Penulis bertemu dengan bapak dua anak yang biasa dipanggil Mat
Ambon ini di perkampungan Mauk-Tangerang-Banten. Rumahnya sedehana,
berbentuk semi permanen. Separuh dindingnya terbuat dari bilik bambu.
Begitu masuk ke halaman kantornya,
tampak suasana hijau nan asri. Tanaman hias dan buah tumbuh subur. Di
sekelilingnya terdapat sangkar-sangkar burung, ternak bebek, ayam dan
beberapa kelinci bebas berkeliaran. Di sini, suasana tenang dan damai
terasa.
Hidup di jalanan membuat lelaki ini berkubang kesesatan. Raja preman
yang pernah menguasai Lapangan Banteng, Tanjung Priuk, Senen, sampai
Tangerang ini akhirnya menerima panggilan Allah melalui suara adzan.
Kini ia mengasuh 20-an anak-anak yatim dan anak terlantar lewat Yayasan
Ali Zanni.
Masuk Penjara ...
Sekarang saya merasakan damai dan tenang dalam menjalani hidup. Suatu
perasaan yang tidak pernah saya rasakan sebelumnya. Hidup saya kelam,
berkubang dosa sebelum saya taubat. Semua diawali ketika saya masih
kecil. Waktu itu, tahun 1957, masa-masa sulit bagi bangsa ini setelah
terbebas dari belenggu penjajah.
Ayah saya seorang militer berpangkat mayor. Jangan bayangkan kami bisa
hidup enak. Tidak seperti sekarang, seorang mayor bisa hidup makmur.
Dulu, pekerjaan ayah dihabiskan untuk mengabdi pada negara, bertugas
menjaga keamanan, berpindah-pindah dari satu daerah ke daerah lain.
Keluarga kami harus hidup seadanya, sangat pas-pasan.
Saya anak ketiga dari empat bersaudara. Kehidupan kami sangat sulit, ibu
menitipkan anak-anaknya ke beberapa kerabat agar bisa bertahan hidup.
Cuma saya yang tinggal bersama ibu. Untuk membantu keuangan, saya
bekerja apa saja; jualan koran, menyemir sepatu, dan melakukan pekerjaan
kasar lainnya. Yang penting kami bisa makan.
Saya giat bekerja, sibuk mencari uang. Sekolah saya terbengkalai, saya
tidak bisa melanjutkan sekolah dasar. Karena terbiasa hidup di jalan,
tanpa sepengetahuan ibu, saya merantau ke Jakarta, tujuannya mencari
uang untuk membantu ibu. Malang, saya malah terjebak pada dunia jalanan,
dunia premanisme yang sedikitpun tidak pernah saya bayangkan.
Waktu itu, di Jakarta banyak terjadi Petrus (Penembakan misterius).
Suatu pagi, ketika hendak mangkal di Lapangan Banteng, tempat saya
mengais uang dengan menyemir sepatu, saya ditangkap petugas. Saya
digiring ke kantor polisi, ditanya macam-macam tentang korban Petrus.
Walaupun saya dan teman-teman lain bukan tersangka, atau terkait dengan
korban, tapi kami tetap harus menginap di hotel prodeo. Pahit sekali
pengalaman saya. Saya pun bersumpah, inilah untuk terakhir kalinya saya
masuk penjara. Nyatanya saya semakin terperosok. Hidup di kota besar
banyak pengorbanan yang kita harus lakukan, terlebih kalau hidup di
jalanan. Bagaikan vampir, setelah terhisap racun, saya pun menyedot
racun lainnya agar bisa bertahan.
Jalanan telah membentuk saya menjadi seorang yang keras, tidak mengenal
ampun. Menindas atau ditindas, membunuh atau dibunuh. Kekerasan hidup
itulah yang akhirnya membuatku semakin terperosok dalam lumpur dosa.
Semakin Hanyut ...
Bisa dikatakan saya ini seangkatan dengan Joni Indo. Dia itu abang saya.
Syukurlah dia akhirnya bisa melepaskan diri dari cengkraman setan.
Ketika saya remaja, saya tidak lagi bekerja nyemir sepatu atau jual
koran.
