Oleh : Ust. H. Iswan Kurnia Hasan, Lc.Dipl.
Dalam satu sesi kajian menjelang Ramadhan, ada seorang yang menyampaikan pertanyaan menarik. "Ustad, katanya di Ramadhan semua setan dibelenggu? Berarti tidak ada lagi penampakan di bulan Ramadhan?" tanya orang itu. Lebih lanjut ia kembali bertanya, "Kalau betul setan dibelenggu, seharusnya tidak ada lagi yang berbuat maksiat. Lalu kenapa masih ada saja praktik-praktik maksiat selama Ramadhan?"
Dalam satu sesi kajian menjelang Ramadhan, ada seorang yang menyampaikan pertanyaan menarik. "Ustad, katanya di Ramadhan semua setan dibelenggu? Berarti tidak ada lagi penampakan di bulan Ramadhan?" tanya orang itu. Lebih lanjut ia kembali bertanya, "Kalau betul setan dibelenggu, seharusnya tidak ada lagi yang berbuat maksiat. Lalu kenapa masih ada saja praktik-praktik maksiat selama Ramadhan?"
Pertanyaan ini mungkin mewakili keingintahuan kita terhadap sebuah
hadis Rasulullah, "Apabila telah masuk bulan Ramadhan, dibukalah
pintu-pintu langit, ditutuplah pintu-pintu neraka dan setan-setan
dibelenggu". Apakah benar hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan
Imam Muslim ini mengandung makna denotasi? Apakah setan memang
benar-benar dibelenggu? Atau sekedar makna kiasan? Sementara maksud yang
sebenarnya bukan terbelenggunya setan.
Imam Ibnu Kuzaimah, seorang ulama hadis pernah memberikan pendapatnya
mengenai hadis ini. Menurut Khuzaimah tidak semua setan yang
dibelenggu. Tapi jenis yang jahat dari kalangan jin. Untuk mendukung
pendapatnya, Khuzaimah kemudian menukil sebuah hadis Rasulullah,
"Apabila telah datang malam pertama Ramadhan, dibelenggulah setan dan
jenis yang jahat dari kalangan jin, ditutup pintu-pintu neraka dan tidak
pernah dibuka selama Ramadhan. Begitu pula pintu surga selalu dibuka
dan tidak pernah ditutup." (HR. Baihaqi, Ibnu Majah dan Ibnu Khuzaimah).
Di pihak lain, pensyarah kitab shahih Bukhari, Imam Ibnu Hajar
Al-Asqalany yang mendapat julukan sebagai Amirul Mu'minin di bidang
hadis mengatakan bahwa maksud setan dibelenggu bisa mengandung dua
makna. Makna denotasi sebagaimana pendapat Khuzaimah. Atau makna
konotasi yang berarti setan tidak mampu lagi menggoda manusia di bulan
Ramadhan karena mereka khusyu' dengan ibadah puasa yang membelenggu
syahwat.
Pendapat para ulama di atas membolehkan kita memaknai setan yang dibelenggu dengan makna denotasi dan konotasi. Denotasi berarti jenis yang jahat, yang selalu menggoda manusia dari kalangan jin dibelenggu dan tidak bebas berkeliaran. Itu juga berarti tidak ada penampakan di bulan Ramadhan. Kalaupun ada, berarti yang tampak adalah jin yang baik.
Sementara konotasi berarti pintu utama setan dalam menggoda manusia yaitu syahwat telah terbelenggu dengan ibadah puasa.
Lalu bagaimana maksiat yang masih terjadi di bulan Ramadhan? Imam Qurthubi seorang ahli tafsir yang menjawabnya. Kata Qurthubi, maksiat yang terjadi di bulan Ramadhan memiliki sebab lain di luar gangguan setan dari kalangan jin. Sebab itu seperti jiwa yang memang buruk, atau karena kebiasaan yang tidak bisa dirubah. Atau karena setan dari kalangan manusia.
Sebab setan dalam bahasa Arab berarti sesuatu yang buruk. Sesuatu
yang buruk itu bisa muncul dari kalangan jin dan manusia. Dalam ayat
yang biasa dibaca para Imam di akhir rakaat witir, "...Dari kejahatan
bisikan setan yang bersembunyi, yang membisikkan kejahatan ke dalam dada
manusia, (setan) dari golongan jin dan manusia" (Q.S.: An-Nâs: 4-6).
0 Komentar:
Posting Komentar
Kehormatan buat kami jika selesai baca Anda beri komentar atas Artikel ini....tapi, Mohon Maaf kawan Komentarnya yang sopan ya....he..he..he..