Para
aktivis HT menyampaikan kritikan kepada Ikhwan, menurut mereka Ikhwan
terlalu disibukkan melakukan aktivitas yang sesungguhnya merupakan tugas
sebuah negara Islam, seperti pekerjaan sosial dan kemasyrakatan di
antaranya mendirikan klinik kesehatan dan rumah sakit serta rumah-rumah
panti asuhan, membantu masyarakat banyak serta menebar amal sosial
lainnya. Menurut mereka pekerjaan seperti ini dapat melenakan kaum
muslimin dari kewajiban mendirikan sebuah negara dan menegakkan
khilafah, karena ia akan terlalu banyak menyita waktu masyarakat untuk
melakukan pekerjaan-pekerjaan sosial daripada tugas berdakwah.
Yusuf Qaradhawi kemudian mengomentari kritikan mereka sebagai berikut.
Pertama, sesungguhnya melakukan kebajikan adalah salah satu
kewajiban dan tugas yang harus diemban setiap muslim, karena setiap
muslim diperintahkan untuk selalu melakukan kebajikan seperti halnya
mereka diperintah untuk melaksanakan ibadah (mahdhah) dan jihad. Allah SWT berfirman,
“Wahai orang-orang yang beriman, ruku’, sujud dan sembahlah Tuhan
kalian, serta kerjakanlah kebajikan agar kalian menjadi orang yang
beruntung.” (Q.S. Al-Haj: 77)
Kedua, sesungguhnya para fuqaha telah bersepakat bahwa
menghilangkan marabahaya dari setiap muslim seperti kelaparan,
kekurangan pakaian serta menghilangkan penyakit yang menimpa mereka,
merupakan sebuah kewajiban kolektif terhadap semua muslim. Jika seluruh
umat Islam tidak ada yang melakukannya, maka mereka semua berdosa. Dalam
salah satu hadits disebutkan,
“Beri makanlah mereka yang kelaparan dan bebaskanlah mereka yang tengah kesulitan.” (HR. Bukhari)
Ketiga, sesungguhnya menyebarkan dakwah tidak efektif
dilakukan hanya dengan perkataan atau hanya dengan banyak menulis
berbagai buku atau makalah belaka. tetapi bersamanya harus dilakukan
pula aktivitas-aktivitas kongkrit yang mampu meningkatkan kecintaan
terhadap Islam dan para juru dakwahnya di tengah-tengah manusia. teori
inilah yang banyak dipraktekkan oleh para misionaris. Mereka mendirikan
rumah sakit-rumah sakit, sekolah-sekolah, panti asuhan serta berbagai
klub yang mampu memikat masyarakat untuk bergabung dengan agama mereka.
Keempat, sesungguhnya dakwah memiliki beberapa target jangka
panjang dan jangka pendek. Jangka panjang diantaranya mendirikan negara
Islam. Sedang jangka pendek, misalnya turut andil memberikan
kontribusi–kendati secara parsial–dalam memperbaiki masyarakat. Tentu
saja tujuan-tujuan tersebut satu sama lain tidak bertentangan.
Ibaratnya, seperti orang yang hendak menanam kurma dan zaitun. Kedua
tanaman tersebut tidak akan pernah berbuah, kecuali setelah beberapa
tahun. Akan tetapi seorang petani yang cerdas, adalah mereka yang mampu
memanfaatkan lahan kosong yang terdapat di antara pohon kurma dan zaitun
tadi. Dimana mereka manfaatkan untuk menanam tanaman-tanaman yang cepat
tumbuh dapat dipetik hasilnya dalam tempo yang sangat singkat, seperti
sayur-mayur. Dengan cara demikian, mereka mampu mengoptimalkan tanah,
kerja kerasnya tidak sia-sia serta waktunya bermanfaat. Dimana mereka
tidak hanya duduk dan berpangku tangan menjadi seorang penganggur, hanya
karena menunggu pohon kurma dan zaitun berbuah dalam waktu yang sangat
lama.
