Dari Abu Hurairah Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
إِذَا قَالَ الرَّجُلُ هَلَكَ النَّاسُ فَهُوَ أَهْلَكُهُمْ
“Jika seseorang berkata ‘Manusia telah rusak’ maka dialah yang lebih rusak dari mereka.” (HR. Muslim No. 2623)
Mukadimah
Seringkali jiwa kita marah, emosi
meluap, bahkan pernah memaki, ketika melihat fenomena penyakit
masyarakat yang kian hari semakin parah. Angka perzinahan, pergaulan
bebas, korupsi di atas dan bawah, perjudian, acara televisi yang minim
keteladanan, bid’ah dan kemusyrikan. Ingin rasanya melakukan perubahan
cepat dan mengembalikan mereka kepada fitrah (Islam) yang benar. Tapi,
sering pula hanya sebatas itu yang kita lakukan; marah, emosi, dan
memaki. Tak ada aksi perbaikan, tetapi perdebatan, tak ada doa, tetapi
celaan. Tidak. Masyarakat tidak membutuhkan perdebatan dan celaan,
mereka membutuhkan uluran tangan dan doa para mushlihun.
Tahan Lisan Jangan Sok Suci
Hadits di atas
mengajarkan kita untuk menahan lisan dari mencela masyarakat dan memandu
agar tidak merasa lebih benar dan suci, baik dari sisi akhlak,
pemikiran, ibadah, dan lainnya. Justru sikap itulah yang menunjukkan
kekurangan kita; sombong.
Oleh karena itu, Imam An Nawawi menjelaskan:
وَاتَّفَقَ
الْعُلَمَاء عَلَى أَنَّ هَذَا الذَّمّ إِنَّمَا هُوَ فِيمَنْ قَالَهُ
عَلَى سَبِيل الْإِزْرَاء عَلَى النَّاس ، وَاحْتِقَارهمْ ، وَتَفْضِيل
نَفْسه عَلَيْهِمْ ، وَتَقْبِيح أَحْوَالهمْ ، لِأَنَّهُ لَا يَعْلَم سِرّ
اللَّه فِي خَلْقه . ق
“Para ulama sepakat
bahwa celaan dalam hadits ini adalah bagi orang yang ucapannya itu
dimaksudkan untuk mencela manusia, merendahkannya, dan mengutamakan
dirinya di atas mereka, dan memburukkan keadaan masyarakat, lantaran dia
tidak tahu rahasia Allah Ta’ala atas hambaNya.”
Namun jika ungkapan tersebut karena kesedihan meratapi masyarakat karena faktor agama, maka sebagian ulama membolehkannya.
Beliau melanjutkan:
َالُوا : فَأَمَّا مَنْ
قَالَ ذَلِكَ تَحَزُّنًا لِمَا يَرَى فِي نَفْسه وَفِي النَّاس مِنْ
النَّقْص فِي أَمْر الدِّين فَلَا بَأْس عَلَيْهِ
“ Mereka mengatakan: Ada pun jika siapa
yang mengatakannya karena kesedihan terhadap apa yang dilihatnya pada
dirinya dan manusia berupa kekurangan dalam urusan agama, maka hal itu
tidak apa-apa.” (Lihat semua dalam Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, 8/463. Mawqi’ Ruh Al Islam)
Sikap sebagian da’i yang senang
menyerang kaumnya sendiri, mencela agama dan kepribadian mereka, adalah
sikap yang sama sekali tidak memberikan solusi apa pun. Lalu, ia menjauh
dari masyarakat dengan alasan menghindari noda dan fitnah. Memandang
manusia sekitarnya dengan pandangan rendah dan perasaan jijik. Bukan
begitu sikap da’i petarung, bukan demikian sikap da’i penyabar.
Allah Ta’ala berfirman:
فَلَا تُزَكُّوا أَنْفُسَكُمْ هُوَ أَعْلَمُ بِمَنِ اتَّقَى
“Maka janganlah kamu mengatakan dirimu suci. Dialah yang paling mengetahui tentang orang yang bertakwa.” (QS. An Najm (53): 32)
Membaurlah, Tetapi …
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam mendapatkan gelar Al Amin (terpercaya) dari masyarakatnya sejak sebelum masa bi’tsah
(pengangkatan menjadi Rasul). Gelar itu selalu melekat kepadanya hingga
akhir hayatnya; walau di mata musuhnya sendiri. Ketaqwaannya, kesucian
akhlaknya, kekhusyu’annya dalam beribadah, sama sekali bukan penghalang
untuk membaur dengan masyarakatnya. Tentunya gelar ini didapatkan
melalui interaksi, bergaul, dan menyelami kehidupan masyarakatnya dan
berempati dengan permasalahan mereka. Selain itu, gelar ini juga
menunjukkan bahwa Beliau Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bukan hanya membaur (yakhtalit) tetapi juga tetap istimewa dan memiliki kemuliaan dan nilai tersendiri (yatamayyazun). Sebab, betapa banyak da’i yang membaur, tetapi tidak dikenal sebagai Al Amin,
atau gelar baik lainnya. Justru melekat pada mereka julukan yang tidak
sedap; tukang hutang, tidak amanah, jam karet, jarang ke masjid, dan
lainnya.
