Komisi Nasional Hak Asasi
Manusia (Komnas HAM) setidaknya telah mensahkan lima rekomendasi yang
dianggap gila, oleh Komisioner Komnas HAM Saharuddin Daming. Hal itu
dinyatakannya kepada mediaumat.com terkait rekomendasi naskah akademik
Komnas HAM untuk pengayaan Pansus RUU Kerukunan Umat Beragama Komisi
VIII DPR RI.
“Komnas HAM sebagai
salah satu yang ikut diminta untuk pengayaan oleh Pansus tetapi saya
lihat itu isinya bukan pengayaan tetapi pemutarbalikan kebenaran dengan
kebatilan,” ungkap Daming kepada mediaumat.com, Kamis (8/3) di Jakarta.
Sehingga, Daming
menjadi satu-satunya komisioner dari sepuluh komisioner yang menyatakan
dissenting opinion (penolakan) Sidang Paripurna Pengesahan Naskah
Akademik RUU Kerukunan Umat Beragama yang berlangsung kemarin di Kantor
Komnas HAM Jl Latuharhary Jakarta Pusat.
Dalam sidang yang
dipimpin langsung oleh Ketua Komnas HAM Ifdhal Kasim, Daming menyatakan
keberatannya dengan rekomendasi yang dianggapnya sangat diskriminatif
dan melanggar HAM mayoritas penduduk Indonesia yang beragama Islam ini.
Setidaknya ada lima
rekomendasi gila Komnas HAM yang dianggap Daming sebagai bentuk
kesungguhan dari Komnas HAM untuk menyingkirkan dan mendiskriminasi
hak-hak beragama khususnya umat Islam yang secara rasional itu memiliki
hak untuk mempertahankan identitas dan kesucian agamanya.
Pertama, tidak sahnya pernikahan lantaran beda agama seperti yang diatur dalam UU No 1 Tahun 1974 harus dihapuskan.
“Dengan usulan
seperti itu, menunjukan bahwa penggagasnya yang kemudian dilegitimasi
oleh mayoritas komisioner Komnas HAM telah memporak-porandakan
sendi-sendi dasar ideologi kesakralan kita ketika berbicara mengenai
agama dan ketuhanan,” ungkap Daming.
Kedua,pencantuman
agama dalam berbagai atribut kependudukan termasuk dalam Kartu Tanda
Penduduk (KTP) dan Kartu Keluarga (KK) seperti yang diatur dalam UU No
23 Tahun 2006 harus dihapuskan.
Menurut Daming,
rekomendasi kedua juga tidak dapat diterima karena yang namanya cacatan
sipil itu haruslah mendata identitas warga negara, mulai dari nama,
umur, tempat tanggal lahir, pekerjaan, status menikah, jumlah anak,
tingkat pendidikan dan juga agamanya.
Begitu pula dengan
KTP. “Bila di dalamnya tidak ada isian agama lantas dengan cara apa
orang yang meninggal secara mendadak di suatu tempat yang memerlukan
pemakaman secara cepat karena darurat? Kita ini bukan mau memakamkan
binatang yang bisa dikuburkan begitu saja, ini harus jelas
identitasnya,” ungkap Daming.
Belum lagi kalau
warga mau menikah dalam tradisi masyarakat Indonesia yang agamis.
Seseorang itu harus konkrit, mempunyai identitas, latar belakang
keagamaannya. “Karena juga dalam hal pengamanan, orang itu juga harus
diketahui siapa dia, kalau agamanya tidak jelas, saya kira orang tua
Indonesia yang masih memegang teguh pada risalah nabinya harus berani
menolak dong. Ya makanya saya tidak setuju dengan rekomendasi yang kaya
begitu,” beber Daming.
Ketiga, rekomendasi
ini pun menyoal UU No 1 PNPS Tahun 1965 tentang Perlindungan Agama dari
Penodaan karena UU tersebut dianggap membatasi kebebasan beragama warga
negara dengan mencap sesat orang yang berbeda keyakinan dengan
mainstream.
“Jadi saya menolak
sekeras-kerasnya, alasan apapun jika kebebasan beragama mencakup juga
merusak kebebasan beragama orang lain sebagaimana yang dilakkukan oleh
Lia Eden, Ahmadiyah, Ahmad Musadeq, dan berbagai aliran sesat itu. Bagi
saya sesat dan tidak sesat itu sudah clear, sangat jelas. Kalau masih
ada orang Muslim yang meragukan tentang kriteria sesat, saya minta
belajar dulu deh. Karena itu rekomendasi ini gila, harus saya tolak,”
tegas Daming.
Keempat, rekomendasi
itu pun mempersoalkan Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam
Negeri No 9 Tahun 2006 ( yang populer disebut SKB 2 Menteri). Menurut
rekomendasi tersebut SKB 2 Menteri itu menghambat kebebasan mendirikan
rumah ibadah khususnya gereja GKI Yasmin Bogor.
Daming menegaskan
Komnas HAM perlu introspeksi dan bertindak lebih objektif terhadap
toleransi dan intoleransi. Menurutnya, selama ini umat Islam selalu
dianggap intoleran, ketika berhadapan dengan itu, tetapi tidak pernah
diperhatikan bagaimana umat Islam di tempat-tempat yang minoritas itu
berhadap dengan intoleransi.
“Saya bilang, saya
ingin persoalan ini ditinjau secara komprehensif, dulu saya terima
pengaduan ada masjid dibakar. Itu juga kan umat Islam tidak
meributkannya dan Komnas HAM diam saja, kemudian ada juga masyarakat
Islam yang tidak diberikan izin untuk mendirikan masjid di Bali dan di
Papua. Kita juga tidak meributkannya, kita juga maklum karena dia
minoritas. Kenapa kasus yang ada di Bogor, Bekasi yang nyata-nyata itu
merupakan wilayah yang memang tidak memungkinkan orang untuk membangun
gereja di situ tapi kenapa ko kita sangat getol membelanya, ada apa
ini?” ungkapnya panjang lebar.
Kelima,rekomendasi
itu pun menginginkan UU No 20 Tahun 2003 tentang Pendidikan yang
mengharuskan peserta didik mendapatkan pelajaran agama dan guru agama
yang beragama sama dengan agama peserta didik dihapus.
“Coba, apa yang
problem dengan UU tersebut ? Saya kira di manapun itu orang akan
menerimanya dengan logika berfikir yang sangat demokrastis ini, tetapi
kok kenapa ini menjadi problem Komnas HAM? Memangnya kalau orang sekolah
itu harus menerima pelajaran yang agama dicampur aduk? Bukan agama
yang diyakini? Kan lebih salah lagi itu. Lebih-lebih kalau sekolah tidak
mau mengajarkan agama sama sekali,” tegas Daming.
Rekomendasi ini,
lanjut Daming, seolah-olah ingin menghapus pelajaran agama di sekolah,
pelajaran agama diserahkan saja kepada orang tua siswa masing-masing.
“Wah kalau begini pengertiannya berarti kedepan itu memang Komnas HAM
itu menjadi pabrik sekularisme kelas kakap di Indonesia ini!” tudingnya.
*sumber : hizbut-tahri.or.id
0 Komentar:
Posting Komentar
Kehormatan buat kami jika selesai baca Anda beri komentar atas Artikel ini....tapi, Mohon Maaf kawan Komentarnya yang sopan ya....he..he..he..