Beberapa hari ini diantara kerisauan
yang ada dalam benak, ada satu kerisauan yang muncul pasca menghadiri kajian di
fakultas lain. Dan luar biasa, pesertanya melebihi 200 orang, dan kemudian saya
berkaca, bagaimana di fakultas saya? Kajian sepi? Semakin sedikit orang?
Tidak merasakan manfaat dan kemuliaan dakwah? Apalagi objek dakwah bahkan sama
sekali tidak terjangkau dakwah.
Mencoba merenung mencari akar
masalahnya. Apakah karena pola marketing? Ataukah karena gencarnya dalam media?
Atau malah mencari pembenaran, setiap tempat punya karakternya masing-masing,
dan setiap karakter tersebut beda-beda penyikapannya, tak usah dirisaukan.
Tapi risau itu masih saja belum
hilang dan kemudian berkaca kepada dakwah sesungguhnya, bukankah dakwah berarti
menyeru? Mengajak? Sudah jelas disebutkan dalam Al Quran bahwa dawah itu
menyeru. Namun pertanyaannya, sudahkah hari ini kita benar-benar
menyeru? Bukankah selama ini kita hanya menunggu? Menunggu para mahasiswa
untuk datang ke kajian yang kita adakan, pun kajiannya kurang ‘serius’ dalam
penyelenggaraanya. Dan karena menunggu, yang datang cuma itu-itu, orang yang
sudah baik.
Menelusuri lagi dakwah para Rasul
dan Salafush Shalih hingga para da’i pembangun peradaban. Kata menyeru bukanlah
kata implisit, tapi itu metode yang secara eksplisit tersurat dengan jelas
dalam firmanNya. Menyeru secara langsung!
Bagaimana Ibrahim menyeru kepada
masyarakatnya untuk tidak menyembah berhala; bagaimana Musa melakukan jihad
paling utama, menyeru kebenaran di hadapan penguasa; bagaimana seluruh Rasul
menyeru Wahai kaumku, “sembahlah Allah tiada bagi kalian sesembahan
selain-Nya.”; hingga ashabul kahfi memproklamirkan keimanannya dan menyeru
masyarakatnya. Bagaimana Rasulullah menyeru kepada kaum Quraisy dan seluruh
jazirah Arab secara terang-terangan untuk tidak menyekutukan Allah; bagaimana
para shahabat, Mush’ab menyeru ke Yatsrib, Abudzar meneriakkan kebenaran dengan
lantang; bagaimana seorang sederhana bernama Hasan Al Banna berdakwah dengan sederhana
dari satu warung kopi ke warung kopi lain, mendatangi mereka yang memamng
membutuhkan seruan Islam; bagaimana para salafush shalih dan para da’i sejati
menembus jarak ribuan kilometer hanya untuk satu hal yang teramat mulia
“Dakwah!” “Menyeru!” “Mengajak!”
Kembali bertanya, sebenarnya kami
ini, mahasiswa yang mengaku aktivis dakwah kampus, sudahkah kami berdakwah?
Selama ini apa yang kami lakukan? Sekedar event-organizer dari sebuah acara
bernama kajian, diskusi, dialog, seminar dan sebagainya, atau malah ribet
berkutat pada masalah internal, ukhuwah lah, komitmen lah, minim kader lah,
pensolidan lah dan lain lain?
Lalu bagaimana lingkungan kampus
kita? Sudahkah mereka yang butuh dakwah kita, kita datangi, ajak, dan seru
secara langsung? Atau kita hanya sibuk dengan tilawah dan sujud di masjid,
dengan keshalihan kita dan komunitas kecil kita bernama lembaga dakwah,
bersembunyi di balik keshalihan kita?
Sudahkah, warung kopi, giras,
cangkrukan, kantin, kita datangi satu-satu untuk kita serukan Islam disana?
Sudahkah tempat tongkrongan mahasiswa yang biasa merokok sambil maen remi ato
gaple kita datangi?
Untuk setidaknya mengingatkan untuk shalat. Sudahkah
mahasiswi muslimah yang belum berhijab kita seru tentang kewajiban berhijab dan
kita ajak berhijab? Sudahkah mereka yang bingung mencari kebenaran, senantiasa
berfilsafat, berputar-putar mencari hakikat kebenaran kita ajak diskusi tentang
ketauhidan? Sudahkah mereka yang skeptis bahkan phobia terhadap Islam, kita
kabarkan pada mereka tentang indahnya Islam?
Bukankah Islam untuk semua? Bukan
hanya untuk orang yang sudah sholeh dan ingin sholeh saja?
Hanya Anda, para mahasiswa yang
melabeli diri dengan panggilan aktivis dakwah kampus, yang bisa menjawab.
Karena merekalah, yang belum tersinari cahaya Islam yang butuh curahan energi,
untuk diseru, diajak, dan didakwahi. Malu? Masih takut? Masih ragu? Atau
takut dicela? Takut didebat? Takut dicaci? Takut diancam?
Bukankah Ibrahim berdakwah kemudian
dibakar, lalu Allah menolongnya, mendinginkan api? Bukankah Musa berdakwah lalu
fir’aun mengejarnya, tapi Allah menolongnya, menenggelamkan Fir’aun dan
pasukannya? Bukankah Ashhabul Kahfi berdakwah, dikejar-kejar penguasa, lalu
Allah menolongnya, menidurkannya selama ratusan tahun? Bukankah Rasulullah
berdak’wah, lantas dilempari kotoran, dilempari batu hingga bersimbah luka dan
darah, hingga diancam dibunuh, lalu Allah senantiasa bersamanya dan
menolongnya,mengokohkan barisan dakwah Rasulullah dengan para shahabat yang
setia? Bukankah Hasan al Banna berdakwah, lalu penguasa membunuhnya, tapi Allah
menganugerahinya kesyahidan?
Sama sekali tak ada bandingannya,
antara apa yang kita lakukan dan mereka lakukan, beban yang kita rasakan dan
mereka rasakan, dan pertolongan itu pun entah kapan datannya.
Ya, pertolongan itu entah kapan
datangnya, bilamana kita masih bertahan dan bersembunyi di balik keshalihan
kita, maka hasilnya tidak akan pernah terlihat. Mari Menyeru!
“Wahai orang yang berselimut,
bangkitlah, bangunlah, lalu berilah peringatan. Agungkanlah Rabbmu, bersihkanlah
pakaianmu, tinggalkanlah perbuatan dosa (menyembah berhala), dan janganlah kamu
memberi (dengan maksud) memperoleh (balasan) yang lebih banyak, Dan untuk
memenuhi (perintah) Rabbmu, bersabarlah” . (QS al Muddatstsir : 1-7)
“Dan hendaklah ada di antara kamu
segolongan umat yang menyeru kepada kebaikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan
mencegah dari yang mungkar; merekalah orang-orang yang beruntung.” (QS Ali Imron : 104)
Oleh:
Ahmad Jilul Qur’ani Farid, Surabaya
sumber: http://www.fimadani.com/sudahkah-kita-aktivis-dakwah-kampus-berdakwah/
0 Komentar:
Posting Komentar
Kehormatan buat kami jika selesai baca Anda beri komentar atas Artikel ini....tapi, Mohon Maaf kawan Komentarnya yang sopan ya....he..he..he..