Ilustrasi |
Islamic Book Fair adalah sebuah event yang selalu ditunggu-tunggu oleh seorang kutu buku berkantung tipis, terutama mahasiswa. Walaupun namanya Islamic Book Fair, tapi yang ada di situ bukan hanya penjual buku saja. Buktinya ketika Anda datang ke Islamic Book Fair,
sudah pasti Anda akan menjumpai pedagang makanan maupun minuman yang
beraneka ragam. Ada juga yang menawarkan serba-serbi busana muslim dari
mulai yang harganya pas di kantong, sampai yang harganya bisa bikin
kanker alias kantong kering.
Nah…kalau datang ke Islamic Book Fair
biasanya mayoritas pengunjungnya adalah para ikhwan yang berjanggut
plus bercelana cingkrang juga para akhwat jilbaber dengan jilbab
lebarnya. Maklum, Islamic Book Fair adalah gudangnya buku-buku Islam yang banyak dicari para aktivis ini. Tapi sayangnya walaupun ada embel-embel ‘Islamic’-nya, ternyata even yang satu ini juga bisa dijadikan ajang maksiat lho! Masya Allah….
Setiap
mampir ke Islamic Book Fair di Solo, pasti pengunjung mayoritasnya
adalah santriwan-santriwati, mahasiswa-mahasiswi, ataupun pasangan
suami-istri yang haus dengan buku-buku Islam. Wajarnya kalau
pengunjungnya itu santri/santriwati atau mahasiswa/mahasiswi mereka
datang bersama teman-teman sebayanya ataupun sanak saudara. Maklum, para
pelajar ini hanya memiliki teman hang out sesama pelajar, karena belum memiliki pasangan hidup. Nah bagi yang sudah menikah, tentu mereka akan mengajak suami/istrinya ke Islamic Book Fair. Tapi ternyata ada juga pengunjung yang ‘tidak wajar’ di Islamic Book Fair
ini. Maksudnya tidak wajar adalah ada orang yang belum menikah tapi
datang bersama lawan jenisnya. Yang lebih miris lagi kalau misalkan
golongan tidak wajar ini adalah seorang perempuan berjilbab besar,
berjubah longgar, dan berkaus kaki datang dengan seorang ikhwan yang
bercelana cingkrang, dan berjanggut beberapa helai.
Seorang akhwat berjilbab besar datang ke Islamic Book Fair
bersama dengan seorang ikhwan bercelana cingkrang. Pasangan
ikhwan-akhwat ini asyik mengobrol berdua sambil sibuk memilih-milih
buku. Sesekali si akhwat bertanya kepada si ikhwan: “Bi…ummi mau beli
buku yang ini ya?” Si ikhwan pun menjawab:”Beli aja Mi, itu bukunya
bagus lho!” Dari cara memanggilnya, mungkin ikhwan-akhwat ini adalah
pasangan suami istri. Tapi ada yang aneh, pasangan ini terlihat masih
sangat muda untuk ukuran suami-istri.
Eits…nggak boleh su’uzhon dulu, siapa tau itu pasangan suami-istri!
Yah…memang kita tidak boleh mengedepankan prasangka buruk, mungkin
mereka adalah pasangan suami-istri yang menikah dini. Tapi ketika
mencoba untuk ber-husnuzhan, melihat tingkah lakunya bukan seperti pasangan suami istri dan mencoba untuk menjaga jarak, timbul su’uzhan. Okelah daripada su’uzhan lebih baik tabayyun, dan tanya langsung kepada suspect-nya. Ditanya ”Dateng sama suami ya Ukhti?“, jawabannya: “Saya belum menikah koq.“ (sambil tersipu malu)
Oke…jangan su’uzhon dulu siapa tau bukan suaminya tapi adiknya. ”Itu adik kamu ya?“ Jawabannya: ”Saya nggak punya adik laki-laki.“
”O…itu kakak kamu ya?“, mencoba ber-tabayyun. Jawabannya ”Saya nggak punya kakak laki-laki.”
”Terus kamu dateng sama siapa? Pacar kamu?“
”Dalam Islam kan nggak boleh pacaran Ukhti!“ Jawaban yang logis.
“Terus kamu dateng sama siapa dong?”, masih mencoba untuk tidak ber-su’uzhon.
”Hehehe…kami cuma HTS koq, Hubungan Tanpa Status.“ (sambil nyengir mesem-mesem)
Nah lho…yang awalnya berniat untuk ber-husnuzhan malah jadinya su’uzhan.Mungkin kisah di Islamic Book Fair
ini hanya satu di antara kisah lain lika-liku kehidupan seorang akhwat.
