Kulihat dari ujung kacamataku, teman-teman ikhwan membagi-bagikan
jilbab pada teman-teman perempuanku. “Ayo dong pake, nih udah dibawain!
Pake’ deh, jadi tambah cakep loh!” ucap mereka dengan semangatnya. Tentu
saja kubersyukur. “Ah, teman-teman makasih ya udah ngeringanin tugas
akhwat untuk merayu mereka.” Kadang kalau dipikirkan lucu juga
teman-teman perempuan itu, mereka nggak kuat kalau yang ngerayu itu
ikhwan. Ikhwannya sih seneng-seneng aja, begitu juga dengan teman-teman
perempuanku itu yang rela didandanin meng-akhwat. Ya, begitulah yang
kami lakukan saat pelajaran agama Islam. Pak Guru membolehkan kami
belajar tanpa lepas jilbab maka kami memanfaatkan untuk ‘menjilbabi’
seluruh siswi yang ada di kelas dengan cara memodali mereka jilbab dan
peniti. Perbuatan dramatis itu jelas mendapat teguran dari sekolah yang
diarahkan ke Pak Guru Agama.
Teguran itu sebenarnya berawal dari sikap kami yang mulai berjilbab
di sekolah yang komunitasnya tak pernah berhenti sejak kemunculannya
pada 1983 di sekolah tercinta ini. Persoalan jilbab di sekolah negeri
mulai ada sejak era ’80-an. Kisahnya selalu klasik yang diakhiri dengan
keluarnya siswi tersebut secara sukarela. Hal itulah yang dialami oleh
kakak kelas pada angkatan ’83-’85. Tahun-tahun awal itu saat-saat yang
berat bagi jilbaber. Apalagi kepengurusan Rohis belum berjalan baik,
masih individual dan pengajian di sekolah belum ada. Belum ada
komunikasi di antara jilbaber karena jumlahnya masih minim, untuk
angkatan ’83 hanya satu orang. Saat itu ia dimusuhi oleh guru bahkan
sempat melompat pagar sekolah ketika dikejar-kejar guru karena memakai
jilbab terus di sekolah. Akhirnya seperti siswi SMA lain pada umumnya,
ia memilih keluar untuk menjaga aqidah Islamiyah. Untuk sesaat,
sekolahku ini menjadi kawasan bebas jilbab.
Keberadaan jilbab mulai ‘welcome’ saat jilbaber menurut peraturan
sekolah untuk bongkar pasang beberapa tahun setelah peristiwa itu.
Wakasek yang kebetulan non-muslim tetap menentang keberadaan kami,
sedangkan Kepsek, alhamdulillah tidak terlalu menentang. Ia melihat
siswi-siswi berjilbab di SMA tetangga kami (SMA 26) banyak yang membuat
harum nama sekolah dengan prestasinya dalam lomba-lomba bidang studi. Di
sini, kami memang low profile, hanya ikhwannya yang menonjol sehingga
citra jilbab belum terbangun. Walau demikian, para guru cukup toleran
dengan memperbolehkan kami membuka jilbab setelah tiba di dalam sekolah.
Hal itu tidak bisa kami lakukans etiap saat sebab Wakasek tercinta itu
sudah menunggu kami dengan setia di pintu pagar, “Ayo dibuka jilbabnya!”
ujarnya tanpa memandang bagaimana perasaan kami ‘digunduli’ di jalan
raya yang cukup ramai. Ya, apa boleh buat, kami terpaksa buka jilbab di
situ. Alhamdulillah, ia tidak tiap pagi nongkrongin kami. Selamat dari
ujian pertama, melangkah pada ujian kedua. Guru BP kadang ngecek siswa,
dari baju yang kependekan, sampai… yang kepanjangan. “Kalau ada yang
kepanjangan, saya gunting!” katanya. Ah, ujian itu tidak seberapa bila
dibandingkan dengan para sahabat, seperti Bilal atau Amar bin Yassir
yang kehilangan kedua orangtuanya.
Kami menyadari bahwa kami berbeda dengan teman-teman yang lain.
Jilbab-jilbab yang melambai bahkan ada yang super lebar sampai menyentuh
ujung sepatu sempat diprotes sekolah. Yang membuat kami sedih bahkan
cenderung stress, yaitu jam olahraga. Olahraga berarti olah jiwa bagi
kami. Masya Allah, kami harus pamer aurat, bukan hanya sekadar buka
aurat saja. Untuk membayangkannya saja ngeri rasanya, tapi itulah yang
terjadi pada tahun 1990. Pada jam olahraga itu kami harus lari keluar
dari sekolah. Rute yang ditempuh ialah sekolah-lapangan Palapa PP.
