Oleh
Ihsan Tanjung
Orang
beriman sibuk bukan untuk masa tuanya di dunia. Tapi ia sibuk mempersiapkan berbagai
investasi berupa ’amal ’ibadah dan ’amal sholeh untuk masa hidupnya yang
sejati, yakni akhirat.
“Orang
yang paling cerdas ialah barangsiapa yang menghitung-hitung/evaluasi/introspeksi
(‘amal-perbuatan) dirinya dan ber’amal untuk kehidupan setelah
kematian.”(At-Tirmidzi 8/499 )
Ia
sangat terobsesi akan keberhasilannya di akhirat sehingga keberhasilannya di
dunia menjadi sesuatu yang ia kejar secukupnya. Ia sangat sibuk menghindari
kegagalan dan penderitaan di akhirat sehingga berbagai kegagalan dan
penderitaan di dunia ia hadapi sewajarnya. Ingatannya akan akhirat sangat
dominan sehingga ingatannya akan dunia menjadi sebatas ”asal tidak lupa” bahwa
ia masih hidup di dunia.
“Dan
carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri
akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (keni`matan) duniawi..”
(QS Al-Qashash 77)
Ia sadar bahwa kemampuannya bersyukur akan ni’mat Allah tidak akan pernah seimbang apalagi melebihi banyaknya ni’mat yang Allah berikan kepada dirinya. Sehingga ia berusaha sekuat mungkin untuk cerdas dalam memilih ‘amal sholeh dan ‘amal ibadah yang dikerjakannya. Ia pelajari sebanyak mungkin pesan-pesan Nabi Muhammad shollallahu ’alaihi wa sallam yang menyebutkan bentuk-bentuk ’amal yang sepertinya sederhana namun mempunyai multiplying effect yang dahsyat. Ia berusaha untuk menjadikan setiap gerak hidupnya memperoleh barokah dari Allah subhaanahu wa ta’aala. Orang yang tidak memahami motivasi di belakang setiap perbuatannya menyangka apa yang dilakukan si muslim tersebut ringan saja padahal di sisi Allah sungguh ia sangat berbobot.
Ia sadar bahwa kemampuannya bersyukur akan ni’mat Allah tidak akan pernah seimbang apalagi melebihi banyaknya ni’mat yang Allah berikan kepada dirinya. Sehingga ia berusaha sekuat mungkin untuk cerdas dalam memilih ‘amal sholeh dan ‘amal ibadah yang dikerjakannya. Ia pelajari sebanyak mungkin pesan-pesan Nabi Muhammad shollallahu ’alaihi wa sallam yang menyebutkan bentuk-bentuk ’amal yang sepertinya sederhana namun mempunyai multiplying effect yang dahsyat. Ia berusaha untuk menjadikan setiap gerak hidupnya memperoleh barokah dari Allah subhaanahu wa ta’aala. Orang yang tidak memahami motivasi di belakang setiap perbuatannya menyangka apa yang dilakukan si muslim tersebut ringan saja padahal di sisi Allah sungguh ia sangat berbobot.
Nabi
Muhammad shollallahu ’alaih wa sallam bersabda:
“Bila
manusia meninggal putuslah ‘amalnya kecuali dari tiga perkara (1) shodaqoh
jariyah (2) ilmu bermanfaat dan (3) anak sholehnya yang mendo’akannya.”
(Tirmidzi 5/243)
Setiap
mu’min yang menyadari makna hadits di atas niscaya akan berusaha sekuat mungkin
untuk memenuhi ketiga hal di atas sebelum ajal menjemputnya. Ia akan berusaha
untuk menjadi orang yang rajin bershodaqoh. Setiap kali ia mengeluarkan
shodaqoh justru ia hayati sebagai suatu usaha investasi jangka panjang, yakni
menyimpan kekayaan hakiki untuk kehidupan sejatinya di akhirat kelak.
Selain
itu ia juga akan sangat serius terlibat di dalam aktifitas mengajar. Sebab ia
sadar bahwa penyebaran ilmu yang bermanfaat pada hakikatnya justru akan menjadi
sebab terus mengalirnya rekening pahala kebaikannya. Apalagi bila
murid-muridnya menyebarluaskan ilmu tersebut lebih lanjut kepada masyarakat
luas. Bayangkan betapa banyaknya pahala yang terus mengalir kepada Imam
Bukhari, seorang ahli hadits yang hingga saat ini kitab-kitabnya masih
dirasakan manfaatnya oleh banyak orang. Pantas bilamana Nabi Muhammad
shollallahu ’alaih wa sallam bersabda:
“Sesungguhnya
dunia tercela. Tercela apa-apa yang ada di dalamnya,
kecuali mengingat Allah dan apa-apa yang menyertainya serta penyebar ilmu dan penuntut ilmu.” (HR Tirmidzy 8/302)
kecuali mengingat Allah dan apa-apa yang menyertainya serta penyebar ilmu dan penuntut ilmu.” (HR Tirmidzy 8/302)
Jadi,
seorang muslim yang peduli dengan hadits ini pasti sangat gemar menuntut ilmu
dan kemudian menyebarluaskannya. Maka ia akan berusaha melengkapi dirinya
dengan segenap bekal yang diperlukan untuk mampu belajar dan mengajar.
Kemudian yang berikutnya Nabi Muhammad
shollallahu ’alaih wa sallam bersabda bahwa anak sholeh yang mendoakan
orangtuanya juga termasuk perkara yang menyebabkan pahala seseorang tetap
mengalir walau ia telah wafat. Berarti seorang muslim pasti akan menyibukkan
dirinya dalam program tarbiyatul aulad (pendidikan anak). Ia akan berusaha
keras untuk memastikan bahwa anak-anaknya tumbuh menjadi orang sholeh. Dan
urusan ini tidak sepatutnya didelegasikan kepada fihak lain. Sebab jelas Nabi
Muhammad shollallahu ’alaih wa sallam bersabda:
“Tiap
anak yang lahir dilahirkan dalam keadaan fitrah (bersih, suci, tanpa dosa),
maka kedua orangtuanyalah yang menjadikannya yahudi, nashrani atau majusi
(penyembah berhala api).” (HR Bukhary 5/182)
http://www.eramuslim.com/atk/rbb/8502105332-pengantar-quotringan-berbobot�.htm
0 Komentar:
Posting Komentar
Kehormatan buat kami jika selesai baca Anda beri komentar atas Artikel ini....tapi, Mohon Maaf kawan Komentarnya yang sopan ya....he..he..he..