Lama hidup di jalanan, saya tidak saja tahu seluk beluk jalanan, tapi
saya menguasai dunia gelap itu. Saya tumbuh menjadi remaja yang lepas
kontrol. Saya tidak bisa lagi membedakan mana yang tidak boleh saya
lakukan.
Untuk bertahan, saya harus melakukan apa saja; menjadi preman, pencuri,
perampok, bahkan saya harus menjadi pembunuh. Kejam? Memang, tapi semua
saya lakukan untuk bertahan.
Daerah Lapangan Banteng sudah saya kuasai. Semua preman tak ada yang
tidak mengenal saya. Mereka tunduk, hormat dan mau melakukan apapun yang
saya minta. Daerah kekuasaan saya sampai Poncol, Senen, Tanjung Priuk
sampai Tangerang.
Walaupun preman, wajah saya tidak segarang yang dibayangkan orang. Fisik
saya gagah dan tampan. Kekuatan saya tidak hanya pada dunia
kriminalitas, tapi juga dalam menaklukan wanita. Saya sering gonta-ganti
pasangan. Siapa pun wanita yang melihat saya langsung tunduk bahkan ada
yang mengejar-ngejar saya.
Saya semakin hanyut, saya menggunakan daya tarik fisik saya untuk
memperkaya diri. Ya, terjerumuslah saya dalam gelimang dunia gigolo.
Naudzubillah. Setiap mengingat ini, perasaan saya sedih, pilu mengingat
masa-masa kelam itu.
Waktu itu saya tidak merasa bersalah apalagi berdosa. Tidak pernah. Saya
menikmati dunia yang mengumbar nafsu syahwat untuk kenikmatan sesaat.
Saya memang tidak pernah merasa puas, justru saya semakin hanyut, larut,
dalam nikmat dunia yang tidak pernah terpuaskan. Bayangkan, saya
memiliki semuanya. Uang, perempuan dan status. Beberapa kali saya
terpilih sebagai ketua preman, tapi semua itu sedikit pun tak pernah
membahagiakan jiwa saya.
Saya bergelimang uang. Uang dari berzina, orang-orang yang membayar jasa
saya ketika saya melakukan apa yang dia perintahkan, dan anak-anak buah
yang rutin memberikan setoran. Mereka tunduk, memberikan berapa pun
uang yang saya minta. Tapi, rezeki setan tidak pernah berkah. Saya tidak
memiliki rumah, kendaraan mewah, atau harta lainnya. Semua uang saya
habis di meja judi.
Judi adalah permainan yang membuat saya ketagihan, saya gila karenanya.
Berapapun uang yang saya terima selalu habis di sana. Bahkan ketika saya
menang pun, uang jutaan rupiah selalu habis dalam sekejap.
Hingga suatu sore, di tahun 2003, saya main judi di Gerendeng, daerah
pusat kota Tangerang. Tiba-tiba saya mendengar suara adzan, panggilan
untuk menunaikan shalat Ashar. Saya kemudian ke luar ruangan, telinga
saya berdengung, hati saya bergetar. Tiba-tiba terbersit dalam hati: “Ya
Allah, saya ingin bertaubat. Saya harus meninggalkan judi, minum, main
perempuan. Saya bersumpah, ya Allah. Saya ingin taubat.”
Saya pun mengutarakan hal itu kepada 40 orang anak buah saya. Mereka
terkejut, tidak percaya apa yang saya katakan. “Mana mungkin shalat
Abang diterima, tato Abang kan banyak,” kata mereka.
Ada juga yang bilang, “Shalat Bang? Bakal hujan gede, geledek besar
kalau Abang shalat,” atau ada yang berkomentar, “Yang bener nih? Berarti
Abang nggak bakal bergaul sama kita lagi dong.”
Intinya mereka menghalagi saya ketika saya akan shalat. Tapi saya tidak
peduli, saya sudah berbulat hati, saya capek hidup dalam kegelapan
terus. Saya ingin shalat, saya ingin taubat. Itulah pertama kalinya saya
menginjak masjid. Tubuh saya menggigil, dijalari rasa takut. Niat saya
sudah bulat, saya berwudhu dan shalat.