Sekolah kami berada pas di pinggir jalan raya. Manusia dan mobil
berseliweran setiap detiknya, dan mereka dengan enaknya dapat memandang
kami. Bisa dibayangkan bagaimana rasanya kalau ‘gundul’ hanya baju
olahraga saja, tanpa kerudung kepala, kami tetap harus berlari. Hanya
dengan pakaian dan celana selutut saja sudah begitu menyiksa kami,
ditambah lagi harus berkeliling di jalan raya. Tampang kami yang culun
dengan rambut diikat kuda tentu kentara bedanya dengan siswi yang tidak
berjilbab, seolah-olah orang-orang di jalan mengatakan, “Itu tuh siswi
yang pake jilbab!” “Ya Allah, kuatkan hamba.”
Allahu Akbar! Kami mampu melakukan ‘kucing-kucingan’. Setelah keluar
dari pintu gerbang, kami mencari mobil yang diparkir, lalu di balik
mobil itu, kami mengenakan jilbab dan… berlari. Sampai di daerah Palapa,
dengan lambat-lambat, tanganku bergerak ke atas membuka jilbab. “Ya
Allah, apa yang harus kulakukan? Kami sadari kami tidak kaffah, tapi
itulah yang mampu kami lakukan saat ini. Ampuni kami ya Allah!”
Kapankah tibanya pertolongan-Mu, ya Allah?
Kapankah Kau kabulkan doa yang kami bisikkan dalam shalat-shalat panjang kami?
Subhanallah, titik terang itu mulai berpencar cahayanya. Saat itu
pada 1990, ada musyawarah MPK (Majelis Permusyawaratan Kelas) se-Jaksel
yang dihadiri beberapa SMA di antaranya SMA 6, 8, 28, 38, dan 70 yang
membahas lokalisasi WTS. Topik yang berkenaan dengan moral itu menjadi
momen yang pas untuk melempar isu jilbab dengan harapan jilbab
diperbolehkan. Momen kedua menuai isu jilbab saat Pak Arif Rahman
(Kepsek SMA Lab-School) berbicara di sekolah kami. Di depan para guru,
Pak Arif menyatakan, “Jilbab itu bukan suatu ancaman, malah membuat anak
jadi baik.” Allahu akbar! Kami melihat reaksi yang positif. “Ssst…
wakepsek ngangguk-ngangguk, ibu BP juga ngangguk-ngangguk, wah ada
harapan nih,” bisik teman sebelahku layaknya berdoa.
Doa adalah usaha yang tak pernah kami hentikan, ia selalu terucap
dalam setiap detik langkah kami. Subhanallah, Depdikbud sebagai pihak
yang berwenang mendengar aspirasi kami (setelah beberapa kasus jilbab
mencuat) dengan mengeluarkan SK 100 tahun 1991. Kami bersyukur, dan
memang selayaknya bersyukur. Sujud syukur pun dilakukan serentak di
Masjid al-Azhar pada Januari 1991. Mendengar kabarnya saja, hanya air
mata yang menjadi saksi. Kami tak bisa membendung tangis ini.
alhamdulillah wa syukurilah. Sementara itu, kami masih bingung, apakah
sudah boleh mengenakan jilbab atau belum karena kami tak mempunyai SK
tersebut. Kepsek yang baru hanya menyatakan, “Saya tidak melarang, juga
tidak menyuruh,” tetapi guru BP tetap patroli seperti dulu.
Sujud syukur di Masjid al-Azhar dihadiri oleh ratusan muslimah dan
subhanallah, aku… adalah salah satu di antaranya. Ternyata, yang
berjuang menegakkan syari’at Allah itu bukan hanya aku, banyak sekali
jumlahnya, belum lagi di daerah yang tidak sempat menghadiri acara itu.
Usai acara di pagi itu, tugas baru menunggu, yaitu memberitahukan kepada
teman-teman di sekolah bahwa futuh jilbab sudah benar-benar terjadi.
Kami juga harus menentukan apakah mulai hari ini mengenakan jilbab di
sekolah, kami bingung. Ya Allah, apakah kami belum siap dengan futuh
jilbab? Apakah terlalu singkat perjuangan kami sehingga kami belum bisa
menghayati perjuangan kakak-kakak kami dahulu? Akhirnya kami menunda
memakai jilbab pada hari bersejarah itu.
