Pada
tahun 1952 – 1953, Yusuf Qaradhawi ditugaskan Mursyid Aam IM ke 2,
Syaikh Hasan Hudhaibi, untuk melakukan kunjungan dakwah ke negeri Syam
(Libanon, Syiria, dan Yordania). Salah satu kota yang dikunjunginya
adalah Kota Al-Khalil, sebuah kota bersejarah yang di dalamnya terdapat
kuburan Nabi Ibrahim Al-Khalil.
Ketika Yusuf Qaradhawi berkunjung ke kota tersebut, kebetulan saat
itu merupakan masa-masa awal kebangkitan Hizbut Tahrir (HT). Mereka
memiliki berbagai aktivitas dan pemikiran yang serba baru dan sangat
merepotkan aktivitas Ikhwan. Selain itu mereka ahli dalam berdebat,
sedangkan saat itu di kota tersebut tidak ada seorang pun tokoh Ikhwan
yang pandai berdebat.
Suatu ketika secara kebetulan Yusuf Qaradhawi berjumpa dengan
beberapa aktivis HT dan beliau mencoba menjawab pertanyaan-pertanyaan
yang selalu mereka hadapkan kepada para Ikhwan disana. Akhirnya
terjadilah dialog yang hangat antara Yusuf Qaradhawi dengan mereka,
sebagai berikut:
Aktivis HT: “Sebuah gerakan dakwah yang telah berjalan selama 23
tahun tetapi belum juga meraih kesuksesan, maka pasti terdapat kesalahan
pada metode yang digunakan dalam dakwah tersebut. Oleh sebab itu,
metode dakwah semacam demikian (IM) harus segera dirubah.”
Yusuf Qaradawi: “Apa argumentasi yang dapat membenarkan pernyataan seperti itu?”
Aktivis HT: “Sirah Nabawiyah.”
Yusuf Qaradhawi: “Dalam sirah Nabi sama sekali tidak ada dalil, hal
demikian (rentang waktu berdakwah) bukanlah suatu kelaziman (ketentuan).
Sebab, suatu tujuan terkadang bisa tercapai setelah berlangsungnya
waktu, singkat atau lama terkandung situasi-kondisi, sumber daya, serta
ada tidaknya hambatan di lapangan. Lalu bagaimana pendapat kalian
tentang dakwahnya Nabi Nuh ‘alaihissalam?”
Aktivis HT: “Beliau adalah salah seorang rasul yang termasuk Ulul Azmi.”
Yusuf Qaradhawi: “Berapa tahun Nabi Nuh menjalankan tugas dakwah?”
Aktivis HT: “950 tahun.”
Yusuf Qaradhawi: “Apakah dengan dakwah yang sangat lama tersebut beliau berhasil mewujudkan tujuan dakwah?”
Mendengar ini para aktivis HT itu terdiam.
Yusuf Qaradhawi: “Saya akan coba menjawab untuk kalian. Al-Qur’an sendiri mengisahkan;
Nuh berkata: “Ya Tuhanku Sesungguhnya aku telah menyeru kaumku malam
dan siang, maka seruanku itu hanyalah menambah mereka lari (dari
kebenaran). dan sesungguhnya setiap kali aku menyeru mereka (kepada
iman) agar Engkau mengampuni mereka, mereka memasukkan anak jari mereka
ke dalam telinganya dan menutupkan bajunya (kemukanya) dan mereka tetap
(mengingkari) dan menyombongkan diri dengan sangat.” (Q.S. Nuh: 5 – 7)
Allah Ta’ala juga berfirman, “…dan tidak beriman bersama dengan Nuh itu kecuali sedikit.” (Q.S. Hud: 40)
Bahkan, istri dan anak kandung beliau yang merupakan darah dagingnya
sendiri pun–seperti yang disebutkan dalam Al-Qur’an–tidak mau beriman
terhadap Nabi Nuh! Apakah dengan kenyataan seperti ini, kita akan
mengatakan bahwa metode dakwah Nabi Nuh salah? Apakah beliau ‘kurang
kerja keras’ dalam berdakwah? Tentu saja tidak, karena beliau telah
berdakwah sebagaimana mestinya. Sesungguhnya beliau hanya berkewajiban
untuk berdakwah sedangkan hidayah adalah urusan Allah. Beliau hanya
bertugas menyampaikan risalah dan Allah Ta’ala-lah yang
memeiliki pekerjaan itu. Beliau hanya berkewajiban menebarkan benih dan
menantikan buahnya dari Allah. Inilah tugas dan pekerjaan seorang da’i!”
Mendengar jawaban Yusuf Qaradhawi tersebut, para aktivis HT semuanya terdiam dan tidak ada yang berkata-kata lagi. (Bersambung)
Sumber: Perjalanan Hidupku, DR. Yusuf Al-Qaradawi, Pustaka Al-Kautsar, Hal. 456 – 458
0 Komentar:
Posting Komentar
Kehormatan buat kami jika selesai baca Anda beri komentar atas Artikel ini....tapi, Mohon Maaf kawan Komentarnya yang sopan ya....he..he..he..