يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنَّ مِنْ أَزْوَاجِكُمْ وَأَوْلادِكُمْ
عَدُوًّا لَّكُمْ فَاحْذَرُوهُمْ وَإِن تَعْفُوا وَتَصْفَحُوا وَتَغْفِرُوا
فَإِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَّحِيمٌ, إِنَّمَا أَمْوَالُكُمْ وَأَوْلادُكُمْ
فِتْنَةٌ وَاللَّهُ عِندَهُ أَجْرٌ عَظِيمٌ
“Hai orang-orang yang beriman,
sesungguhnya di antara istri-istrimu dan anak-anakmu ada yang menjadi
musuh bagimu, maka berhati-hatilah kamu terhadap mereka; dan jika kamu
memaafkan dan tidak memarahi serta mengampuni (mereka) maka sesungguhnya
Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Sesungguhnya hartamu dan
anak-anakmu hanyalah cobaan (bagimu), di sisi Allah-lah pahala yang
besar.” (QS. At-Taghabun: 14-15).
Saudaraku,
Tidak semua perkara yang secara kasat dapat mengalirkan kebahagiaan,
harus kita sesali dan tangisi kepergiaannya dari kehidupan kita. Jabatan
yang disandang. Sahabat yang menemani hari-hari kita. Berbagai
kesenangan yang kita kecap. Sehat yang akrab menyapa kita. Dan istri
yang mendampingi hidup kita. Dan yang seirama dengan itu.
Ketika hal tersebut di atas, tidak
menjadi inspirasi bagi kita untuk mengukir kebaikan, menabur kebajikan
dan menggandakan amal shalih. Tidak membantu kita menjadi sosok yang
shalih dan berbudi pekerti mulia. Dan bahkan menyebabkan kita terpuruk
dan terjatuh pada perbuatan dosa. Menyeret kita melakukan maksiat.
Menyebabkan kita terpeleset dari jalan yang diridhai-Nya. Maka
menyingkirnya hal tersebut dari hidup kita, justru lebih baik untuk
dunia dan akherat kita. Dan bahkan perlu kita syukuri.
Jabatan yang Mewariskan Kehinaan
Saudaraku,
Kekuasaan dan jabatan yang kita sandang, bisa menjadi jalan yang terbentang luas untuk mengukir prestasi kebaikan dan amal shalih dalam hidup kita. Menolong orang-orang yang lemah. Membantu mereka yang kesulitan. Mengentaskan kemiskinan dari tengah-tengah masyarakat. Mencegah perilaku zalim dan menolong manusia yang teraniaya. Mengajak umat beramar ma’ruf dan nahi munkar. Mengajak masyarakat menciptakan masyarakat madani yang bermartabat. Membuka kran-kran rezki bagi mereka yang bingung mencari pekerjaan dan yang senada dengan itu.
Kekuasaan dan jabatan yang kita sandang, bisa menjadi jalan yang terbentang luas untuk mengukir prestasi kebaikan dan amal shalih dalam hidup kita. Menolong orang-orang yang lemah. Membantu mereka yang kesulitan. Mengentaskan kemiskinan dari tengah-tengah masyarakat. Mencegah perilaku zalim dan menolong manusia yang teraniaya. Mengajak umat beramar ma’ruf dan nahi munkar. Mengajak masyarakat menciptakan masyarakat madani yang bermartabat. Membuka kran-kran rezki bagi mereka yang bingung mencari pekerjaan dan yang senada dengan itu.
Namun, jika kekuasaan dan jabatan justru
membuat kita lupa diri. Hanya berpikir untuk memperkaya diri. Melupakan
nasib dan penderitaan rakyat. Menyeret kita pada perilaku zalim
terhadap sesama. Menindas yang lemah. Menjaga jarak dengan masyarakat
luas. Menutup mata dan telinga dalam mensikapi dekadensi moral yang
melanda warga. Dan yang seirama dengan itu. Maka menjadi rakyat jelata.
Warga biasa. Memakai baju sederhana. Jauh lebih mulia daripada
menyandang kekuasan dan jabatan, tapi menjauhkan kita dari rahmat Allah
Subhanahu wa Ta’ala.
Harta Benda Yang Terbuang Untuk Maksiat
Saudaraku,
Harta benda merupakan karunia Ilahi yang perlu kita syukuri keberadaannya di sisi kita. Dengan harta, kita bisa membuka pintu gerbang surga, yang seluas langit dan bumi.
Harta benda merupakan karunia Ilahi yang perlu kita syukuri keberadaannya di sisi kita. Dengan harta, kita bisa membuka pintu gerbang surga, yang seluas langit dan bumi.
Banyak beban syari’at dan peluang
kebaikan yang bisa kita angkat dan isi hanya dengan harta benda milik
kita. Semisal; zakat, sedekah dan ibadah haji. Menyantuni anak-anak
yatim, lansia dan para janda yang menanggung beban hidup. Menyekolahkan
anak-anak yang tak mampu. Meringankan beban mereka yang menghibahkan
dirinya berjuang di jalan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Memberi modal bagi
orang-orang yang membutuhkan. Membuka peluang pekerjaan bagi para
pengangguran dan seterusnya.
