Apa itu sejati? Kamu tahu kan? Hah? “Sejati sama dengan sekali jajal
langsung mati?” Aduuuh… nggak banget deh! Sumpah! Kalo sekali jajal
langsung mati, gimana ceritanya dong? Di film-film aja kalo jagoan
meskipun berkali-kali jungkir-balik plus jatuh-bangun juga tetap
bertahan dan akhirnya jadi pemenang. Emang sih ada film yang sad ending
alias sedih di akhirnya. Tetapi umumnya untuk memanjakan penonton
biasanya banyak film klimaksnya adalah jagoannya mesti menang, apapun
caranya. Sekali lagi, yang penting menang. Titik.
Bro en Sis rahimakumullah, ngomongin remaja
muslim sejati, sebenarnya kita nggak mudah menentukan kriteria dan
kemudian memilihnya. Kenapa? Sebab, kriteria kadang disusupi oleh
keinginan si pembuat istilah. Kadang juga, malah pemilihannya sesuai
selera yang memilih. Nah, supaya adil, kita serahkan aja kepada ajaran
Islam (karena memang judulnya ada sebutan “remaja muslim”). Setuju
nggak? Setuju aja ya daripada elo bonyok kagak karuan. Oppss…! (apa
hubungannya?)
Oya, sebelumnya kita buka kamus ya untuk mencari tahu apa sih sejati
itu. Yup, saya punya KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia), baik versi
cetak maupun digital. Menurut KBBI, sejati itu artinya yang sebenarnya
alias tulen, asli, murni, tidak ada campurannya. Maka, kalo dirangkai
seperti dalam judul gaulislam edisi 313 ini, artinya adalah: remaja
muslim yang asli, tulen nggak ada campuran apapun yang membuatnya nggak
murni lagi. Paham ya?
Apa? Belum paham? Adduuuh. Kamu tahu bensin murni dan bensin campuran
kan? Yup, kalo bensin murni berarti benar-benar bensin. Tetapi kalo
bensin campur berarti oplosan. Bisa saja ditambah cairan lain, sehingga
‘jati diri’ si bensin itu nggak murni lagi. Semoga contoh ini bikin kamu
paham ya, Bro en Sis!
Asli, palsu, murni dan oplosan
Kamu kecewa nggak kalo ternyata benda yang kamu beli itu palsu?
Mereknya sih merek terkenal, tetapi pas udah diteliti nyatanya palsu.
Wuih, rasanya hati kayak kena tinju telak bertubi-tubi. Malu, kesal, dan
kecewa jadi satu diulek di hatimu. Hadeeeuhh.. apalagi bila barang itu
dibeli dengan harga mahal. Bisa-bisa malu, kesal dan kecewamu nggak
ilang sampe delapan turunan.
Nah, sekarang ngomongin jati diri kita sebagai muslim. Secara saklebetan
alias sekilas orang mungkin akan menilai kita baik hanya dengan ngeliat
kita tuh rajin shalatnya, jujur, sopan, santun, bahkan menghormati yang
tua, rajin shadaqah pula dan pinter baca al-Quran lengkap dengan tahsin
dan ‘lagunya’. Orang-orang berpikir, itulah remaja muslim idaman.
Keren! Fantastis!
Tetapi sayangnya, ketika banyak orang pada suatu saat melihat kamu
pacaran, bahkan hot banget dengan pacarmu. Aduh, rasa-rasanya sangat
wajar kalo banyak orang kemudian menilai kamu tuh kepribadiannya
oplosan, yakni level tertentu dari palsu. Kamu tuh cuma bagus casing-nya doang. Dalemannya (yakni pikiran dan perasaan—yang memang mempengaruhi perilaku) ternyata ada yang bad sector gara-gara
kena virus pemikiran dari luar Islam. Cara pandangmu tentang kehidupan
dan pelaksanaan syariat dalam kehidupan udah rusak digerus virus
permisif (serba boleh), hedonisme (pemuja kenikmatan jasadi dan materi)
serta mengamalkan liberalisme. Ibarat software, cara kerjanya udah nggak bener. Memang sih ada sebagian yang bener, tetapi sebagian lainnya salah. Waduh, bahaya!
