Oleh Ribut Lupiyanto*
Indonesia disepakati para founding father sebagai negara hukum. Hukum menjadi panglima dan keadilan adalah segala-galanya. Konsep trias politika menempatkan yudikatif sebagai penjamin implementasi keadilan hukum bagi rakyat Indonesia tanpa pandang kasta. Konsekuensi logisnya yudikatif mesti berdiri independen dan tampil suci agar bisa adil dan bijaksana.
Faktanya, kepastian hukum kian hari kian tidak menentu. Keadilan yang segala-galanya menjadi segalau-galaunya. Kegalauan ini memuncak atas fenomena runtuhnya langit keadilan yang disangga lembaga yudikatif. Penyelewengan oknum tidak hanya mencoreng kesakralan lembaga yudikatif, tetapi menodai kepercayaan publik yang tinggi. Selain ke lembaga yudikatif kemana lagi keadilan dapat dicari?
Galau Korupsi
Salah satu kasus besar yang mengguncang dunia peradilan adalah tindak pidana korupsi. Korupsi hadir melalui praktik suap menyuap, jual beli perkara, gratifikasi, dan bentuk lainnya. Korupsi sudah tumbuh kompleks, sistemik, dan melewati batas-batas nalar kemanusiaan (hyper corruptus). Kondisi miris menunjukkan hampir semua lembaga yudikatif memiliki oknum anggota yang pernah atau sedang terseret kasus korupsi.
Kasus terdahsyat adalah tertangkapnya Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Akil Mochtar (AM) oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada Rabu (02/10). AM diciduk tepat 12 hari jelang satu dasawarsa usia MK. AM diresmikan menjadi tersangka suap menyuap kasus pemilukada Kabupaten Gunung Mas Provinsi Kalimantan Tengah dan Kabupaten Lebak Provinsi Banten.
Kasus ini seakan menjadi kiamat mini bagi Mahkamah Konstitusi. MK sejak berdiri 15 Oktober 2003 menjadi lembaga yudikatif yang paling dipercaya publik. Integritas hakim-hakimnya dipuji dan putusannya dirasa memberikan rasa keadilan. MK menjadi perhatian saat memutus uji materi Undang-undang Pemilu. MK kala itu memperbolehkan mencoblos dengan KTP, karena daftar pemilih tetap (DPT) karut marut. Rakyat pun kembali memperoleh hak pilihnya.
Tertangkapnya hakim konstitusi AM apalagi menjabat Ketua MK jelas menimbulkan shock bagi seluruh rakyat Indonesia. Bukti ini semakin menguatkan persepsi bahwa korupsi menggoda siapa saja tidak mengenal kasta dan lembaga. Hakim juga manusia, sama seperti profesor, jenderal, konglomerat, dan lainnya yang sudah terjerat sebelumnya.
Kebangkitan Optimisme
Kebobrokan Indonesia karena hantu korupsi tidak boleh memadamkan api optimisme anak negeri. Indonesia pernah dinobatkan Transperency International (TI) sebagai negara terkorup keenam sedunia pada tahun 1999. Patut disyukuri peringkat tersebut terus membaik hingga pada tahun 2012 menempati urutan ke 118 dari 176 negara atau terkorup ke 58.
Secercah optimisme juga masih diberikan KPK. KPK telah berhasil menyelamatkan kekayaan negara Rp. 153 Trilyun sejak tahun 2003. Sejumlah kasus kakap juga berani diungkap. Tidak tanggung-tanggung mulai dari politisi, anggota legislatif, oknum penegak hukum, pejabat kementerian/dinas, hingga menteri aktif pernah diseret KPK.
Optimisme dapat dibangkitkan pada diri setiap anak negeri dengan memberikan jaminan keadilan dan kepastian hukum. Banyak hal dapat diupayakan dalam menghadirkannya. Semua pihak, baik eksekutif, yudikatif, legislatif, hingga masyarakat memiliki peran sentral yang mesti dioptimalkan.
Pertama, meminimalisasi politisasi lembaga negara selain DPR dan DPD. Selama ini mantan politisi bebas memasuki keanggotaan lembaga negara. Efek politisasi ini dapat menyebabkan pudarnya independensi serta membuka banyak peluang hadirnya godaan korupsi. Lembaga yudikatif ke depan mesti steril dari unsur partai politik. Batasan ketat mesti diatur kaitannya dengan faktor waktu. Setiap mantan politisi baru boleh mengikuti seleksi anggota lembaga negara minimal 10 tahun keluar dari partai politik. Kewenangan dan metode seleksi melalui DPR juga mendesak dievaluasi.