Akhwat biasa diidentikkan dengan kerudungnya yang besar, bajunya yang
longgar, manset yang selalu menghiasi tangan, dan kaos kaki. Dalam
masyarakat, seseorang bergelar akhwat ini banyak disegani, karena
dianggap sebagai orang yang taat beribadah, tidak pernah bermaksiat dan
memiliki ilmu agama yang lebih. Nah kalau gitu perempuan yang berkerudung lebar dan berjubah longgar di Islamic Book Fair itu juga akhwat dong? Katanya akhwat itu taat beribadah dan memiliki ilmu agama yang lebih, tapi koq dia ber-khalwat? Akhwat koq ber-khalwat? Kan ber-khalwat nggak boleh dalam Islam.
Ber-khalwat itu apa sih? Ber-khalwat
maksudnya adalah berduaan dengan lawan jenis yang bukan muhrim.
Eits…tunggu dulu, berduaan itu konotasinya banyak lho! Berduaan itu
bukan cuma berlaku kepada dua orang yang berbeda jenis bersembunyi di
tempat gelap yang nggak ada orang ngelihat. Ngobrol berdua dengan lawan
jenis di tempat ramai, tapi orang-orang di sekitar kamu nggak ngegubris
kalau kalian berdua lagi ngobrol di situ, itu juga termasuk ber-khalwat
lho!!! Serasa dunia milik berdua gitu deh. Misalnya boncengan berdua,
mojok di kelas, mojok di kantin, mojok di mana-mana, dan segala jenis
‘permojokkan‘ lainnya yang terlihat berdua-dua saja dengan lawan jenis
sementara orang lain di sekitar kalian nggak peduli. Nah… akhwat di Islamic Book Fair itu juga bisa dibilang ber-khalwat, karena datang berdua dengan seorang ikhwan yang bukan muhrimnya.
Telpon-telponan
atawa sms-an antara seorang perempuan dengan laki-laki yang bukan
muhrim juga bisa termasuk berduaan. Karena belum tentu orang lain di
sekitar kamu peduli sama telepon or melihat isi sms kamu. Makanya
hati-hati kalau telpon-telponan atau sms-an. Pilih kata-kata yang benar
dan tidak menjurus ke arah ’lope-lope‘. Misalkan sms “apa kabar say…?“
Kata “say“ itu mungkin terdengar biasa, tapi bisa berdampak luar biasa
lho. Kata itu terkadang bisa bikin hati lawan jenis yang dapet sms ‘say’
kebat-kebit.
Di zaman yang semakin maju, berkembang dan modern
ini, bukan cuma sms-an atau telpon-telponan doang lho yang bisa jadi
akses buat berkhalwat (bukan maksud memberi saran ya.. :D). Internet,
kalau disalahgunakan juga bisa dijadikan ajang untuk ber-khalwat
di dunia maya, apalagi dengan adanya jejaring sosial yang beraneka
ragam. Facebook, twitter, Google plus, yahoo messenger ternyata juga
sering dijadikan sarana untuk ber-khalwat. Ber-khalwat
melalui dunia maya bukan di dunia nyata. Koq gitu? Karena media-media
ini memungkinkan terjadinya interaksi dengan lawan jenis yang
berlebihan. Awalnya hanya saling nge-wall tanya seminar, terus ujung-ujungnya pindah ke chatting
nanya kabar. Mending kalau cuma nanya kabar, kalau sampai lanjut nanya
”Sudah makan belum Akhi?“, ”Lagi ngapain Akhi?“, “Hobinya apa Akhi?”,
“Makanan kesukaan Akhi apa?”, “Suka tempe goreng nggak?”, “Suka ubi
rebus nggak?” dan pertanyaan-pertanyaan tidak penting lainnya gimana
coba.
Isi chattingnya bernuansa Islam koq, selalu dimulai dengan assalamu’alaikum, terus ada jazakumullah khairannya juga. Udah gitu saling bertukar tausiyah dan muhasabah juga koq. Mau ditambahin ayat-ayat Al-Qur’an kek, mau ditambahin Hadits kek, dimulai dengan basmalah dan diakhiri dengan doa kafaratul majelis kek, kalau memang niatnya untuk ber-khalwat ya sama aja mbak.
Oleh
sebab itu, buat para perempuan yang mendapat predikat akhwat, mari kita
sama-sama menjaga gelar akhwat yang disematkan kepada kita. Memang
kerudung besar dan jubah longgar bukanlah jaminan bagi seorang akhwat
untuk tidak bermaksiat. Tapi jilbab lebar dan baju longgar yang kita
kenakan itu seharusnya bisa menjadi tameng bagi kita untuk tidak berbuat
maksiat. Mari kita sama-sama tidak menodai gelar ini, supaya tidak
menyakiti teman-teman kalangan akhwat lainnya. Kasihan akhwat lain yang
sudah susah payah mencoba menjaga dirinya, tapi citranya harus ikut
ternodai karena ulah akhwat yang ber-khalwat ini.
Wallahu a’lam bisshawab.
0 Komentar:
Posting Komentar
Kehormatan buat kami jika selesai baca Anda beri komentar atas Artikel ini....tapi, Mohon Maaf kawan Komentarnya yang sopan ya....he..he..he..