Membangun Mushala ...
Saya mengalami perasaan luar biasa ketika pertama kalinya saya mencium
bumi, bersujud dalam shalat. Nikmatnya luar biasa. Sulit saya gambarkan
perasaan saya waktu itu.
Hari-hari berikutnya saya habiskan untuk shalat dan berzikir, saya
memohon kepada Allah untuk mengampuni dosa-dosa yang saya perbuat.
Saya terus bermunajat, berharap hanya kepada Allah. Saya tidak ingat
hari; siang-malam saya habiskan untuk duduk bertafakur kepada-Nya.
Setiap membaca inna shalati, wanusuki, wama yahya wa mati…saya merasakan
siap untuk mati, menghadap Allah swt. Saya menangis setiap menyebut
nama-Nya.
Subhanallah. Apakah taubat saya diterima? Allahu a’lam. Saya merasakan
perasaan lapang, damai, dan kelembutan. Setelah rutin menjalani shalat,
saya menjadi sosok yang mudah menangis, dan tidak bisa berbuat kasar.
Bahkan menepuk nyamuk pun saya tidak tega. Benarlah janji Allah, bahwa
shalat mencegah perbuatan keji dan munkar. Setiap hari yang ingin saya
lakukan hanya shalat saja. Apalagi shalat Tahajud, ibadah sunnah yang
selalu saya rindukan.
Di saat saya kembali ke jalan Allah, ujian terberat adalah rezeki. Dulu,
saya bergelimang uang, yang mudah sekali saya dapatkan. Berapapun yang
saya minta selalu diberi. Kini, uang sangat sulit saya dapatkan, karena
saya mantap mau menerima uang halal. Saya tidak mau menerima uang hasil
rampokan dan sebagainya. Di sinilah kesabaran saya diuji.
Pada saat yang sama muncul dalam benak saya keinginan yang ingin segera
saya wujudkan, yakni membangun mushala. Saya bisa saja mendapatkan uang
dari yang tidak halal, tapi saya tidak mau. Saya ingin uang itu dari
keringat saya sendiri. Saya mau uang itu terjaga kehalalannya. Saya pun
mulai bekerja. Apa saja; menjadi satpam, menjaga rumah atau membantu
orang-orang yang butuh bantuan.
Alhamdulillah, banyak orang yang mempercayakan saya untuk menjaga
amanahnya. Waktu tak begitu lama, saya sudah mendapatkan rezeki untuk
membangun mushala, saya menerima tanah wakaf seluas 100 meter persegi.
Tidak hanya bantuan materi, bantuan fisik pun saya dapatkan dari para
penduduk desa setempat. Kami bergotong-royong, bahu membahu, mengerjakan
mushala.
Saya bersyukur kepada Allah swt. yang telah mengaruniakan semua ini.
Sampai sekarang pun saya selalu memikirkan proses taubat saya yang
tiba-tiba. Tapi itulah hidayah Allah yang tidak bisa dihalangi oleh
siapapun.
Kadang saya bertanya: Mungkinkah ini karena puasa Senin-Kamis yang tidak
pernah saya tinggalkan semenjak muda? Ya, walaupun hidup berkubang
maksiat, saya memang tidak pernah meninggalkan puasa sunnah itu. Entah
mengapa ada kepercayaan kuat bahwa puasa itu akan membuat saya lebih
kuat dari segi fisik.
Mendirikan Panti Asuhan ...
Kata orang, satu ibadah yang kita yakini akan menolong kita, akan
menjadi pintu untuk kembali kepada cahaya-Nya. Mungkinkah karena puasa
yang tidak pernah saya tinggalkan ini? Ya, apapun itu saya sangat
bersyukur karena diberi kesempatan untuk kembali kepada jalan-Nya yang
lurus.
Saya tidak mau merasakan nikmat ini sendirian. Saya kemudian mengajak
teman-teman-teman preman untuk mengikuti jejak saya. Caranya, saya
mengundang mereka untuk syukuran. Di sana saya akan menyusupkan
pesan-pesan untuk bertaubat. Malam itu telah hadir 40 preman.