Kedua, pencegahan korupsi mesti menjadi arus utama pemberantasan korupsi. Tugas KPK berdasarkan UU No. 30 Tahun 2002 terdiri dari koordinasi, supervisi, penyelidikan- penyidikan-penuntutan, pencegahan, serta monitoring. Realitanya kinerja KPK hingga kini masih dominan pada pelaksanaan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan saja. Sebesar apapun sumberdaya dan energi yang dimiliki KPK dipastikan tidak akan bisa mengimbangi laju tindak korupsi di negeri ini. Korupsi yang kian sistemik tidak akan hilang hanya dengan penangkapan-penangkapan.
Ketiga, membenahi dan menguatkan kepolisian dan kejaksaan. Kedua lembaga ini merupakan penegak hukum yang sudah tua, permanen, dan pakem dalam negara demokrasi. Tidak mungkin hanya ke pundak KPK semua beban pemberantasan korupsi diembankan. Kepolisian dan Kejaksaan memang memiliki pekerjaan rumah berat karena menjadi bagian dari masalah korupsi itu sendiri. Hal ini bukan berarti meninggalkan kewenangan dan potensinya yang besar dalam penegakan hukum.
Keempat, mengetatkan aspek pengawasan terhadap semua lembaga negara. Semua lembaga negara mesti tidak alergi terhadap pengawasan. MK selama ini susah disentuh pengawasan Komisi Yudisial. KPK juga belum jelas siapa yang mengawasinya. Sekuat-kuatnya lembaga dan sehebat-hebatnya manusia di dalamnya perlu check and balance demi memberikan jaminan independensi. Jika pengawasan tidak optimal, maka dikhawatirkan problem kelembagaan akan menjadi bom waktu.
Bangsa ini tidak boleh larut dalam kesedihan, kegalauan, dan pesimisme. Tanggal 20 Oktober 2013 sebagai Hari Kebangkitan Nasional dapat dijadikan momentum kebangkitan optimisme menegakkan keadilan, memberantas korupsi, dan menangani semua problematika bangsa. Seluruh komponen harus bergandengan tangan dan bahu membahu menyebarkan virus optimisme berbangsa. Semoga kebangkitan optimisme dapat menjadi energi besar dalam akselerasi kemajuan bangsa.
*Dimuat di Kolom OPINI Koran WAWASAN Semarang Edisi Sabtu 19 Oktober 2013
Indonesia disepakati para founding father sebagai negara hukum. Hukum menjadi panglima dan keadilan adalah segala-galanya. Konsep trias politika menempatkan yudikatif sebagai penjamin implementasi keadilan hukum bagi rakyat Indonesia tanpa pandang kasta. Konsekuensi logisnya yudikatif mesti berdiri independen dan tampil suci agar bisa adil dan bijaksana.
Faktanya, kepastian hukum kian hari kian tidak menentu. Keadilan yang segala-galanya menjadi segalau-galaunya. Kegalauan ini memuncak atas fenomena runtuhnya langit keadilan yang disangga lembaga yudikatif. Penyelewengan oknum tidak hanya mencoreng kesakralan lembaga yudikatif, tetapi menodai kepercayaan publik yang tinggi. Selain ke lembaga yudikatif kemana lagi keadilan dapat dicari?
Galau Korupsi
Salah satu kasus besar yang mengguncang dunia peradilan adalah tindak pidana korupsi. Korupsi hadir melalui praktik suap menyuap, jual beli perkara, gratifikasi, dan bentuk lainnya. Korupsi sudah tumbuh kompleks, sistemik, dan melewati batas-batas nalar kemanusiaan (hyper corruptus). Kondisi miris menunjukkan hampir semua lembaga yudikatif memiliki oknum anggota yang pernah atau sedang terseret kasus korupsi.
Kasus terdahsyat adalah tertangkapnya Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Akil Mochtar (AM) oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada Rabu (02/10). AM diciduk tepat 12 hari jelang satu dasawarsa usia MK. AM diresmikan menjadi tersangka suap menyuap kasus pemilukada Kabupaten Gunung Mas Provinsi Kalimantan Tengah dan Kabupaten Lebak Provinsi Banten.
Kasus ini seakan menjadi kiamat mini bagi Mahkamah Konstitusi. MK sejak berdiri 15 Oktober 2003 menjadi lembaga yudikatif yang paling dipercaya publik. Integritas hakim-hakimnya dipuji dan putusannya dirasa memberikan rasa keadilan. MK menjadi perhatian saat memutus uji materi Undang-undang Pemilu. MK kala itu memperbolehkan mencoblos dengan KTP, karena daftar pemilih tetap (DPT) karut marut. Rakyat pun kembali memperoleh hak pilihnya.