Tapi, jika harta justru membuat kita
lupa dengan tugas-tugas kita sebagai seorang hamba dan khalifah-Nya di
permukaan bumi. Membuat kita sombong dan takabur terhadap sesama.
Membuka jalan menuju dosa dan maksiat. Mengecap kenikmatan yang
diharamkan. Menjadikan kita buta dan tuli dari peringatan Allah
Subhanahu wa Ta’ala.
Maka pada saat itu, ketiadaan harta dan
terlepasnya harta dari genggaman kita, lebih baik akibatnya. Baik di
dunia kini, maupun di akherat kelak.
Sahabat Yang Tak Memenuhi Hak-Hak Saudaranya
Saudaraku,
Siapa yang tak merindukan sahabat dalam merentasi perjalanan hidup di dunia fana ini. Yang menguatkan kita di saat lemah. Menunjuki jalan kita di saat khilaf. Mengingatkan kita di saat lupa. Membangunkan kita saat terlelap. Membangkitkan kita saat terjatuh. Membantu kita taat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Setia menemani kita dalam mendaki puncak ubudiyah. Menginspirasi kita untuk selalu berjuang di atas jalan Ilahi. Membantu kita sabar dalam menghadapi cobaan hidup. Memperkokoh kaki pijakan kita dalam menghadapi mihnah-Nya. Dan seterusnya.
Siapa yang tak merindukan sahabat dalam merentasi perjalanan hidup di dunia fana ini. Yang menguatkan kita di saat lemah. Menunjuki jalan kita di saat khilaf. Mengingatkan kita di saat lupa. Membangunkan kita saat terlelap. Membangkitkan kita saat terjatuh. Membantu kita taat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Setia menemani kita dalam mendaki puncak ubudiyah. Menginspirasi kita untuk selalu berjuang di atas jalan Ilahi. Membantu kita sabar dalam menghadapi cobaan hidup. Memperkokoh kaki pijakan kita dalam menghadapi mihnah-Nya. Dan seterusnya.
Namun, jika yang terjadi adalah
sebaliknya. Sahabat justru menyeret kita melanggar rambu-rambu-Nya.
Memberatkan beban dan mengganggu perjalanan kita menuju Allah Subhanahu
wa Ta’ala. Menghalang-halangi pendakian kita menuju puncak ubudiyah.
Membuka tabir aib dan kelemahan kita di hadapan orang lain. Mencemarkan
nama baik kita dan seterusnya.
Ia ibarat musuh dalam selimut. Menohok teman seiring. Menggunting dalam lipatan. Musang berbulu ayam dan seterusnya.
Hidup dengan sahabat seperti ini,
seumpama menggenggam bara api yang panas membakar kulit. Tiada
kebahagiaan di sana. Tiada keceriaan di wajah kita. Hidup terasa hampa
dan gersang.
Apa gunanya memiliki sahabat, jika ia
hadir hanya sekadar mengajak kita menuruni lembah neraka, dan bukan
membimbing kita menaiki tangga-tangga kebahagiaan dan kenikmatan surga
yang abadi?. Biarkan ia menghilang dari kehidupan kita.
Sehat Yang Tak Menggerakkan Raga Kita Untuk Menunaikan Kewajiban Dan Amal Shalih
Saudaraku,
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam pernah mewanti-wanti kita dengan sabdanya, ”Ada dua jenis nikmat yang banyak dilalaikan oleh manusia; yaitu nikmat sehat dan waktu senggang.” (HR. Bukhari).
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam pernah mewanti-wanti kita dengan sabdanya, ”Ada dua jenis nikmat yang banyak dilalaikan oleh manusia; yaitu nikmat sehat dan waktu senggang.” (HR. Bukhari).
Petuah nubuwah ini mengisyaratkan bahwa
manusia kerap kali tertipu dengan kesehatan yang akrab menyapa tubuh dan
membuatnya lalai, tidak menjadikannya sebagai peluang mengukir prestasi
ubudiyah di hadapan-Nya.
Faktanya, manusia akan dihadapkan pada
dua persoalan. Jika kita tak mempergunakan sehat untuk mengukir
kebaikan, maka kejahatan yang akan tercipta. Jika sehat tak menyibukkan
kita berbuat kebajikan, tentu dosa dan maksiat yang akan diperbuat. Jika
sehat tak menjadikan kita bergabung dengan kafilah para pejuang
kebenaran, maka kita akan menjadi pengibar panji kebathilan dan masuk ke
gerbong para pecundang.
Jika demikian, maka kelemahan fisik dan
warna penyakit yang menyapa tubuh, yang mampu menyadarkan kita pada
hakikat jatidiri kita sebagai abdi Ilahi dan tunduk dan patuh terhadap
aturan-Nya. Maka hal itu lebih baik akibatnya, untuk masa depan kita di
akherat sana, daripada sehat dan kekuatan fisik yang menjerumuskan kita.
