Assalamu Alaikum, Selamat datang Saudaraku. Semoga BLOG ini bermanfaat dan harapan kami agar Anda sering datang berkunjung. Wassalam. ==> YAHYA AYYASY <==

Kulminasi Kebahagiaan

Aristoteles, seorang filsuf Yunani di akhir hidupnya pernah mengatakan, “Banyak orang menyamakan kebaikan atau kebahagiaan dengan kenikmatan. Oleh karena itulah, banyak orang yang menyukai kehidupan pesta pora. Juga tidak mengherankan jika banyak orang menjadi budak nafsu dan selera, yakni sebuah model kehidupan, yang sebenarnya lebih sesuai untuk hewan”.
Kebahagiaan adalah sebuah kata kunci yang selalu dicari oleh manusia. Ketika kecil di sekolah, guru selalu mengingatkan untuk sekolah setinggi-tingginya agar bisa bahagia di hari tua. Saat dewasa, kita memilih pendamping hidup dengan alas an ingin mencari kebahagiaan. Lalu menjadi orangtua,
kita mencari nafkah dengan alas an mencari penghasilan yang layak agar dapat membahagiakan keluarga dan keturunan.
Pemaknaan bahagia terkesan subyektif. Sesuai dengan makna bahagia yang ingin kita raih. Seperti Raja Kapal dari Yunani, Aristoteles Onassis yang pernah dinobatkan oleh majalah Forbes sebagai orang yang terkaya di dunia. Pengalaman pahit masa kecil yang dililit kemiskinan, menciptakan standar kebahagiaan baginya dalam bentuk kepemilikan harta. Maka demi hasrat itu, segala cara ditempuh. Ia berbisnis apa saja dan melakukan semua hal demi uang.
Sejarah kemudian mencatat Onassis mampu mencapai kebahagiaannya. Hartanya yang berlimpah sampai memukau seorang janda presiden kenamaan Amerika, Jacqueline Kennedy untuk menerima lamarannya setelah Jhon F. Kennedy tewas ditembak. Sampai setelah meninggal, harta Onassis belum selesai dibagi untuk anak dan cucunya.
Berbeda dengan Onassis, di kalangan Sufi ada seorang yang bernama Ibrahim bin Adham. Sebelum menjadi sufi, ia adalah seorang raja dari Balkh, satu wilayah yang masuk dalam kerajaan Khurasan. Saat menjadi raja, Ibrahim juga hidup mewah seperti Onassis. Ia tinggal dalam istana yang bergelimang emas dan perak. Bila keluar istana, Ibrahim selalu dikawal 80 pengawal yang bersenjata lengkap. Mereka akan selalu menemani Ibrahim kemanapun ia pergi. Namun Ibrahim belum menemukan kebahagiaan itu.
Ia lantas meninggalkan semua kemewahan yang dimilikinya, kemudian memilih hidup dalam kemiskinan. Bahkan untuk mencari makan, Ibrahim rela menjadi buruh tani. Suatu saat dalam puncak kesufiannya, Ibrahim kemudian mengatakan, “Kalau seandainya para raja dan anak-anak raja mengetahui kebahagiaan yang aku nikmati saat ini, niscaya mereka akan merenggut semua kenikmatan itu. Bahkan bila perlu mencambuk kami dengan pedang untuk merenggutnya.”
Inilah variabel kebahagiaan yang selalu berubah itu. Menurut Onassis, kebahagiaan itu bila memiliki harta yang melimpah dan ditemani oleh seorang istri yang cantik. Sementara menurut Ibrahim, kebahagiaan adalah ketika ia larut dalam ibadah kepada Allah Swt. Onassis bahagia dengan harta, sementara Ibrahim bahagia dengan ibadah.
Bila kita bandingkan dua model kebahagiaan di atas, kita akan mendapatkan sebuah fakta bahwa bahagia versi Ibrahim lebih kompleks dibandingkan Onassis. Sebab Ibrahim merengkuh kebahagiaan setelah ia merasakan kehidupan mewah yang dianggap oleh Onassis sebagai kebahagiaan. Sementara Onassis belum merasakan kehidupan sufi yang membahagiakan sebagaimana yang dirasakan oleh Ibrahim.
Rasulullah sebagai teladan umat Islam juga pernah mengalami hidup seperti Ibrahim. Ia pernah kaya ketika menjadi pengusaha ekspor impor antara Mekkah dan Syam. Rasul juga pernah hidup sangat menderita bersama keluarganya ketika diboikot Quraisy di lembah tandus yang berdinding tinggi dekat Mekkah. Bahkan dibanding manusia lain, Rasul bahkan diberikan kesempatan untuk mengetahui tabir surga dan neraka dalam peristiwa Isra dan Mi’raj. Ia juga manusia satu-satunya yang diberikan kesempatan bertemu dengan Allah secara langsung di Shidratul Muntaha.
Dengan semua pengalaman hidup yang dimilikinya, Rasulullah mencapai sebuah kesimpulan kebahagiaan sebagaimana yang juga disimpulkan oleh Ibrahim. Di salah satu kesempatan bersama para sahabatnya, Rasulullah Saw. Pernah menyampaikan kesimpulan itu, “Saat-saat yang paling membahagiakanku, adalah saat-saat dalam salat.”
Saat dalam ibadah itu menurut Rasul yang membahagiakan. Ia tidak akan pernah tergantikan dengan kenikmatan dunia sekalipun. Kebahagiaan inilah yang coba digambarkan oleh Aisyah ra. ketika di satu malam yang dingin, dalam rengkuhan hangat istri yang cantik jelita, Rasulullah tersentak bangun. Kemudian dengan perlahan ia mengibaskan pelukan istrinya dan bangkit untuk berwudhu. Lantas Rasulullah kemudian hanyut dalam ibadah yang syahdu. Walau kakinya harus bergetar. Walau badannya harus letih.
Ketika Aisyah kemudian bergelayut mesra di kakinya, mencoba mengusiknya, Rasulullah tetap melanjutkan ibadahnya. Karena itulah saat terindah dalam hidupnya. Karena itulah titik kulminasi kebahagiaan bagi manusia agung itu. Bahagia dengan ibadah yang dijalaninya.

0 Komentar:

Posting Komentar

Kehormatan buat kami jika selesai baca Anda beri komentar atas Artikel ini....tapi, Mohon Maaf kawan Komentarnya yang sopan ya....he..he..he..

Recent Post widget Inspirasi Rabbani

Menuju

Blog Tetangga

Blog Tetangga
Klik Gambar untuk Berkunjung

Luwuk Banggai SULTENG

Luwuk Banggai SULTENG
ebeeee......