Tertangkapnya hakim konstitusi AM apalagi menjabat Ketua MK jelas menimbulkan shock bagi seluruh rakyat Indonesia. Bukti ini semakin menguatkan persepsi bahwa korupsi menggoda siapa saja tidak mengenal kasta dan lembaga. Hakim juga manusia, sama seperti profesor, jenderal, konglomerat, dan lainnya yang sudah terjerat sebelumnya.
Kebangkitan Optimisme
Kebobrokan Indonesia karena hantu korupsi tidak boleh memadamkan api optimisme anak negeri. Indonesia pernah dinobatkan Transperency International (TI) sebagai negara terkorup keenam sedunia pada tahun 1999. Patut disyukuri peringkat tersebut terus membaik hingga pada tahun 2012 menempati urutan ke 118 dari 176 negara atau terkorup ke 58.
Secercah optimisme juga masih diberikan KPK. KPK telah berhasil menyelamatkan kekayaan negara Rp. 153 Trilyun sejak tahun 2003. Sejumlah kasus kakap juga berani diungkap. Tidak tanggung-tanggung mulai dari politisi, anggota legislatif, oknum penegak hukum, pejabat kementerian/dinas, hingga menteri aktif pernah diseret KPK.
Optimisme dapat dibangkitkan pada diri setiap anak negeri dengan memberikan jaminan keadilan dan kepastian hukum. Banyak hal dapat diupayakan dalam menghadirkannya. Semua pihak, baik eksekutif, yudikatif, legislatif, hingga masyarakat memiliki peran sentral yang mesti dioptimalkan.
Pertama, meminimalisasi politisasi lembaga negara selain DPR dan DPD. Selama ini mantan politisi bebas memasuki keanggotaan lembaga negara. Efek politisasi ini dapat menyebabkan pudarnya independensi serta membuka banyak peluang hadirnya godaan korupsi. Lembaga yudikatif ke depan mesti steril dari unsur partai politik. Batasan ketat mesti diatur kaitannya dengan faktor waktu. Setiap mantan politisi baru boleh mengikuti seleksi anggota lembaga negara minimal 10 tahun keluar dari partai politik. Kewenangan dan metode seleksi melalui DPR juga mendesak dievaluasi.
Kedua, pencegahan korupsi mesti menjadi arus utama pemberantasan korupsi. Tugas KPK berdasarkan UU No. 30 Tahun 2002 terdiri dari koordinasi, supervisi, penyelidikan- penyidikan-penuntutan, pencegahan, serta monitoring. Realitanya kinerja KPK hingga kini masih dominan pada pelaksanaan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan saja. Sebesar apapun sumberdaya dan energi yang dimiliki KPK dipastikan tidak akan bisa mengimbangi laju tindak korupsi di negeri ini. Korupsi yang kian sistemik tidak akan hilang hanya dengan penangkapan-penangkapan.
Ketiga, membenahi dan menguatkan kepolisian dan kejaksaan. Kedua lembaga ini merupakan penegak hukum yang sudah tua, permanen, dan pakem dalam negara demokrasi. Tidak mungkin hanya ke pundak KPK semua beban pemberantasan korupsi diembankan. Kepolisian dan Kejaksaan memang memiliki pekerjaan rumah berat karena menjadi bagian dari masalah korupsi itu sendiri. Hal ini bukan berarti meninggalkan kewenangan dan potensinya yang besar dalam penegakan hukum.
Keempat, mengetatkan aspek pengawasan terhadap semua lembaga negara. Semua lembaga negara mesti tidak alergi terhadap pengawasan. MK selama ini susah disentuh pengawasan Komisi Yudisial. KPK juga belum jelas siapa yang mengawasinya. Sekuat-kuatnya lembaga dan sehebat-hebatnya manusia di dalamnya perlu check and balance demi memberikan jaminan independensi. Jika pengawasan tidak optimal, maka dikhawatirkan problem kelembagaan akan menjadi bom waktu.
Bangsa ini tidak boleh larut dalam kesedihan, kegalauan, dan pesimisme. Tanggal 20 Oktober 2013 sebagai Hari Kebangkitan Nasional dapat dijadikan momentum kebangkitan optimisme menegakkan keadilan, memberantas korupsi, dan menangani semua problematika bangsa. Seluruh komponen harus bergandengan tangan dan bahu membahu menyebarkan virus optimisme berbangsa. Semoga kebangkitan optimisme dapat menjadi energi besar dalam akselerasi kemajuan bangsa.
*Dimuat di Kolom OPINI Koran WAWASAN Semarang Edisi Sabtu 19 Oktober 2013
0 Komentar:
Posting Komentar
Kehormatan buat kami jika selesai baca Anda beri komentar atas Artikel ini....tapi, Mohon Maaf kawan Komentarnya yang sopan ya....he..he..he..