Aristoteles, seorang filsuf Yunani di akhir hidupnya pernah
mengatakan, “Banyak orang menyamakan kebaikan atau kebahagiaan dengan
kenikmatan. Oleh karena itulah, banyak orang yang menyukai kehidupan
pesta pora. Juga tidak mengherankan jika banyak orang menjadi budak
nafsu dan selera, yakni sebuah model kehidupan, yang sebenarnya lebih
sesuai untuk hewan”.
Kebahagiaan adalah sebuah kata kunci yang selalu dicari oleh manusia.
Ketika kecil di sekolah, guru selalu mengingatkan untuk sekolah
setinggi-tingginya agar bisa bahagia di hari tua. Saat dewasa, kita
memilih pendamping hidup dengan alas an ingin mencari kebahagiaan. Lalu
menjadi orangtua,
kita mencari nafkah dengan alas an mencari penghasilan yang layak agar dapat membahagiakan keluarga dan keturunan.
Pemaknaan bahagia terkesan subyektif. Sesuai dengan makna bahagia
yang ingin kita raih. Seperti Raja Kapal dari Yunani, Aristoteles
Onassis yang pernah dinobatkan oleh majalah Forbes sebagai orang yang
terkaya di dunia. Pengalaman pahit masa kecil yang dililit kemiskinan,
menciptakan standar kebahagiaan baginya dalam bentuk kepemilikan harta.
Maka demi hasrat itu, segala cara ditempuh. Ia berbisnis apa saja dan
melakukan semua hal demi uang.
Sejarah kemudian mencatat Onassis mampu mencapai kebahagiaannya.
Hartanya yang berlimpah sampai memukau seorang janda presiden kenamaan
Amerika, Jacqueline Kennedy untuk menerima lamarannya setelah Jhon F.
Kennedy tewas ditembak. Sampai setelah meninggal, harta Onassis belum
selesai dibagi untuk anak dan cucunya.
Berbeda dengan Onassis, di kalangan Sufi ada seorang yang bernama
Ibrahim bin Adham. Sebelum menjadi sufi, ia adalah seorang raja dari
Balkh, satu wilayah yang masuk dalam kerajaan Khurasan. Saat menjadi
raja, Ibrahim juga hidup mewah seperti Onassis. Ia tinggal dalam istana
yang bergelimang emas dan perak. Bila keluar istana, Ibrahim selalu
dikawal 80 pengawal yang bersenjata lengkap. Mereka akan selalu menemani
Ibrahim kemanapun ia pergi. Namun Ibrahim belum menemukan kebahagiaan
itu.
Ia lantas meninggalkan semua kemewahan yang dimilikinya, kemudian
memilih hidup dalam kemiskinan. Bahkan untuk mencari makan, Ibrahim rela
menjadi buruh tani. Suatu saat dalam puncak kesufiannya, Ibrahim
kemudian mengatakan, “Kalau seandainya para raja dan anak-anak raja
mengetahui kebahagiaan yang aku nikmati saat ini, niscaya mereka akan
merenggut semua kenikmatan itu. Bahkan bila perlu mencambuk kami dengan
pedang untuk merenggutnya.”
Inilah variabel kebahagiaan yang selalu berubah itu. Menurut Onassis, kebahagiaan itu bila memiliki harta yang melimpah dan ditemani oleh seorang istri yang cantik. Sementara menurut Ibrahim, kebahagiaan adalah ketika ia larut dalam ibadah kepada Allah Swt. Onassis bahagia dengan harta, sementara Ibrahim bahagia dengan ibadah.
Inilah variabel kebahagiaan yang selalu berubah itu. Menurut Onassis, kebahagiaan itu bila memiliki harta yang melimpah dan ditemani oleh seorang istri yang cantik. Sementara menurut Ibrahim, kebahagiaan adalah ketika ia larut dalam ibadah kepada Allah Swt. Onassis bahagia dengan harta, sementara Ibrahim bahagia dengan ibadah.
Bila kita bandingkan dua model kebahagiaan di atas, kita akan
mendapatkan sebuah fakta bahwa bahagia versi Ibrahim lebih kompleks
dibandingkan Onassis. Sebab Ibrahim merengkuh kebahagiaan setelah ia
merasakan kehidupan mewah yang dianggap oleh Onassis sebagai
kebahagiaan. Sementara Onassis belum merasakan kehidupan sufi yang
membahagiakan sebagaimana yang dirasakan oleh Ibrahim.
Rasulullah sebagai teladan umat Islam juga pernah mengalami hidup
seperti Ibrahim. Ia pernah kaya ketika menjadi pengusaha ekspor impor
antara Mekkah dan Syam. Rasul juga pernah hidup sangat menderita bersama
keluarganya ketika diboikot Quraisy di lembah tandus yang berdinding
tinggi dekat Mekkah. Bahkan dibanding manusia lain, Rasul bahkan
diberikan kesempatan untuk mengetahui tabir surga dan neraka dalam
peristiwa Isra dan Mi’raj. Ia juga manusia satu-satunya yang diberikan
kesempatan bertemu dengan Allah secara langsung di Shidratul Muntaha.
Dengan semua pengalaman hidup yang dimilikinya, Rasulullah mencapai
sebuah kesimpulan kebahagiaan sebagaimana yang juga disimpulkan oleh
Ibrahim. Di salah satu kesempatan bersama para sahabatnya, Rasulullah
Saw. Pernah menyampaikan kesimpulan itu, “Saat-saat yang paling
membahagiakanku, adalah saat-saat dalam salat.”
Saat dalam ibadah itu menurut Rasul yang membahagiakan. Ia tidak akan
pernah tergantikan dengan kenikmatan dunia sekalipun. Kebahagiaan
inilah yang coba digambarkan oleh Aisyah ra. ketika di satu malam yang
dingin, dalam rengkuhan hangat istri yang cantik jelita, Rasulullah
tersentak bangun. Kemudian dengan perlahan ia mengibaskan pelukan
istrinya dan bangkit untuk berwudhu. Lantas Rasulullah kemudian hanyut
dalam ibadah yang syahdu. Walau kakinya harus bergetar. Walau badannya
harus letih.
Ketika Aisyah kemudian bergelayut mesra di kakinya, mencoba
mengusiknya, Rasulullah tetap melanjutkan ibadahnya. Karena itulah saat
terindah dalam hidupnya. Karena itulah titik kulminasi kebahagiaan bagi
manusia agung itu. Bahagia dengan ibadah yang dijalaninya.
0 Komentar:
Posting Komentar
Kehormatan buat kami jika selesai baca Anda beri komentar atas Artikel ini....tapi, Mohon Maaf kawan Komentarnya yang sopan ya....he..he..he..