Pada masa transisi itu, para ikhwan mengadakan negosiasi dengan
sekolah. Mereka meminta akhwat bersabar. “Aduh akhi, bagaimana mau
kompromi lagi, ini kan aurat, yang malu kan kita-kita ini para akhwat,”
keluh akhwat. Alhamdulillah pada pelajaran olahraga, jilbab boleh
dikenakan. Dalam keadaan yang tidak menentu itu, guru BP memanggil semua
jilbaber dari kelas I, II, dan III untuk briefing. Kami, sekitar 40-50
orang sudah mempersiapkan argumen, memilih jubir, tetapi kami tidak
sanggup bicara, semuanya menangis duluan. Guru BP memulainya dengan
menyentuh jiwa bahwa kewajiban sekolah ini untuk orangtua. Ia memainkan
emosi yang terdalam, tentang bakti kami kepada orangtua. Wakasek juga
mengingatkan bahwa sikap keras kami tak ubahnya seperti gerakan PKI yang
laten. Kami memang menentang peraturan pemerintah, kami menentang
sekolah, tapi masya Allah, kami…. Kami juga menentang orangtua, termasuk
aku. “Ya Allah, bagaimana kami bisa bicara, kalau kami langsung
diingatkan kepada orangtua kami di rumah. Kubayangi bapak dan ibu yang
kecewa terhadap sulungnya.”
Aku adalah anak sulung yang dicita-citakan menjadi wanita karir.
Ternyata aku lebih cepat diizinkan meraih hidayah-Mu. Aku mengenal
jilbab saat SMP kelas III. Aku sempat nyantri saat liburan, yang setiap
ustadz datang mengajar, ia selalu mengatakan, “Pakaiannya harus pakaian
muslimah!” Kulihat juga keagungan wanita berjilbab. Simpatiku pada
jilbab sampai pada tahap identifikasi, sayang ortu tak mengizinkan.
Setelah itu, hari-hariku berjalan biasa sampai aku diterima di SMA
Negeri 28 Jaksel ini. keahlian menari Jawa mengantarkanku masuk nominasi
AFS. Saat tes akhir AFS, aku berada pada garis kebimbangan setelah
membaca artikel tentang seorang wanita Barat yang masuk Islam dan
memilih hijrah ke Mesir. “Lho kok, kenapa aku, wanita Islam malah mau
hijrah ke Amerika?” konflik batin terjadi. Aku teruskan niatku di AFS
karena aku tertantang ucapan Bapak yang mengizinkanku berjilbab jika
lulus AFS. Ternyata aku gagal.
Sementara itu, Bapak terus mencari kebenaran tentang jilbab kepada
seorang ulama terkenal yang baru saja pulang dari Amerika, yang
kebetulan tetanggaku. Bapak mendapat pertimbangan bahwa jilbab itu dosa
kecil yang diampuni. Astaghfirullah! Kuhiraukan argumen ulama tersebut,
aku putuskan pake jilbab saat daftar ulang kelas II. Ortu meradang,
katanya, “Ini sekali, apa diterusin?” aku disidang. “Benazir Bhuto saja
nggak begitu, Pak itu aja yang ulama keluarganya tidak berjilbab,” tegas
Bapak. Aku tetap pada sikapku. Bapak jatuh sakit. Akhirnya aku
backstreet, berangkat dari rumah ke sekolah melewati jalan yang sepi
lalu pake di sana sampai sekolah.
Hal itu kulakukan selama seminggu di kelas II. “Ya Allah, aku mampu
membohongi ortu, tapi… aku tidak mampu membohongi diri sendiri.”
Bismillah, aku beranikan diriku pulang dengan memakai jilbab sampai
depan rumah. Jilbabku langsung direnggut saat itu juga, aku hanya
menatapnya lalu masuk kamar dan mengadu pada Allah. Aku menangis. Bapak
mengancamku, “Kalau kamu pake lagi, semua bajumu akan diambil.” Aku
mencoba istiqomah dengan mencuci dan menjemur baju sendiri. Herannya,
semuanya hilang. Ketika hal ini kuceritakan kepada akhwat di sekolah,
mereka malah menertawakanku, “Masa di rumah sendiri hilang,” kata
mereka. “Iya… ya, lucu juga.” Walhasil, aku kehabisan baju dan jilbab.
Subhanallah, aku tak pernah membayangkan pertolongan Allah datang
kepadaku. Saat aku benar-benar kehabisan sandang untuk sekolah, aku
mencoba mengambilnya dari kamar ortu. Kuharap bapak tidak membakar baju
dan jilbabku seperti janjinya. Aku tidak tahu bagaimana badanku bisa
mengecil sehingga mampu masuk kamar yang terkunci itu. Aku hanya melepas
satu buah nako dan melewatinya dengan mudah. Badanku memang kurus, tapi
melewati jendela nako yang kulepas satu, aku tak bisa membayangkannya.