Pada masa sebelum bi’tsah, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam
pernah berkumpul di rumah Abdullah bin Jud’an tokoh kafir qurasiy saat
itu bersama kafir Qurasiy lainnya. Pertemuan itu diistilahkan dengan Hilful Fudhul.
Rasulullah juga pernah memberikan makan
dan menyuapi sendiri makanan tersebut kepada seorang nenek buta yang
sangat membencinya. Nenek ini selalu mempengaruhi orang lewat agar
hat-hati dengan seorang bernama Muhammad. Tetapi, justru Rasulullah yang
memberikannya makan dan menyuapinya. Dan, masih banyak contoh lainnya.
Yang jelas, dengan membaur di tengah
manusia seorang da’i akan mendapatkan keutamaan dan memberikan banyak
manfaat pada banyak amalan-amalan yang disyariatkan seperti; shalat
berjamaah, mengurus jenazah, menjenguk orang sakit, mengajar atau
belajar, majelis dzikir, silaturrahim, dan suhbatush shalihin (bersahabat dengan orang shalih). Sehingga, dia bisa memperoleh kesempatan untuk meraih posisi sebagai manusia terbaik.
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
و خير الناس أنفعهم للناس
“Sebaik-baiknya manusia adalah mereka yang paling bermanfaat bagi manusia.” (Syaikh Al Albani menyatakan: Hasan shahih. Lihat As Silsilah Ash Shahihah No. 426. Darul Ma’arif)
Membaur di tengah masyarakat, tetapi mampu bertahan dari fitnah yang ada pada mereka, adalah lebih utama dibanding ‘uzlah (mengasingkan diri). Imam An Nawawi menegaskan dalam Riyadhushshalihin
tentang keutamaan membaur dengan manusia dan ikut dalam perkumpulan
mereka, menyaksikan kebaikan, bermajelis dzikir bersama mereka,
menjenguk yang sakit, mengurus jenazah, membantu kebutuhannya, dan semua
bentuk kemasalahatan lainnya bagi yang mampu beramar ma’ruf nahi
munkar, menahan diri dari berbuat jahat dan bertahan pula dari bentuk
kejahatan manusia.
Lalu Imam An Nawawi Rahimahullah melanjutkan:
اعْلم أنَّ الاختلاط
بالنَّاسِ عَلَى الوجهِ الَّذِي ذَكَرْتُهُ هُوَ المختارُ الَّذِي كَانَ
عَلَيْهِ رسول الله – صلى الله عليه وسلم – وسائر الأنبياء صلواتُ اللهِ
وسلامه عَلَيْهِمْ ، وكذلك الخُلفاءُ الرَّاشدون ، ومن بعدَهُم مِنَ
الصَّحَابَةِ وَالتَّابِعِينَ ، ومن بَعدَهُم من عُلَماءِ المُسلمين
وأَخْيَارِهم ، وَهُوَ مَذْهَبُ أكثَرِ التَّابِعينَ وَمَنْ بَعدَهُمْ ،
وبه قَالَ الشافعيُّ وأحمدُ وأكثَرُ الفقهاءِ
رضي اللهُ عنهم أجمعين. قَالَ اللهُ تَعَالَى: { وَتَعَاوَنُوا عَلَى
البِرِّ وَالتَّقْوَى } [ المائدة : 20 ] والآيات في معنى مَا ذكرته كثيرة
معلومة .
Ketahuilah, bahwa membaur dengan manusia
dengan cara seperti yang telah saya sebutkan, adalah sika pilihan yang
di atasnya Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam berada, juga semua para Nabi Shalawatullah wa salamuhu ‘Alaihim,
demikian juga para khulafa’ur rasyidin, dan yang setelah mereka dari
kalangan sahabat dan tabi’in, dan yang setelah mereka dari kelompok
ulama Islam dan manusia-manusia terbaik mereka, dan inilah madzhab
mayoritas tabi’in dan manusia setelah mereka. Inilah pendapat Asy
Syafi’i, Ahmad, dan mayoritas fuqaha Radhiallahu ‘Anhum ajma’in.