Nah, itu kan yang oplosan, gimana dengan yang palsu? Begini contoh
gampangnya. Kamu nih, ke semua orang ngaku-ngaku sebagai siswa sekolah
A, dan untuk meyakinkan kamu pake tanda pengenal sekolah tersebut.
Padahal, kamu tuh bukan siswa sekolah A, tetapi siswa sekolah B. Tentu
saja kamu ngelakuin itu karena ada motif alias ada udang di balik
bakwan. Misalnya supaya dianggap keren sama teman sekolah lain, karena
kebetulan sekolah A itu memang sekolah unggulan hingga menjadi sekolah
favorit banyak pelajar di kotamu. Modus kamu yang seperti itu bisa
dikategorikan mengelabui. Status pelajarmu di sekolah A dinilai palsu
alias gadungan.
Bagaimana dengan kepribadian remaja muslim? Nah, ngakunya sih remaja
muslim, tetapi kok nggak shalat? Ngakunya aktivis dakwah, tetapi kok
pacaran? Bilang ke semua orang bahwa Islam itu jalan hidup, eh ternyata
kamu malah ngamalin keyakinan lain selain Islam. Banyak orang yang udah
kamu yakinkan bahwa kamu cuma beriman kepada Allah Ta’ala dan percaya
bahwa takdir dariNya adalah keputusan terbaik buatmu. Eh, suatu saat
kamu ketahuan lagi tergila-gila meyakini ramalan zodiak, bahkan kamu
mempercayai dukun untuk dapetin ilmu pelet demi cewek yang kamu sukai.
Waduh! Itu semua ciri muslim gadungan. Waspadalah!
Bro en Sis rahimakumullah, Tentu saja kita
ingin menjadi muslim sejati (tulen, murni). Nggak mau jadi muslim
oplosan, apalagi jadi muslim gadungan (palsu). Jangan sampe deh. Itu
sebabnya, kita harus menunjukkan identitas asli kita sebagai muslim
sejati. Muslim yang akidahnya kokoh dan hanya beriman kepada Allah
Ta’ala. Menaati perintahNya dan juga perintah Rasulullah Muhammad saw.
Nggak pake nawar-nawar lagi. Sami’na wa atho’na (kami dengar dan kami taat). Nggak akan berani bilang: sami’na wa pikir-pikirna
(kami dengar dan kami pikir-pikir dulu deh). Yeee.. itu sih bukan ciri
muslim sejati. Bisa jadi itu muslim oplosan dan bukan tak mungkin malah
muslim gadungan alias palsu.
Tunjukkan identitasmu!
Sobat, identitas itu perlu. Kamu punya kartu pelajar nggak?
Pastinya punya dong, kecuali kalo kamu nggak terdaftar di sekolahmu.
Iya kan? Nah, coba perhatikan deh. Orang akan percaya dengan identitas
yang kita miliki. Saat kita daftar sekolah, mestinya dimintai Akta
Kelahiran sebagai salah satu identitas yang menunjukkan diri kita
sesungguhnya (walau pun hanya sekadar nama dan kita anak siapa). Kartu
Keluarga juga diperlukan untuk verifikasi bahwa kamu memiliki orang
tua/wali dan tercatat sebagai anggota keluarga tersebut sebagai bukti
penunjang keaslian identitas dirimu.
Tuh, untuk urusan duniawi saja kudu tertib. Urusan yang teknis macam
begitu, identitas diri itu diperlukan. Apalagi kalo urusannya dengan
akhirat (perkara surga dan neraka)? Hmm.. tentunya (seharusnya) lebih
ketat lagi. Coba deh. Urusannya bisa gawat kalo identitas kemuslimanmu
nggak jelas. Dibilang muslim ya karena orang tuamu bilang bahwa kamu
muslim dan memang tercatat di Kartu Keluarga pada kolom yang ke-7, yakni
kolom agama, tertulis Islam. Tetapi kok kelakuannya jauh dari kriteria
sebagai muslim? Shalat nggak, tetapi judi jalan terus. Menutup aurat
nggak ketika keluar rumah, dan pacaran paling hot. Ckckck… ini masalah
banget, sobat!