Allahu akbar. Kudapati di atas lemari, semua baju yang kubutuhkan.
Bluur… akhirnya aku ambil dua buah untuk menepis kecurigaan.
Semenjak memakai jilbab dan menentang aturan ortu, aku disisihkan dan
tersisih dari keluarga besar. Aku seperti disembunyikan di dalam rumah
saja, mereka malu mengajakku karena berjilbab. Itu tidak mengapa, tapi…
ternyata Bapak menahan SPP-ku selama satu semester. Alhamdulillah ada
om-ku yang membayarkannya tanpa sepengetahuannya. Aku tetap mencoba
untuk berkomunikasi, aku katakan kepada Bapak, “Walaupun aku tidak nurut
pada Bapak, tapi aku tetap anak Bapak.” Bapak memenuhi permintaanku
hingga Bapak kembali membayar SPP. Sikap Bapak tetap tidak berubah.
Tekanan dari sekolah dan terlebih dari rumah membuatku selalu
berpikir. Aku terkena sakit kepala yang amat sangat, stress, high
tension, dan harus berobat ke bagian neurologi RSCM sendirian. Aku masuk
EEG sendirian, dan aku menangis sendirian saat kartu berobatku hilang.
Hasil EEG menyatakan bahwa aku tidak ada kelainan, hanya tension
headache ‘tekanan psikis’. Hal itu terjadi karena kejadian berat selama
dua tahun setelah berjilbab. Aku bertambah stress menjelang UMPTN. UMPTN
adalah penetuan, kalau tidak lulus maka aku makin tersisih bahkan dalam
keluarga besarku.
Pada saat libur lebaran, kami pulang kampung ke Solo. Ibu mencoba
mengobati dengan membawaku ke pengobatan tradisional, macam pijat
refleksi. Mungkin ibu kasihan melihatku jika datang pusing yang amat
sangat. Aku mengaduh di kamar sampai tetangga sebelah mendengar erangan
sakitku. Orangtua itu memengang kakiku, bertanya, “Keras amat sih mbak,
mendem apa?” Saya menangis nahan sakit. Ibu menjelaskan, “Iya, dia mau
pake jilbab, tapi nggak boleh cerita-cerita apalagi sama Om-nya yang
deket, walau tinggalnya jauh dari kami.” Bapak itu juga cerita bahwa
anaknya yang kuliah di UNS bahkan bercadar, dan tetap pada pendiriannya.
Terus ibu bilang, “Kalau kamu mau pake jilbab, terserah!” Terserah…
kata itu yang sebenarnya aku tunggu selama dua tahun dari orangtua yang
melahirkanku. Subhanallah ibu ridha. Tiga pekan aku di kampung,
penyakitku hilang. Aku mengikuti UMPTN dengan baik dan alhamdulillah aku
diterima di PTN favorit pada 1992.
Bila kukenang perjuangan kecilku, ternyata tidak sia-sia. Perlahan,
satu persatu adik-adikku ikut mengenakan jilbab. Kenikmatan ini memang
terlambat dibanding dengan kenikmatan di sekolah. Sekolah tak melarang
lagi setelah SK jilbab ’91 diputuskan dan disosialisasikan. Jumlah dari
kami dari 40-an bertambah menjadi 150-an jilbaber. Aktivitas mendandani
siswi untuk mengakhwat terus berlanjut walau bahkan setelah pelajaran
Agama usai. Hanya guru non-muslim yang menyindir, “Coba ya, dirapikan
pakaiannya.” Aktivitas Rohis juga semakin baik. Pak guru Agama ditunjuk
menjadi PJ Tafakur Alam SMA se-Jaksel. Rohis sendiri melakukan
konsolidasi dengan membina seluruh anggotanya secara kontinu dengan
bantuan alumni sampai mereka menjadi alumni. Pihak sekolah mendukung
dengan cara mewajibkan acara Rohis, seperti Studi Islam Ramadhan, bahkan
masuk rapor. “Tak lepas-lepasnya lidah ini mengucap tahmid pada-Mu, ya
Allah.”
“
buku Revolusi Jilbab karya Alwi Alatas dan Fifrida Desliyanti, bertepatan dengan Hari Hijab Internasional (4 September)
Semoga menjadi pelajaran kita semua
0 Komentar:
Posting Komentar
Kehormatan buat kami jika selesai baca Anda beri komentar atas Artikel ini....tapi, Mohon Maaf kawan Komentarnya yang sopan ya....he..he..he..