Allah Ta’ala berifirman: “Saling tolong menolonglah dalam kebaikan dan
ketaqwaan.” (QS. Al Maidah (5): 20). Dan ayat-ayat yang semakna
sebagaimana yang telah saya sebutkan banyak jumlahnya dan terkenal. (Lihat Riyadhushshalihin Hal. 210. Cet. 3. 1998M – 1419H. Muasasah Ar Risalah. Tahqiq: Syaikh Syu’aib Al Arna’uth)
Ghuraba Itu Bukan ‘Uzlah
Orang-orang terasing (ghuraba)
bukanlah orang yang lari dari kenyataan hidup, menyendiri di pegunungan
dan tepi pantai. Itu bukan ghuraba, melainkan gambaran orang-orang
kalah. Ghuraba adalah orang-orang yang tetap melakukan perbaikan di
tengah-tengah masyarakat yang rusak, dan mereka senantiasa menghidupkan
sunah dan mengajarkannya kepada manusia. Mereka terasing karena keunikan
dan keistimewaan sikap hidup mereka. Mereka memperbaiki ketika manusia
merusaknya, mereka menghidupkan sunah ketika manusia mematikannya,
mereka memberantas kesyirikan dan khurafat ketika masyarakat
menyuburkannya, mereka memerangi kebatilan ketika masyarakat menjadi
pembelanya, mereka memenuhi masjid ketika masyarakat menjauhinya, mereka
menangis di tengah malam menghadap Rabbnya ketika manusia mengisi
malamnya dengan hura-hura dan maksiat, mereka menyiapkan diri untuk
berjihad ketika manusia meremehkan dan mencela jihad. Demikianlah ghuraba dan beruntunglah mereka.
Dari Abu Hurairah Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
بَدَأَ الْإِسْلَامُ غَرِيبًا وَسَيَعُودُ كَمَا بَدَأَ غَرِيبًا فَطُوبَى لِلْغُرَبَاءِ
“Pertama kali muncul,
Islam dianggap asing (gharib), nanti dia akan dianggap asing lagi
seperti awalnya. Maka, beruntunglah orang-orang terasing itu.” (HR. Muslim No.145. Ibnu Majah No. 3986. Abu ‘Uwanah dalam Mustakhraj No. 221. Ath Thabarani dalam Al Awsath No. 7493, dari Abu Said Al Khudri. Al Qudha’i dalam Musnad Asy Syihab No. 982, dari Ibnu Umar. Abu Ja’far Ath Thahawi, Musykilul Atsar No. 588, dari Anas bin Malik )
Dalam riwayat lain, dari Abdurrahman bin Sannah Radhiallahu ‘Anhu, dia mendengar bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
بَدَأَ الْإِسْلَامُ
غَرِيبًا ثُمَّ يَعُودُ غَرِيبًا كَمَا بَدَأَ فَطُوبَى لِلْغُرَبَاءِ
قِيلَ يَا رَسُولَ اللَّهِ وَمَنْ الْغُرَبَاءُ قَالَ الَّذِينَ
يُصْلِحُونَ إِذَا فَسَدَ النَّاسُ
“Pertama kali muncul, Islam dianggap
asing (gharib), kemudian dia akan dianggap asing lagi seperti awalnya.
Maka, beruntunglah orang-orang terasing itu.” Ditanyakan: “Wahai
Rasulullah siapakah ghuraba itu?” Beliau menjawab: “Orang-orang yang melakukan perbaikan ketika manusia merusak.” (HR. Ahmad No. 16094. Ibnu Baththah, Ibanah Al Kubra No. 30, dari Abu Hurairah. Alauddin Al Muttaqi Al Hindi, Kanzul ‘Ummal, No. 1201. Dishahihkan oleh Syaikh Al Albani, lihat As Silsilah Ash Shahihah No. 1273 )
Apa yang Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam
katakan ini telah menganulir pemahaman yang keliru tentang ghuraba.
Memperbaiki masyarakat yang rusak tidak bisa menjauhi mereka, seorang
dokter harus memeriksa langsung pasiennya, pemadam kebakaran tidak bisa
menyiram di luar jangkauan pancaran airnya. Itu semua tidak menyembuhkan
penyakit dan tidak pula mampu memadamkan api. Maka, mendekatlah dan
membaurlah dengan masyarakat, dan bersabarlah dan bertahanlah atas
fitnah dan cobaan di tengah-tengah mereka. Jadilah cermin yang tertimpa
air, bukan spons. Itulah ghuraba.
Wallahu A’lam
sumber :
0 Komentar:
Posting Komentar
Kehormatan buat kami jika selesai baca Anda beri komentar atas Artikel ini....tapi, Mohon Maaf kawan Komentarnya yang sopan ya....he..he..he..