'Ied kita di sini ditandai dengan sejuta kembang api, mercon, bedug,
takbir, dan baju baru. 'Ied kita di sini dipenuhi senyum suka cita.
Kegembiraan bertalu-talu di hati kita. Anak-anak kita menangis bukan
karena sedih. Tangisan mereka karena ingin segera dibelikan baju baru,
celana baru, dan sepatu baru. Rumah-rumah kita penuh dengan ketupat,
daging, kue, dan lainnya. Sanak famili saling mengunjungi. Membagi kue
membagi suka. Tawa canda terukir indah di bibir mungil anak-anak kita
yang berlepotan cokelat dan ice cream.
Tapi di belahan lain dunia kita, awan kelabu menutupi cerah langit 'Ied saudara-saudara kita. Langit 'Ied di Suriah dihiasi dentuman meriam dan desingan peluru. Tak ada daging, roti, atau kue di rumah-rumah mereka. Tidak. Bahkan rumah-rumah mereka pun telah jadi puing. Anak-anak Suriah tentu tak lagi merengek minta dibelikan baju, celana, dan sepatu baru. Mereka bahkan tak mengerti, masih adakah 'Ied bagi mereka.
Saudara kita di Rohingya tak kalah merana. ‘Ied bagi mereka adalah tangis kerinduan atas kampung halaman yang kini telah dibumihanguskan. Jangankan baju baru, bahkan adanya makanan di hari ‘Iedul Fitri ini sudah merupakan sebuah kesyukuran. Dan ribuan anak-anak Muslim Rohingya pun menangis di hari ini, bukan karena minta dibelikan baju baru tetapi karena mereka tak lagi menemukan wajah ayah dan ibu, yang tangannya mereka cium pada ‘Ied tahun lalu.
Pernah pulakah kita membayangkan ‘Ied saudara-saudara kita di Afghanistan dan Irak. Mereka tidak menikmati suara kembang api, bahkan mereka dihantui ledakan bom dan senjata api. Kekacauan yang dimulai tentara Amerika hingga kini tak ada akhir dan ujung ceritanya. ‘Ied mereka tidak semeriah ‘Ied kita. Bahkan ‘Ied mereka dibayangi merahnya darah umat Islam yang terus tertumpah.
Atau bagaimana ‘Ied di Mesir. Jutaan orang merayakannya di lapangan, jauh dari kampung halaman. ‘Ied tahun ini tiba-tiba berubah. Jika tahun lalu mereka bersuka cita bersama handai taulan dan tetangga, kini mereka rayakan ‘Ied di bawah pengawasan tentara yang mengepung mereka. Yang merenggut hak-hak sipil mereka. Yang merampas pemimpin yang telah mereka pilih. Yang membajak perjalanan mereka menuju tegaknya syariah, lalu memaksa dengan jalan kudeta untuk menjauh dari Qur’an dan sunnah. Yang tak segan memuntahkan peluru, hingga ratusan Muslim jatuh ke tanah bersimbah darah.
Dapat jugakah kita membayangkan bagaimana saudara kita di Kashmir, Somalia, Palestina, dan lainnya merayakan 'Ied mereka?
'Ied yang suci, indah, dan cerah ini kini ternoda dengan simbahan darah saudara-saudara kita yang tak berdosa. Tawa canda yang mestinya mewarnai hari sakral ini, kini berganti luka dan derai air mata. Di sini kita bersuka, di sana mereka berduka. Di sini kita tertawa, di sana mereka menangis. Di sini kita gembira, di sana mereka berdarah.
Luka yang menimpa saudara kita di belahan bumi lain terasa menyayat hati kita yang sedang bergembira di sini. Ketika menikmati hidangan 'Iedul Fitri, mari sejenak kita mengenang nasib saudara-saudara kita yang sedang mengungsi, berjuang, atau terzhalimi. Mengenang nasib mereka dan anak-anak mereka. Juga mengenang 'ketidakmampuan' kita berbuat sesuatu untuk mereka. Mengenang bahwa kegembiraan 'Jasad Islam' yang besar ini, pada 'Iedul Fitri ini, tak setuntas kegembiraannya pada perayaan 'Ied di tahun-tahun yang telah lalu.