Mereka senang, karena menyangka saya akan kembali dalam dunia mereka.
Mereka datang ada yang teler, setengah teler, dengan menggunakan motor
dengan suara yang meraung-raung. Acara saya adakan di mushala.
Acara saya susun seperti acara pengajian. Banyak anak buah yang protes,
“Bang, bilang dong kalo ngadain pengajian,” ungkap mereka. Banyak yang
meninggalkan tempat, tapi ada juga empat orang preman yang ingin
bertaubat dan mengikuti langkah saya. Alhamdulillah.
Saya tidak pernah meninggalkan teman-teman saya, walaupun banyak dari
mereka yang kecewa pada perubahan saya. Sebaliknya saya tetap baik dan
berdakwah kepada mereka. Mereka pun sama kuatnya untuk mengajak saya
kembali berbuat maksiat.
Tapi saya selalu menolaknya dengan cara halus. Saya yakin bahwa dakwah
yang lembut akan mudah diterima. Saya tidak pernah menyerah. Saya akan
terus mengajak mereka. Saya harus tanamkan bahwa Allah akan mengampuni
dosa-dosa kita jika kita sungguh-sungguh bertaubat.
Hadits yang mengatakan jika kita berjalan menuju jalan Allah, Allah swt.
akan berlari menyambut kita. Setelah bertaubat banyak kenikmatan dunia
yang saya dapatkan, hidup tentram, rumah tangga saya harmonis. Kini
amanah saya bertambah, yakni menjaga anak yatim.
Ceritanya, di wilayah yang tidak jauh dari tempat saya tinggal, ada
sebuah rumah panti asuhan yang akan dibakar warga, karena seorang ibu
asuhnya ingin membakar salah satu anak asuhnya. Beberapa orang datang
kepada saya, “Bapak Ambon, tolong jaga rumah itu sebelum dibakar warga,”
kata mereka. Saya pun menjaganya supaya tidak ada korban yang
berjatuhan.
Peristiwa itu kemudian ditangani polisi. Masalah selanjutnya, siapa yang
akan menampung 8 anak asuh yang tinggal di sana. Saya langsung
menyatakan kesediaan. Istri saya sempat ragu, “Bagaimana Bapak ini,
mencari nafkah untuk menghidupi anak 2 saja sulit, bagaimana dengan 8
anak lainnya?” kata istri saya khawatir.
Saya pun meyakinkan, kita percaya Allah akan menolong kita, jika kita
menolong anak-anak istimewa, titipan Allah itu. Akhirnya istri saya
setuju.
Kami memiliki 5 pintu untuk dikontrakkan. Sekarang, seluruh tempat
dipakai untuk anak-anak yatim. Sekarang jumlah anak asuh saya lebih dari
20 orang. Mareka adalah anak-anak yatim yang berasal dari wilayah di
Tangerang. Saya tidak hanya menampung, tapi juga menyekolahkan mereka.
Saya akan berupaya supaya mereka mendapat pendidikan yang tinggi, kalau
perlu kuliah sampai sarjana. Istri saya, Ani Nurhayati, seorang ibu yang
sabar, disipilin dan tekun beribadah. Yang saya kagum padanya adalah
kekuatan dari dirinya untuk menyadarkan dan mendukung saya sepenuhnya.
Istri saya sangat sabar dalam mendidik dan mendisiplinkan anak-anak.
Tadi pagi kami kedatangan tamu, seorang ibu yang menyerahkan anaknya
yang baru berusia dua hari, karena tidak mampu memberinya makan. Istri
saya dengan tangan terbuka mau mengasuh bayi tersebut.
Subhanaallah. Padahal dia tidak muda lagi, usianya sudah berkepala 6.
Sekarang, kami sepakat untuk konsentrasi mengasuh anak-anak yatim. Saya
berniat membangun asrama yatim. Semoga Allah memudahkan niat kami. Amin.
(Siwi)
Wallahu A'lam bishawab ..
0 Komentar:
Posting Komentar
Kehormatan buat kami jika selesai baca Anda beri komentar atas Artikel ini....tapi, Mohon Maaf kawan Komentarnya yang sopan ya....he..he..he..