Oleh: Rizki Lesus
Penggiat Jejak Islam untuk Bangsa (JIB)
Tatapannya begitu tenang. Tak ada rasa benci di sana. Tak ada dendam.
 Hamka benar-benar menjalani kehidupan dengan lapang dada. Sebelum 
wafatnya Soekarno (baca tulisan Buya Hamka, Ketika Air Tuba dibalas Air Susu) ,
 seorang tokoh Bangsa, Mohammad Yamin sempat berseteru dengan Hamka. Hal
 ini bermula dari gaung Hamka digedung konstituante Bandung, yang 
menyerukan agar Indonesia berdasarkan dengan Islam.
Masyumi sebagai pimpinannya, mengajukan dasar negara berdasarkan 
Islam. “..Bila negara kita ini mengambil dasar negara berdasarkan 
Pancasila, sama saja kita menuju jalan ke neraka … “ lantang Hamka 
dengan tegas. Walau akhirnya, Hamka menerima Pancasila dengan tafsiran 
bahwa Tuhan yang Maha Esa adalah Allah, dan karena-Nya, berkat 
rahmat-Nya, Indonesia dapat merdeka hingga saat ini.
Tentu saja para hadirin dalam sidang paripurna Konstituante itu 
terkejut mendengar pernyataan Hamka. Mr. Moh. Yamin sebagai seorang 
anggota Konstituante turut terkejut atas pernyataan sang Buya. Yamin 
tidak saja marah, berlanjut menjadi benci. Moh Yamin tidak dapat menahan
 kebencian- nya baik bertemu dalam acara resmi, seminar kebudayaan dan 
sama-sama menghadiri sidang Konstituante, kebencian itu tetap tak dapat 
dihilangkannya.
Saat di rumah, Hamka  kedatangan tamu Buya KH. Isa Anshari. Ulama 
sekampung dengan kampung Hamka, Maninjau, beliau sudah lama bermukim di 
Kota Bandung Dalam acara makan siang, Buya KH. Isa Anshari bertanya 
kepada Hamka, “Apa masih tetap Yamin bersitegang dengan Hamka ?”
Sang Buya menjawab, “Rupanya bukan saja wajahnya yang diperlihatkan 
kebenciannya kepada saya, hati nuraninya pun ikut membenci saya.”
Bertahun-tahun setelah dekrit di mana Soekarno kemudian membubarkan 
Konstituante, parlemen dan menetapkan UUD ’45 dan Pancasila yang dijiwai
 Piagam Jakarta sebagai dasar negara, terjadi peristiwa yang luar biasa.
Tahun 1962; Mr. Moh. Yamin jatuh sakit parah dirawat di Rumah Sakit 
Pusat Angkatan Darat, RSPAD. Telepon berdering di Kebayoran. Suara 
Menteri Chairul Shaleh dari balik telepon membujuk Hamka agar Hamka 
dapat menemui Moh. Yamin yang sedang di Rumah Sakit. Tentu saja, Hamka 
dengan senang menyambut seruan itu.
“Buya, saya membawa pesan dari Bapak Yamin. Beliau  sakit sangat 
parah. Sudah berhari-hari dirawat. Saya sengaja datang menemui Buya. Ada
 pesan dari Pak Yamin, mungkin merupakan pesan terakhir. “ “Apa 
pesannya?” tanya Hamka.
“Pak Yamin berpesan agar saya menjemput Buya ke rumah sakit. Beliau 
ingin menjelang ajalnya, Buya dapat mendampinginya, sekarang Pak Yamin 
dalam sekarat.” Sang Buya agak tercengang mendengar pesan Pak Yamin itu.
  Teringat kembali sikap bermusuhan dan membencinya.
“Apalagi pesan Pak Yamin?” Kembali Hamka bertanya kepada menteri yang
 ditugaskan Pak Yamin itu. “Begini Buya, yang sangat merisaukan pak 
Yamin, beliau ingin bila wafat dapat dimakamkan di kampung halamannya 
yang telah lama tidak dikunjungi. Beliau sangat khawatir masyarakat 
Talawi tidak berkenan menerima jenazahnya. Ketika terjadi pergolakan di 
Sumatara Barat, Pak Yamin turut mengutuk aksi pemisah-an wilayah dari 
NKRI. Beliau mengharapkan sekali Hamka bisa menemaninya sampai ke dekat 
liang lahatnya.”
Sang Buya termenung. Banyak pengalaman pahit yang dirasa oleh ayah 
selama beberapa tahun ini dengan tokoh yang mengaku wajahnya mirip 
dengan Patih Majapahit Gajah Mada itu.  ”Kalau begitu mari bawa saya ke 
RSPAD menemui beliau.”
Sore itu juga langkah kaki Buya tak tertahankan, menuju lorong VIP 
Rumah Sakit. Dibukanya pintu itu. Seorang tengah berbaring lemah. Begitu
 hati ini bergetar. Selang-selang tersambung dengan tubuh Pak Yamin. 
Belalai-belai alat kedokteran begitu berseliweran. Ingin rasanya mata 
ini menangis melihatnya, wajah yang begitu lemah. Dijabatnya tangan 
Yamin, dan dikecup keningnya, tokoh yang selam ini membencinya.
” Terima kasih Buya sudi datang.” Lirihnya sangat lemah. Dari kedua 
kelopak matanya tampak air mata menggenangi matanya.  “Dampingi saya,” 
bisiknya lagi. Tangan Hamka masih terus digenggamnya. Air mata mereka 
berkumpul di sudut matanya. Dibisikkanya kalam Ilahi, Al Fatihan dengan 
lembut oleh Hamka. Kalimat tauhid yang berulang-ulang dibisikkan,  La ilaha illallah Muhammadan Rasalullah.
Sudah lama sekali..lama..kalimat ini, tak terlafal. Begitu lemah, 
suara itu mengikuti gerak bibir Hamka. Berulang-ulang, kalimat tauhid 
itu terlafal. Genggaman tangan itu semakin kuat. Suaranya tak terdengar 
lagi. Hanya isyarat genggamanan mengyat. Terakhirkali, Hamka membisikkan
 kalimat “tiada Tuhan selain Allah” ke telinganya. Tidak ada respon. Hamka merasa genggaman Pak Yamin mengendur dan terasa dingin dan terlepas dari genggaman ayah.
Seorang dokter datang memeriksa. Dokter itu memberitahu Pak Yamin sudah tidak ada lagi. “Innalillahi wa inna lillaihi rajiun.”Tokoh yang bertahun-tahun sangat membenci Hamka, diakhir hayatnya meninggal dunia sambil bergenggaman tangan dengan sang Buya.
Sungguh,tak ada yang begitu terkenang kecuali dengan akhlak sang 
Buya. Senyumnya, kelembutannya, ketegasannya dalam hal akidah. Jiwa 
maafnya yang selalu terbuka, terlapang. Salam takjim untuk Buya Hamka 
Rahimahullah. Semoga Allah merahmatimu wahai Buya
http://www.islampos.com/segenggam-maaf-hamka-untuk-yamin-83109/ 
 

 
 
 
0 Komentar:
Posting Komentar
Kehormatan buat kami jika selesai baca Anda beri komentar atas Artikel ini....tapi, Mohon Maaf kawan Komentarnya yang sopan ya....he..he..he..