak
turut dalam peperangan Tabuk dengan alasan adanya udzur. Allah
mengadakan pembetulan keputusan Nabi tersebut dengan menurunkan
firman-Nya:
”Allah memberi maaf kepadamu, mengapa engkau izinkan mereka,
sebelum nyata bagimu orang-orang yang benar, dan( sebelum) engkau tahu
orang-orang yang berdusta?” (QS. At-taubah: 43).
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pembentukan hukum pada
periode Rasul ini dapat dikatakan seluruhnya adalah bersumber dari
Allah, meskipun ada ijtihad Rasul. Karena pada akhirnya keputusan tetap
harus sesuai dengan apa yang dikehendaki Allah. Jika ijtihad itu benar
Allah akan membiarkannya, dan jika salah maka akan segera mendatangkan
pembetulan atau ralat.
Pedoman pembentukan hukum pada periode ini
Dalam upaya memberikan keputusan hukum yang merujuk kepada
sumber-sumber tasyri, Rasulullah selalu menunggu datangnya wahyu sebelum
memmutuskan sesuatu; dan kalau ternyata wahyu tidak turun, beliau
menyadari, bahwa persoalannya telah diserahkan kepada ijtihad beliau
dengan berlandaskan kepada undang-undang Ilahi dan jiwa tasyri, serta
perhitungan pribadinya yang berorientasi pada kemaslahatan, dan juga
musyawarah dengan para sahabat.
Adapun prinsip-prinsip umum yang menjadi landasan pembentukan hukum, secara garis besar ada 4 prinsip:
Berangsur-angsur (tadarruj)
Proses pembentukan hukum Islam terjadi secara berangsur-angsur.
Hukum-hukum syariat tidak datang secara sekaligus berbentuk
undang-undang, ia datang bertahap mengikuti berbagai peristiwa dan
kejadian.
Tadarruj ini memiliki hikmah sebagai berikut:
- Memudahkan ummat dalam mengenal materi demi materi undang-undang yang mengatur kehidupannya.
- Memudahkan ummat dalam memahami masalah-masalah hukum secara sempurna.
- Menjadi ilaj (obat) untuk memperbaiki jiwa-jiwa yang keras agar siap menerima taklif agama tanpa bosan, kesulitan atau keengganan.
Menyedikitkan peraturan-peraturan
Kelahiran hukum-hukum syariat adalah semata-mata karena adanya
kebutuhan manusia dalam menjamin kemaslahatannya, maka seyogyanya
pembentukan hukum-hukum itu dibatasi menurut relevansi kebutuhan dan
kemaslahatan manusia..
Qur’an dan Sunnah melarang memperbanyak pertanyaan yang menyebabkan menjadi ketetapan hukum.
Allah SWT berfirman: (QS. Al-maidah: 101)
Rasulullah bersabda:
”Yang paling besar dosanya bagi orang Islam terhadap orang Islam,
adalah orang bertanya-tanya tentang sesuatu yang tidak diharamkan bagi
kaum muslimin, kemudian diharamkan terhadap mereka karena
pertanyaannya”.
Beliau juga bersabda:
”Sesungguhnya Allah telah mewajibkan beberapa kewajiban, maka
janganlah kamu sia-siakan, dan telah meletakkan pembatasan-pembatasan,
maka janganlah kamu melampauinya, dan telah mengharamkan beberapa
perkara, maka janganlah kamu melanggar, dan telah mendiamkan beberapa
perkara, sebagai rahmat atas kamu dan bukan karena lupa, maka janganlah
kamu mencari-carinya.”
Mempermudah dan memperingan (taisir dan takhfif)
Prinsip memberikan kemudahan dan keringanan adalah karakter syariat Islam yang sangat menonjol.
Allah SWT berfirman:
“Allah menghendaki kemudahan dan tidak menghendaki kesukaran” (QS. 2:…).
Allah juga berfirman:
“Allah hendak meringankan (keberatan) dari kamu, manusia itu dijadikan (bersifat) lemah.” (QS. An-Nisaa: 28).
Di firman-Nya:
”Dan tidak dijadikan bagi kalian dalam agama satu perkara yang berat.” (QS. Al-Haj: 78).
Dalam hadits shahih diriwayatkan bahwasanya apabila dipilihkan kepada
nabi dua hal, maka Nabi mesti memilih yang lebih mudah diantara
keduanya, asal saja tidak mengandung dosa.
Dalam syariat Islam, jika ada situasi-situasi khusus, dimana
hukum-hukum yang telah ditetapkan ternyata mengandung kesulitan, maka
sudah pasti disyariatkan rukhshah (keringanan), maka dihalalkan
apa yang semula haram, manakala timbul keadaan yang memaksa.
Diperbolehkan meninggalkan kewajiban apabila timbul kesulitan dalam
melaksanakannya. Keadaan terpaksa, sakit, bepergian, lupa,
ketidaksengajaan, ketidaktahuan, adalah hal-hal yang dianggap udzur yang
menuntut adanya keringanan.
Pembentukan hukum sejalan dengan kemaslahatan manusia
Bukti berlakunya prinsip ini merujuk pada beberapa kenyataan yang
terjadi bahwa pada suatu saat Allah telah menentukan hukum sesuatu,
kemudian dinyatakan tidak berlaku lagi, karena dipandang tidak relevan
lagi dengan kemaslahatan manusia.
Contoh:
- Perubahan ketentuan kiblat dari baitul Maqdis ke Baitullah, Ka’bah.
- Perubahan ketentuan masa iddah bagi wanita yang ditinggal mati suaminya dari setahun menjadi 4 bulan 10 hari.
- Nabi pernah melarang ziarah kubur, kemudian memperkenankannya.
Selain itu, syariat Islam pada masa itu juga membiarkannya tradisi
manusia yang ada, sepanjang tidak bertentangan dengan sendi-sendi agama
dan tidak menimbulkan bahaya. Contoh: Islam membiarkan masalah kekufuan
dalam perkawinan; membiarkan ikatan kekeluargaan dalam hukum waris,
dll.
Peninggalan periode ini
Periode rasul ini telah mewariskan sumber tasyri pertama, yaitu wahyu
Ilahi (ayat-ayat ahkam), dan ijtihad Rasul (hadits-hadits ahkam).
Materi-materi himpunan nash-nash ini tidak banyak, jumlah ayat-ayat
ahkam tentang ibadah dan hubungannya dengan jihad ada 140 ayat. Jumlah
ayat-ayat yang berkenaan dengan muamalat, jinayat (pidana), dan
persaksian, kira-kira ada 200 ayat. Semuanya tersebar dalam berbagai
surah.
Sementara jumlah hadits-hadits ahkam kira-kira berjumlah 4500 hadits, hal ini seperti diungkapkan oleh Ibnul Qayyim dalam A’lamul Muwaqqi’in. Sebagian besar menjelaskan kandungan Al-Qur’an yang mujmal (global) atau sebagai taqrir (pengakuan) atau taukid (penguat). Selebihnya berupa ketentuan-ketentuan hukum yang tidak disebutkan dalam Al-Qur’an.
Klik sumber
0 Komentar:
Posting Komentar
Kehormatan buat kami jika selesai baca Anda beri komentar atas Artikel ini....tapi, Mohon Maaf kawan Komentarnya yang sopan ya....he..he..he..