Kelima, dalam setiap kelompok, kemampuan dan sumber daya
yang dimiliki biasanya sangat beragam dan berbeda-beda. Ada yang pakar
dalam bidang pemikiran, yang lainnya mahir dalam berdakwah, yang lain
tidak ahli dalam keduanya tapi sukses dalam berinteraksi sosial. Oleh
sebab itu, kenapa potensi yang sangat beragam ini tidak diikat agar
semuanya dapat dimanfaatkan untuk membantu masyarakat dan meringankan
beban mereka. Sedang Allah Taála akan menolong seseorang, selama ia mau menolong saudaranya.
Inilah ringkasan jawaban yang disampaikan Yusuf Qaradhawi kepada
rekan-rekan dari HT yang mendebatnya. Di antara mereka adalah Ustadz
As’ad Bayudh At-Tamimi, khatib Masjid Al-Aqsha yang beberapa waktu
kemudian mengundurkan diri dari jama’ah tersebut.
Semenjak perdebatan itu, Ikhwan di Al-Khalil mulai tercerahkan dan
mulai percaya diri. Salah seorang rekan Yusuf Qaradhawi, yang bernama
Fauzi Natsyah memberikan komentar terhadap perdebatan tersebut dengan
membacakan sebuah syair;
“Jika Musa telah datang dan melemparkan tongkatnya, maka gugurlah kekuatan sihir dan para penyihirnya.”
Setelah itu Yusuf Qaradhawi melanjutkan lawatannya ke Nablus, Jenin,
dan mengunjungi Al-Quds. Ia berkunjung pula ke Kamp Pengungsi Al-karamah
dan Uqbah Jabar. Setelah itu kembali ke Amman Yordania. Disana ia
terserang penyakit malaria dan terpaksa harus masuk RS Dr. Mulhis.
Kunjungan Syaikh Taqiyyudin An-Nabhani
Banyak sekali yang menjenguk Yusuf Qaradhawi di rumah sakit. Tapi
diantara kunjungan yang terpenting adalah kunjungan seorang syaikh yang
mengenakan jubah dan sorban. Syaikh tersebut banyak menanyakan kunjungan
Yusuf Qaradhawi ke Tepi Barat dan Timur, yang dijawab oleh Yusuf
Qaradhawi dengan ekspresi yang menggambarkan kepuasan dan rengkuhan
faedah. Mereka berdua juga berdiskusi ringan mengenai beberapa masalah
ilmiah.
Pada akhir kunjungan, syaikh tersebut memeluk Yusuf Qaradhawi dengan
sangat erat. ternyata beliau adalah seorang da’i yang bernama Taqiyyudin
An-nabhani.
“Kami sangat berterima kasih dan sangat bahagia dengan kunjungan
beliau. Bagi kami kunjungan beliau adalah sebuah kehormatan…” Ujar Yusuf
Qaradhawi mengenang. Beberapa murid Syaikh An-Nabhani nampaknya
memberitahu beliau mengenai keberadaan Yusuf Qaradhawi di sana dan
perdebatan yang pernah terjadi di antara mereka, sehingga syaikh sangat
penasaran ingin menjumpai dan mengenal Yusuf Qaradhawi secara pribadi.
Pertemuan Yusuf Qaradhawi dengan Syaikh Taqiyyudin An-Nabhani tersebut merupakan pertemuan pertama kali sekaligus yang terakhir.
Semoga Allah senantiasa melimpahkan rahmat dan berkah kepada dua
ulama kita ini. Semoga murid-murid mereka berdua dan kita semua menjadi
benteng-benteng kebenaran sampai akhir zaman. Amin…
Sumber: Perjalan Hidupku, DR. Yusuf Qaradhawi, Pustaka Al-Kautsar, Hal. 460 -464
0 Komentar:
Posting Komentar
Kehormatan buat kami jika selesai baca Anda beri komentar atas Artikel ini....tapi, Mohon Maaf kawan Komentarnya yang sopan ya....he..he..he..