Sudah cukup lama Bilal bin Rabah tak mengumandangkan adzan lagi, pasca meninggalnya orang yang ia cinta. Rasulullah SAW.
Hingga
suatu ketika Khalifah Abu Bakar meminta Bilal untuk adzan. Mungkin sang
Khalifah pun rindu, seperti halnya rindu para penduduk Madinah terhadap
lantunan merdu suara adzan Bilal.
Bilal pun menjawab “Jika dahulu
tuan memerdekakan saya untuk kepentingan tuan, maka saya bersedia
adzan. Tapi jika dahulu tuan memerdekakan saya karena Allah SWT, maka
izinkan saya melakukan apa yang saya mau.”
“Saya memerdekakan engkau karena Allah” jawab sang Khalifah.
Bilal
bin Rabah adalah mantan budak Bani Umayyah yang telah Abu Bakar
merdekakan. Tapi begitulah adanya cinta Bilal. Penolakannya terhadap
pinta Abu Bakar dan tidak berkumandangnya lagi lantunan adzan dari
lisannya pasca Rasul wafat, bukan karena ia tak cinta…
###
Suatu
malam Bilal bermimpi bersua dengan Rasulullah. Dalam mimpinya, Rasul
berkata padanya, “Wahai Bilal, lama sekali kita berpisah.aku rindu
padamu.”
Kata-kata Rasulullah begitu padat dan sarat makna; “Aku
rindu padamu”. Menggambarkan kerinduan yang begitu mendalam. Seakan tak
ada lagi kata yang tepat untuk melukiskan rasa rindu Rasul selain kata
rindu itu sendiri.
Bilal pun menjawab “Ya Rasulullah, saya juga rindu pada Tuan.”
Hati Bilal begitu bahagia tak terperi dapat memandang wajah teduh sang manusia agung yang sangat ia cinta.
Keesokan
pagi, Bilal bercerita pada salah seorang sahabatnya perihal mimpi
semalam. Dalam kurun waktu yang singkat, cerita itu telah menyebar ke
seantero penjuru Madinah. Madinah pun kembali berselimut duka, seolah
Rasul baru saja wafat. Setiap jiwa merasa rindu, ingin bernostalgia.
Mengingat kembali hari-hari ketika mereka bersama sang Rasul, orang yang
mereka cinta.
Para sahabat ingin obat kerinduan mereka menjadi
paripurna. Maka para sahabat pun bersepakat meminta Bilal untuk kembali
mengumandangkan adzan. Awalnya Bilal menolak. Tapi karena bersikerasnya
para sahabat meminta, akhirnya Bilal pun menyanggupinya.
Suara
adzan Bilal terdengar begitu syahdu. Seluruh penduduk di sepenjuru
Madinah pun khusyu’ berlinang air mata. Saat itu mereka membayangkan
seolah Rasul ada, membersamai mereka. Obat rindu mereka paripurna-lah
sudah…
Pasca peristiwa yang mengharu biru itu, Bilal memutuskan
untuk hijrah. Syiria adalah tempat yang ia pilih. Hijrahnya Bilal karena
ia ingin menjauh dari makam Rasul dengan keluar dari Madinah.
Bilal
adalah salah seorang sahabat yang telah Rasul jamin masuk surga. Tapi
begitulah adanya cinta Bilal. Hijrahnya ke Syiria untuk menjauh dari
makam Rasul bukan karena ia tak cinta…
###
Ada sejumput pelajaran yang berharga dari aksi cinta dalam kisah Bilal;
#Tak
berkumandangnya bait-bait nada cinta dari lisan kita pada dia yang
tercinta tapi belum jadi mahrom kita, bukan karena tak cinta… tapi
karena kita harus menjaga cinta, agar tak ada yang tergores duka. Agar
kita tak terluka…
Mungkin itu pula yang Bilal ingin lakukan,
hingga ia tak mau lagi mengumandangkan ‘dawai cinta’ (adzan) pasca
wafatnya orang yang ia cinta, Rasulullah. Hingga ia pun harus menahan
lisannya yang mungkin sebenarnya pun rindu mengumandangkan ‘dawai
cinta’. Karena ia tak ingin dirinya beserta penduduk Madinah tergores
duka karena rindu pada Baginda Rasul…
#Hijrahnya kita (menjauh)
dari tempat di mana orang yang kita cinta berada, bukan karena tak
cinta… Tapi karena kita harus menjaga cinta, agar kemurniannya terjaga.
Karena ketika kita berada pada tempat atau ranah yang sama, mungkin akan
terasa sangat sulit menjaga niat-niat kita. Khawatir jikalau niat kita
akan mudah terkontaminasi oleh riya, sum’ah atau penyakit hati lainnya.
Bilal
pun hijrah. Tapi hijrah Bilal pasti bukan karena tak cinta.., tapi
karena ia tak kuasa menahan rasa cinta yang berbuah rindu hendak jumpa,
yang semakin bergelayut manja pada relung jiwa. Rindu pada orang yang ia
cinta, Rasul yang mulia…
###
Inilah sepenggal aksi ‘tutup mulut’ dan ‘walkout’ Bilal, yang ia lakukan agar tak tergores duka karena buah cinta menghadirkan rindu yang menghujam jiwa…
Tentulah kisah cinta Bilal jauh beda dengan cinta kita… Kisahnya serupa, tentang cinta. Tapi tak sama..
Cinta
Bilal sungguh mulia, karena tertuju untuk insan mulia. Rasulullah SAW.
Sedang cinta kita tertuju pada seorang pria yang belum tentu jodoh kita.
Jika
saja cinta mulia Bilal dapat ia manajemen dengan baik agar tak
dirundung pilu, maka sudah sepatutnya cinta kita yang sangat semu dapat
kita manage dengan baik agar tetap ridha Allah yang diharap, yang
dituju…
Selamat belajar untuk ménage cinta menjadi aksi nyata untuk meraih Ridha-Nya, di sepenggal episode cinta…
0 Komentar:
Posting Komentar
Kehormatan buat kami jika selesai baca Anda beri komentar atas Artikel ini....tapi, Mohon Maaf kawan Komentarnya yang sopan ya....he..he..he..