Selain yang model begitu, ada juga yang shalatnya rajin tapi maksiat
juga lancar. Ini parah juga. Bukankah kamu udah sering baca doa iftitah?
(yang artinya: “Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku, dan matiku
semata-mata untuk Allah, Tuhan alam semesta, tiada sesuatu pun yang
menyekutui-Nya”). Doa itu selalu kita ucapkan 5 kali dalam sehari.
Namun sayangnya, kalo kita udah berikrar seperti itu, tetapi kelakuan
kita di luar shalat justru jauh dari ajaran Islam, artinya kan menghina
ajaran Islam. Betul nggak? Luntur sudah identitas kemusliman kita. Lama
kelamaan, bukan tak mungkin bisa lenyap kalo kita malah ninggalin ajaran
Islam. Naudzubillah!
Bro en Sis rahimakumullah, Ngomongin soal
identitas ada hubungannya juga lho dengan idealisme. Apa itu idealisme?
Menurut kamus sih, artinya hidup atau berusaha hidup menurut cita-cita,
menurut patokan yang dianggap sempurna. Itu artinya pula, bahwa kita
harus menunjukkan idealisme sebagai seorang muslim.
Benar, bukan hanya menunjukkan, tetapi kita juga kudu mempertahankan
idealisme yang kita miliki. Nggak boleh luntur dan pudar. Ibarat batu
karang di laut. Sekeras apapun terjangan gelombang, batu karang tetap
tegar menantang. Tak gentar menghadapi berbagai godaan. Emang sih,
ketika kita mencoba inisiatif bikin pengajian atau bersikap kritis
terhadap kondisi lingkungan kita, selalu aja jadi sasaran empuk
cemoohan. Baru aktif di masjid aja udah banyak mulut-mulut usil. Baru
sehari pakai kerudung (apalagi jika lengkap dengan jilbabnya) ke
sekolah, udah banyak yang kepo dan cenderung ngerecokin. Dibilangin “sok
alim lah”, disebut “bau surga lah”. Prinsipnya, banyak halangan menuju
idealis. Tetapi, jangan pesimis!.
Namun demikian, nggak usah bingung bin stres. Kondisi ini nggak akan
berlangsung lama. Mereka bakal pegel sendiri. Kuat-kuatan aja. Apalagi
kita ada di jalan yang bener. Kita kudu bangga punya idealisme Islam.
Bener, kudu bangga banget, kawan. Sebab kita berjuang untuk Islam.
Inilah idealisme yang emang sulit dikalahkan. Firman Allah Swt.:
“Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan: “Tuhan kami ialah Allah”
kemudian mereka meneguhkan pendirian mereka, maka malaikat akan turun
kepada mereka (dengan mengatakan): “Janganlah kamu merasa takut dan
janganlah kamu merasa sedih; dan bergembiralah kamu dengan (memperoleh)
surga yang telah dijanjikan Allah kepadamu”. (QS Fushilat [41]: 30)
Well, meski demikian idealisme nggak muncul secara otomatis
dalam diri kita. Namun butuh proses. Butuh upaya untuk membentuknya. Itu
sebabnya, diperlukan kekritisan dalam bersikap, mampu menangkap
realitas kehidupan yang ada, menyikapinya dan memberikan solusi. Ghirah
(semangat) Islam kita pun perlu ditumbuhkan. Selain itu, akrab dengan
pemikiran-pemikiran Islam melalui berbagai kajian, dan mampu
menerjemahkannya untuk menyelesaikan berbagai problem kehidupan. So,
mempertahankan idealisme dan menunjukkan identitas kemusliman itu bukan
impian, tapi sebuah kenyataan yang bisa diwujudkan. Ayo, jadilah remaja
muslim sejati! Buktikan dengan kemurnian identitas kemuslimanmu, Bro en
Sis! [solihin | Twitter @osolihin]
0 Komentar:
Posting Komentar
Kehormatan buat kami jika selesai baca Anda beri komentar atas Artikel ini....tapi, Mohon Maaf kawan Komentarnya yang sopan ya....he..he..he..