Pembaca setia. John Lock mengatakan bahwa setiap bayi lahir ke dunia
dalam keadaan bagai kertas putih bersih. Terkait hal ini, sabda Rasul
memberitahu kita bahwa keberadaan anak dengan segala predikatnya, baik
predikat kesholehan maupun predikat kejahiliyahan akan ditentukan oleh
upaya orangtua. Karena yang akan pertama kali menggiring seorang anak
untuk tumbuh menjadi pribadi yang Islami, Yahudi maupun Majusi adalah
orangtua. Yang akan pertamakali mengantarkan anak untuk menjadi pribadi
yang normatif atau destruktif (merusak) juga adalah orang tua. Dan yang
akan pertamakali menanamkan idealisme adversitas (ketangguhan) maupun
apatisme (keputusasaan) adalah orangtua pula. Jadi, orangtualah yang
sangat berpengaruh memberikan input-input kebenaran, kebiasaan dan
idealisme.
Baik pendapat John Lock maupun sabda Rasulullah Saw, keduanya bisa
diinterpretasikan bahwa setiap anak hadir dengan berjuta kepolosan.
Setiap anak terlahir tanpa mengetahui akan hak dan tanggung jawab, tanpa
menyadari akan keharusan dan kebebasan, tanpa memaknai akan bahaya dan
keselamatan, tanpa memahami akan siksa dan pahala, tanpa menyadari akan
bagaimana seharusnya menjadi orang yang berhasil, tanpa menyadari akan
bagaimana seharusnya menjadi orang yang getol beribadah, tanpa
mengetahui sedikitpun tentang bagaimana memperlakukan orang dengan
santun, tanpa mengetahui tentang arti pentingnya mempunyai cita-cita.
Dan seorang anak adalah sebuah entitas dunia yang tak ternilai
harganya. Betapapun ia terlahir dengan sejuta kepolosan, namun ia
terlahir dengan kapibilitas otak yang luar biasa, yang kelak akan
mencerna dunia dengan segala isinya. Seiring masa dan beragam upaya dari
orangtua, sang anak akan terus mengalami lesatan-lesatan dahsyat dalam
otaknya. Sang anak akan melewati spontanitas-spontanitas mengagumkan
yang membuat syarap-syarap otaknya bertaut dan terus bertaut. Namun otak
tidak bisa begitu saja menjadikan seorang anak sempurna kalau tanpa ada
interaksi progressif yang disebut dengan BELAJAR. Selain itu, anak juga
tidak akan serta merta menjadi pribadi yang MASAGI (bahasa
sunda, red.) kalau hanya mengandalkan simulasi-simulasi yang bersifat
kognitif seperti daya nalar, belajar tentang alam dan konsep hitungan.
Karena kehebatan intelektual tidak akan bermakna apa-apa bila tak
digandeng dengan apa yang disebut norma, nilai (value),
keyakinan, tanggungjawab, dan ranah-ranah lain yang tergolong afeksi.
Layaknya langit malam yang memesona, keindahannya tidak simetri begitu
saja tanpa sinergitas yang cantik dan menarik antara matahari yang
tenggelam dengan jadwal yang terstruktur, kinerja bintang yang
gemerlapan menghiasi malam, dan bulan yang memancarkan sinar tanpa
beban. Itulah pertautan antara hebatnya otak manusia dengan pentingnya
konsep diri.
Konsep diri ibarat energi yang bisa menggerakkan setiap jiwa untuk
berdaya dan mampu mengaktualisasikan diri. Lebih jauh legi, konsep diri
ibarat pilihan telak yang niscaya untuk dimiliki. Karena dalam Islam,
manusia akan dihdapkan pada muara dimana pilihannya hanya ada dua. Surga
atau neraka. Maka konsep diri yang kita tanamkan pada seorang bayi
sekalipun, merupakan bekal optimal yang akan menentukan nasib di akhirat
kelak. Dan konsep diri tidak akan begitu saja tertanam pada diri
seorang anak. Dan lagi-lagi alasannya adalah karena setiap anak terlahir
dalam kondisi tidak mengenal sama sekali apa yang disebut dengan konsep
diri. Berikut beberapa kondisi kontradiktif yang menggambarkan polosnya
seorang bayi dengan realitas harapan orangtua yang mengangkasa.
- Setiap bayi tidak pernah meminta untuk menjadi juara, betapapun orangtuanya berharap besar untuk menjadi anak yang prestatif.
- Setiap bayi tidak pernah memohon agar dirinya menjadi seorang pemimpin, betapapun orangtuanya sangat berekspektasi agar kelak sang anak menjadi orang nomor satu.
- Setiap bayi tidak pernah merengek agar dirinya menjadi seorang ahli, betapapun orangtuanya memiliki impian tinggi agar di kemudian hari sang anak bisa menjadi pemikir sejati.
- Setiap bayi tidak pernah bermimpi untuk menjadi konglomerat, betapapun orangtuanya berharap besar untuk menjadi orang yang kelebihan harta dan bisa membeli apa saja.
Karena demikian polosnya seorang anak, maka mengajari, memberitahu
dan memahamkan seorang anak adalah tanggungjawab orangtua. Mulai dari
tetek bengek cara memegang sendok atau memasang sepatu, sampai persoalan
prinsip seperti bagaimana cara berteman dan bersosialisasi (hablumminannas) serta kewajiban beribadah mahdah (hablumminallah). Termasuk mengajarkan anak tentang konsep diri.
Mengapa harus, konsep diri kita tanamkan pada buah hati kita? Karena
ada satu hal yang tak bisa kita bantahkan yaitu tentang cita-cita.
Tentang keberhasilan. Tentang kesuksesan. Tentang masa depan. Masa depan
seseorang sangat mustahil untuk bisa gemilang begitu saja tanpa adanya
upaya-upaya cerdas yang berpadu dengan kepribadian positif yang
mengkarakter. Keberhasilan tak mungkin diraih begitu saja tanpa adanya
sinergitas antara kemauan, kesungguhan dan positif thinking (berbaik
sangka kepada Allah dan sepenuh hati meyakini bahwa kekuatan dahsyat
itu ada di tangan Allah). Maka tak heran bila ada orang yang terlanjur
mengklaim dirinya miskin, hanya karena mereka tidak pernah mau membuka
diri untuk keluar dari zona pikiran yang terpasung itu. Padahal
sejatinya, apa yang terjadi adalah output dari apa yang kita pikirkan. If you think you can, is you can.
Siapapun sangat layak untuk kaya. Siapapun sangat layak untuk dikatakan
hebat. Siapaun sangat layak untuk memiliki harga diri. Siapapun berhak
memiliki masa depan.
Konsep diri tidak saja diperlukan oleh orang dewasa. Melainkan untuk
buah hati kita pun sangat penting. Dan sekali lagi, konsep diri itu
tidak dilahirkan. Konsep diri bukanlah hereditas yang akan menentukan
pewarisan kepribadian dari orangtua kepada seorang anak. Allohu ‘alam bish showaab.
Oleh : Miarti
(Direktur ZAIDAN Tutorial Preschool Bandung)
0 Komentar:
Posting Komentar
Kehormatan buat kami jika selesai baca Anda beri komentar atas Artikel ini....tapi, Mohon Maaf kawan Komentarnya yang sopan ya....he..he..he..