Siapapun Anda yang datang berkunjung di Blog ini merupakan Inspirasi terbesar kami dalam berkarya untuk memberikan yang terbaik...Selamat Membaca...!!!
Seorang teman bekerja di perusahaan koperasi Bandara Internasional
Sultan Hasanuddin Makassar sebagai operator taksi. Salah seorang
sopirnya menelpon bahwa ada penumpang wanita cantik mengenakan busana
Muslimah dengan jilbab besar warna hitam menawarinya untuk nikah
kontrak.
Sang teman yang bertahun-tahun mondok di Pesantren
Istiqamah Maccopa-Maros, dan tahu tentang syariat agama Syiah terkait
nikah mut'ah langsung menimpali sopirnya, katanya, Coba tanya itu cewek,
apakah dia penganut Syiah? Dan wanita itu, ketika ditanya apakah
dirinya menganut paham Syiah? Sontak berubah sikap dan merasa jika
kedoknya terbongkar, ia pun bergegas turun dari taksi padahal belum
sampai tujuan.
Cerita nyata di atas menggambarkan begitu
massifnya sekte Syiah dalam menjerat Ahlussunnah agar ikut tersesat
bersama mereka, walau harus mengorbankan 'kemaluannya'. Di tengah
dahsyatnya fitnatun-nisa' (godaan wanita), maka tidak sedikit pemuda
Ahlussunnah yang tertipu, terjerat, lalu berkubang kesesatan bersama
sempalan Syiah.
Nampaknya, fenomena nikah mut'ah alias kawin
kontrak harus terus-menerus dipaparkan kesesatannya, sebab jika ini
terus berlanjut akan merusak sendi-sendi syariat yang telah mengharamkan
nikah mut'ah bahkan merontokkan khazanah dan budaya bangsa dan negara
yang sangat menghargai sakralitas pernikahan.
*****
Pernikahan adalah akad yang sangat agung. Ia disebut 'mitsaqan ghaliza'
karena dampak dari akad yang tak lebih dari satu menit itu amat luas.
Ucapan akad pernikahan mengantarkan tanggungjawab yang dipikul seorang
wali kepada seorang laki-laki yang menjadi suami. Akad pernikakahan juga
menjadikan haram berubah wujud menjadi halal, yang dosa menjelma jadi
pahala. Akad nikah juga melahirkan garis nasab di mana hak waris melekat
padanya.
Pernikahan adalah kebaikan yang bertambah bersama
berkah. Di dalamnya mencakup keberkahan dalam masa senang maupun sulit.
Jadi, tidak sekadar berburu kesenangan semata melalui kelamin.
Salah satu adat yang mirip dengan pernikahan namun secara esensi berbeda
adalah nikah mut'ah. Nikah mut'ah atau kawin kontrak agaknya tak asing
didengar masyarakat saat ini. Hubungan laki-laki dan perempuan yang
diikat dalam perjanjian masa tertentu. Di dalamnya tidak aada pengakuan
anak, terlebih waris. Beberapa disebutkan wanita dalam mut'ah tidak
wajib untuk diberi nafkah lahir.
Karena itu, Majelis Ulama
Indonesia (MUI) pernah mengeluarkan dua kali fatwa tentang nikah model
ini. Pertama, menyoroti tentang nikah mut'ah dan nikah wisata yang tak
jauh beda dari praktik nikah mut'ah.
Dalam sejarah Islam,
praktik nikah mut'ah pernah dihalalkan. Seperti pendapat Imam Nawawi
rahimahullah dalam "Syarah Shahih Muslim". Menurut ulama besar mazhab
syafi'i ini, yang benar dalam masalah nikah mut'ah adalah pernah
diperbolehkan kemudian diharamkan dua kali.
Diperbolehkan
sebelum perang Khaibar, lalu diharamkan saat perang Khaibar. Pernah pula
diperbolehkan tiga hari ketika Fathu Makkah tepatnya pada perang Authas
kemudian setelah itu diharamkan selamanya hingga hari kiamat.
Fatwa MUI, ketika menyatakan keharaman nikah mut'ah menukil beberapa
hadis. Seperti yang diriwayatkan Imam Muslim. Dari Rabi' bin Sabrah
al-Juhani dari ayahnya, ia berkata, Saya hendak menghadap Rasulullah,
namun beliau sedang berdiri antara Rukun Yamani dan Maqam Ibrahim dengan
menyandarkan punggungnya ke Kakbah seraya bersabda, Wahai sekalian
manusia, sesungguhnya aku memerintahkan kalian untuk istimta' daripada
perempuan. Ketahuilah, sesungguhnya Allah SWT telah mengharamkan atas
kalian hingga hari kiamat. Barangsiapa yang masih memiliki perempuan
tersebut hendaknya melepaskannya. Jangan ambil sesuatu pun dari apa yang
telah kalian bayarkan kepada mereka.