Abu Dzar Al Ghifari ra pernah bertutur,
“Sesungguhnya kefakiran lebih aku sukai daripada kekayaan. Dan aku lebih
menyukai sakit menyapa tubuhku daripada sehat yang melalaikanku.”
Istri yang Menciptakan Neraka Jahim Dalam Keluarga
Saudaraku,
Tujuan mulia yang ingin kita raih dari pernikahan adalah terwujudnya ketenangan bathin dan kebahagiaan hidup. Hal ini tercermin dari firman Allah Subhanahu wa Ta’ala, “Di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istrimu dari jenismu sendiri supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya.” (QS. Ar-Rum: 21).
Tujuan mulia yang ingin kita raih dari pernikahan adalah terwujudnya ketenangan bathin dan kebahagiaan hidup. Hal ini tercermin dari firman Allah Subhanahu wa Ta’ala, “Di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istrimu dari jenismu sendiri supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya.” (QS. Ar-Rum: 21).
Istri adalah sayap kiri bagi sang suami.
Artinya seekor burung sekuat dan sehebat apapun ia, tak akan dapat
terbang ke angkasa dan melintasi awan dan samudera kehidupan tanpa
kepakan kedua sayapnya, sebelah kanan dan kiri.
Demikian pula dengan kita, kaum
laki-laki. Tanpa kehadiran kaum hawa (baca; istri), hidup kita terasa
sepi dan sunyi. Walaupun kita hidup di tengah dunia yang ramai.
Kebahagiaan sirna walau pun kita bergelimang harta. Hidup menjadi tak
menentu walaupun sumber rezki rutin menyapa kita setiap akhir bulan.
Bekerja tak semangat. Aktifitas terasa
hambar. Ibadah tak membekas di hati. Ibarat jasad tanpa ruh. Kenikmatan
dunia seolah-olah sirna tak berbekas. Hidup seperti tanpa warna, hitam
kelam tanpa corak. Gula yang manis terasa sepahit empedu. Luka-luka
kehidupan terasa perih menganga, pedih dan mendera tubuh.
Namun, ada kalanya kehadiran sang istri,
yang sudah barang tentu jauh dari profil mukminat, shalihat, taat,
qanitat dan yang senada dengan itu. Bisa membuat kehidupan kita semakin
gelap, kelam dan kelabu. Ia ibarat makan hati kita. Gerak-gerik dan
perilakunya tak ada yang membuat kita bahagia. Rapuh kepribadiannya dan
ringkih pijakan kakinya.
Teguran dan nasihat yang kita berikan,
tak mampu merubah sikapnya. Kita diamkan justru membuatnya leluasa
berbuat sesuka hatinya. Rambu-rambu Allah dan Rasul-Nya, juga tak
diindahkannya. Ibadah dan kewajibannya, dia abaikan.
Istri semacam ini akan menciptakan neraka sebelum neraka. Neraka di dunia sebelum neraka di sana.
Ketika tiada kita temukan jalan temu.
Ikatan pernikahan semakin sulit dipertahankan. Dan jika dipertahankan
justru akan memakan banyak korban. Ketika berbagai upaya tak membuahkan
hasil. Maka pada saat itu Islam membuka pintu perceraian, sebagai solusi
terbaik bagi keluarga yang berada dalam neraka. Baiti nari, rumahku
adalah neraka bagiku.
Biarkan ia pergi dari kehidupan kita.
Barangkali Allah Subhanahu wa Ta’ala akan menggantikan dia dengan wanita
terbaik untuk kita. Dan ia akan mendapatkan pasangan hidup yang
memiliki kwalitas kepribadian selevel dirinya.
Wallahu a’lam bishawab.
Ya Rabb, jadikanlah pakaian jabatan yang
kami kenakan menjadi pakaian taqwa. Karena ia adalah sebaik-baik
pakaian yang dikenakan oleh Hamba-Mu.
Ya Rabb, berikanlah petunjuk-Mu, agar
kami dapat menjadikan harta benda berada di tangan kami dan bukan di
hati kami. Serta jadikanlah ia sebagai mahar untuk menggapai surga-Mu.
Ya Rabb, jadikanlah sahabat-sahabat di
sekeliling kami menjadi sahabat yang membimbing kami menapaki
tangga-tangga surga. Dan menjadi pengingat bagi kami akan tipu daya
dunia yang akan menggelincirkan kami ke jurang neraka.
Ya Rabb, bimbinglah kami agar senantiasa
mensyukuri nikmat sehat yang Engkau karuniakan kepada kami. Dan
menjadikan kami lebih giat dan semangat untuk mendaki puncak ubudiyah
dan mengibarkan panji-panji-Mu.
Ya Rabb, jadikanlah istri kami penyejuk
mata hati kami. Membantu kami untuk selalu mentaati-Mu dan menjadi mitra
perjuangan di atas jalan yang Engkau ridhai. Amien ya Mujibas Saailiin.
0 Komentar:
Posting Komentar
Kehormatan buat kami jika selesai baca Anda beri komentar atas Artikel ini....tapi, Mohon Maaf kawan Komentarnya yang sopan ya....he..he..he..