Suatu ketika, dari bumi jihad Afghanistan, Sayyaf pernah berkata: “jika kalian tak mampu membantu kami, minimal janganlah bakhil dengan doa kalian untuk kami.” Yah, jika tak sanggup memberi materi, sekurangnya kita memberi doa. [Anis Matta, dari buku Arsitek Peradaban dengan beberapa penyesuaian]
Tapi di belahan lain dunia kita, awan kelabu menutupi cerah langit 'Ied saudara-saudara kita. Langit 'Ied di Suriah dihiasi dentuman meriam dan desingan peluru. Tak ada daging, roti, atau kue di rumah-rumah mereka. Tidak. Bahkan rumah-rumah mereka pun telah jadi puing. Anak-anak Suriah tentu tak lagi merengek minta dibelikan baju, celana, dan sepatu baru. Mereka bahkan tak mengerti, masih adakah 'Ied bagi mereka.
Saudara kita di Rohingya tak kalah merana. ‘Ied bagi mereka adalah tangis kerinduan atas kampung halaman yang kini telah dibumihanguskan. Jangankan baju baru, bahkan adanya makanan di hari ‘Iedul Fitri ini sudah merupakan sebuah kesyukuran. Dan ribuan anak-anak Muslim Rohingya pun menangis di hari ini, bukan karena minta dibelikan baju baru tetapi karena mereka tak lagi menemukan wajah ayah dan ibu, yang tangannya mereka cium pada ‘Ied tahun lalu.
Pernah pulakah kita membayangkan ‘Ied saudara-saudara kita di Afghanistan dan Irak. Mereka tidak menikmati suara kembang api, bahkan mereka dihantui ledakan bom dan senjata api. Kekacauan yang dimulai tentara Amerika hingga kini tak ada akhir dan ujung ceritanya. ‘Ied mereka tidak semeriah ‘Ied kita. Bahkan ‘Ied mereka dibayangi merahnya darah umat Islam yang terus tertumpah.
Atau bagaimana ‘Ied di Mesir. Jutaan orang merayakannya di lapangan, jauh dari kampung halaman. ‘Ied tahun ini tiba-tiba berubah. Jika tahun lalu mereka bersuka cita bersama handai taulan dan tetangga, kini mereka rayakan ‘Ied di bawah pengawasan tentara yang mengepung mereka. Yang merenggut hak-hak sipil mereka. Yang merampas pemimpin yang telah mereka pilih. Yang membajak perjalanan mereka menuju tegaknya syariah, lalu memaksa dengan jalan kudeta untuk menjauh dari Qur’an dan sunnah. Yang tak segan memuntahkan peluru, hingga ratusan Muslim jatuh ke tanah bersimbah darah.
Dapat jugakah kita membayangkan bagaimana saudara kita di Kashmir, Somalia, Palestina, dan lainnya merayakan 'Ied mereka?
'Ied yang suci, indah, dan cerah ini kini ternoda dengan simbahan darah saudara-saudara kita yang tak berdosa. Tawa canda yang mestinya mewarnai hari sakral ini, kini berganti luka dan derai air mata. Di sini kita bersuka, di sana mereka berduka. Di sini kita tertawa, di sana mereka menangis. Di sini kita gembira, di sana mereka berdarah.
Luka yang menimpa saudara kita di belahan bumi lain terasa menyayat hati kita yang sedang bergembira di sini. Ketika menikmati hidangan 'Iedul Fitri, mari sejenak kita mengenang nasib saudara-saudara kita yang sedang mengungsi, berjuang, atau terzhalimi. Mengenang nasib mereka dan anak-anak mereka. Juga mengenang 'ketidakmampuan' kita berbuat sesuatu untuk mereka. Mengenang bahwa kegembiraan 'Jasad Islam' yang besar ini, pada 'Iedul Fitri ini, tak setuntas kegembiraannya pada perayaan 'Ied di tahun-tahun yang telah lalu.
Suatu ketika, dari bumi jihad Afghanistan, Sayyaf pernah berkata: “jika kalian tak mampu membantu kami, minimal janganlah bakhil dengan doa kalian untuk kami.” Yah, jika tak sanggup memberi materi, sekurangnya kita memberi doa. [Anis Matta, dari buku Arsitek Peradaban dengan beberapa penyesuaian]
http://www.bersamadakwah.com/2013/08/ied-kita-dan-ied-mereka.html
0 Komentar:
Posting Komentar
Kehormatan buat kami jika selesai baca Anda beri komentar atas Artikel ini....tapi, Mohon Maaf kawan Komentarnya yang sopan ya....he..he..he..