Dalam hadis lain, dari
Iyas Ibnu Salamah dari ayahnya berkata, Rasulullah memberikan keringanan
pada tahun Authas untuk melakukan mut'ah selama tiga hari kemudian
melarang praktik tersebut, (HR. Muslim).
Dengan dasar itu,
jumhur ulama mengharamkan praktik nikah mut'ah. Dalam Al-Qur'an, "Dan di
antara sifat orang mukmin itu mereka memelihara kemaluannya kecuali
terhadap istri atau hamba sahaya mereka. Maka, sungguh mereka dalam hal
ini tidak tercela," (QS. Al-Mu'minun: 5-6), wanita yang dinikahi secara
mut'ah bukan termasuk istri atau hamba sahaya.
Meskipun
dilaksanakan akad layaknya pernikahan, ada beberapa perbedaan antara
akad nikah dan mut'ah. Akad mut'ah tidak saling mewarisi, iddah mut'ah
juga tidak sama dengan iddah nikah sungguhan, seorang yang mut'ah tidak
dianggap muhshan, nikah mut'ah bisa dengan sebanyak-banyaknya wanita,
dan pastinya, nikah mut'ah bertentangan dengan tujuan pernikahan yang
melanggengkan keturunan.
Dalam konteks Indonesia, Praktek
nikah mut'ah dinilai MUI bertentangan dengan Kompilasi Hukum Islam dan
UU perkawinan No 1 Tahun 1974, padahal, menaati peraturan pemerinath
adalah sebuah kewajiban sesuai dengan kaidah fikih, Keputusan pemerintah
mengikat dan menghilangkan perbedaan. Hukmul hakim yarfa'ul khilaf.
Komisi Fatwa MUI yang saat itu diketuai Prof KH Ibrahim Hosen
memberi pertimbangan jika mayoritas umat Islam Indonesia adalah penganut
Sunni dan menolak ajaran mut'ah dalam paham Syiah secara umum.
Sebagaimana dimaklumi, sekte Syiah sangat mendorong pengikutnya untuk
melaksanakan nikah mut'ah, makin sering seseorang bermut'ah, makin
tinggi pula derajatnya di sisi Tuhan. Tentu saja itu pendapat konyol dan
sesat.
MUI menegaskan kembali dalam Munas tahun 2010 tentang
nikah wisata. Nikah wisata juga dinyatakan haram karena hanya diniatkan
untuk kebutuhan sesaat. Nikah wisata adalah salah satu bentuk dari nikah
mut'ah. Dasar keharaman dalam hadis disebutkan dari Ali bin Abi Thalib,
bahwa Rasulullah melarang nikah mut'ah pada perang Khaibar, juga
melarang memakan daging keledai peliaharaan, (HR. Muttafaq 'alaihi).
Umar bin Al-Kahttab, berkata, Sesungguhnya Rasulullah SAW memberi
izin mut'ah selama tiga hari kemudian mengharamkannya, Demi Allah, saya
tidak mengetahui satu pun laki-laki yang melakukan mut'ah sementara dia
seorang yang pernah menikah kecuali saya rajam dengan batu, (Riwayat
Ibnu Majah). Demikian pula Ibn Al-Humam dalam "Fathul Qadir" menyebut
para ulama berijma', jika hukum nikah mut'ah adalah haram selamanya,
(Harian Republika, 26/9/2014).
Maka, keharaman nikah mut'ah
sangat terang-benderang, sebagaimana sinar matahari di siang bolong.
Dan, jika masih saja ada agama, atau golongan yang menghalalkan dan
mengamalkan maka, pastikan ia telah tersesat dan keluar dari jalur
kebenaran, jalan Ahlussunnah wal-Jama'ah sebagaimana telah dilalui
Rasulullah, para sahabat, dan segenap generasi salafus-shaleh. Semoga
kita selalu istiqamah di jalan yang benar. Ya Allah, tunjukillah kami
jalan yang benar. Ihdinas-shiratahl mutaqiem.
0 Komentar:
Posting Komentar
Kehormatan buat kami jika selesai baca Anda beri komentar atas Artikel ini....tapi, Mohon Maaf kawan Komentarnya yang sopan ya....he..he..he..