Sebuah episode dalam dakwah…
Dakwah Islam di Mekah menghadapi jalan buntu. Setelah wafatnya Abu Thalib, Rasulullah saw praktis tidak lagi memiliki himayah
(perlindungan) di Mekah, bahkan nyawanya dalam kondisi terancam.
Sementara kaum muslimin terpencar di antara Habasyah dan Mekah.
Menghadapi kondisi seperti itu Rasulullah saw kemudian berusaha
mencari tempat baru sebagai pusat penyiaran dakwah. Tempat yang paling
dekat dengan Mekah adalah Thaif. Rasulullah saw kemudian pergi kesana
untuk mendatangi para pemuka Bani Tsaqif, diantaranya adalah tiga orang
bersaudara, yaitu: Abdu Yalil bin Amer, Mas’ud bin Amer, dan Habib bin
Amer. Kepada mereka, Rasulullah saw menjelaskan maksud kedatangannya
adalah untuk mencari pembelaan dalam menyebarkan Islam dan menghadapi
kaumnya yang telah menentangnya. Namun, permohonan ini ditolak
mentah-mentah. Bahkan mereka menghina dan menganiaya Nabi saw. Mereka
mengerahkan orang-orang bodoh dan budak-budak untuk mencela dan
meneriaki beliau. Sampai Nabi saw terkepung di antara mereka dan
terpaksa berlindung di kebun milik Utbah dan Syaibah bin Rabi’ah.
Di dalam riwayat lain disebutkan bahwa Rasulullah saw tinggal di
Thaif selama 10 hari, dan tidak ada satu pun pemuka Thaif yang tidak
didatangi oleh Nabi saw. Tetapi, mereka menjawab, “Pergilah kamu dari negeri kami.” Serta mengerahkan orang-orang untuk menyerbu Nabi saw.
Musa bin Uqbah menceritakan bahwa orang-orang melempari kedua kaki
Rasulullah saw dengan batu sehingga kedua alas kakinya berlumuran darah.
Apabila Nabi saw merasakan sakitnya lemparan batu, beliau bersimpuh di
tanah, kemudian orang-orang itu memegang kedua lengannya dan
menegakkannya. Apabila Nabi saw berjalan kembali mereka langsung
melemparinya lagi seraya terkekeh-kekeh. Sementara itu Zaid bin Haritsah
terus melindunginya sampai mengalami beberapa luka di kepalanya.[1]
Jaminan Keamanan dari Muth’am bin Adi
Ibnu Ishaq menyebutkan, ketika Rasulullah saw hendak masuk kembali ke
Mekah, beliau mengutus kurir kepada Akhnas bin Syuraiq agar bersedia
memberikan jaminan keamanan. Namun Akhnas tidak bersedia. Kemudian
Rasulullah saw meminta jaminan kepada Suhail bin Amer. Namun ia pun
tidak bersedia. Akhirnya Rasulullah saw meminta jaminan kepada Muth’am
bin Adi, dan ia bersedia memenuhi permintaan tersebut. Lalu ia memanggil
anak-anak dan kaumnya. Muth’am berkata kepada mereka, “Bawalah sejata dan bersiap-siaplah di sudut-sudut Ka’bah, karena aku telah memberikan jaminan keamanan kepada Muhammad.” Kemudian
Rasulullah saw bersama Zaid bin Haritsah masuk ke Mekah hingga sampai
di Masjidil Haram, lalu Muth’am bin Adi berdiri di atas tunggangannya
seraya berkata, “Wahai kaum Quraisy, sesungguhnya aku telah
memberikan jaminan keamanan kepada Muhammad, maka janganlah ada seorang
di antara kalian yang mengganggunya.” Rasulullah saw mengakhiri
thawafnya dengan mencium Hajar Aswad dan shalat dua rakaat, kemudian
beliau kembali ke rumahnya dengan dikawal oleh Muth’am bin Adi dan
anak-anaknya dengan senjata lengkap hingga beliaub masuk ke dalam rumah.
Siapakah Muth’am bin Adi?
Muth’am bin Adi adalah seorang musyrikin, pemimpin Bani Naufal bin
Abdi Manaf. Mereka adalah cabang ketiga dari empat cabang Bani Abdi
Manaf. Cabang Bani Abdi Manaf yang lainnya adalah Bani Hasyim, Bani Abdi
Syams, dan Bani Muthallib.
Di dalam sirah dicatat bahwa Muth’am bin Adi adalah orang yang pernah
berusaha serius berpihak kepada kaumnya membela agama nenek moyang,
ketika suatu saat ia mencela Abu Thalib karena tidak mau menerima
tawaran penukaran Muhammad b dengan Imarah bin al-Walid. Waktu itu
Muth’am berkata kepada Abu Thalib, “Demi Allah wahai Abu Thalib,
sesungguhnya kaummu telah bertindak adil terhadapmu. Mereka telah
berusaha maksimal untuk menghindarkan diri dari apa yang tidak engkau
sukai, tetapi kulihat engkau tidak mau menerima sama sekali.” Abu Thalib menjawab, “Demi
Allah, mereka tidak berlaku adil terhadapku, tetapi kamu telah sepakat
memperdaya diriku dan mengerahkan massa untuk melawan aku. Maka
perbuatlah sekehendakmu.”
Tetapi akhirnya Muth’am mengambil sikap mulia yang diabadikan sejarah. Ia memberikan ijarah (jaminan
keamanan) kepada Rasulullah saw. Menurut Syaikh Munir Muhammad
al-Ghadban, hal ini merupakan tamparan keras bagi Quraisy dan
menyinggung perasaannya. Tetapi Quraisy tidak ingin kehilangan Bani
Naufal, sebagaimana kehilangan Bani Muthallib dan Bani Hasyim yang
berpihak kepada barisan Muhammad b, sehingga mereka terpaksa mengambil
sikap diam.
Sebelum pemberian ijarah itu, Muth’am bin Adi juga menjadi
salah seorang tokoh Quraisy yang mendukung penghapusan boikot kepada
kaum muslimin, selain Hisyam bin Amer bin al-Harits, Zuhair bin Umayyah
bin al-Mughirah, dan Zam’ah bin al-Aswad. Di dalam sirah terungkap,
Muth’am inilah yang berusaha menyobek naskah pemboikotan yang tergantung
di Ka’bah.
Rasulullah saw sangat menghargai dan selalu mengenang jasa baik
Muth’am bin Adi, sehingga beliau pernah bersabda di Badar ketika kaum
muslimin berhasil menawan 70 orang pemuka Quraisy, “Seandainya Muth’am bin Adi masih hidup, niscaya mereka kuserahkan kepadanya sebagai hadiah.”
Ijarah Ibnu Daghnah untuk Abu Bakar
Peristiwa serupa pernah terjadi kepada Abu Bakar. Ketika kaum
muslimin menghadapi cobaan berat, Abu Bakar pernah berniat hijrah ke
Habasyah. Ketika sampai di Barkul Ghimad ia bertemu Ibnu Daghnah, kepala
suku Qarah. Ibnu Daghnah bertanya, “Hendak ke mana wahai Abu Bakar?” Abu Bakar menjawab, “Kaumku telah mengusirku maka aku ingin pergi di muka bumi dan menyembah Rabbku.” Ibnu Daghnah berkata, “Orang
seperti kamu wahai Abu Bakar tidak pantas keluar dan tidak pantas pula
diusir. Sesungguhnya kamu adalah orang yang suka membantu orang yang tak
berpunya, menolong orang yang sengsara, menghormati tamu, dan membela
orang yang berdiri di atas kebenaran. Karena itu, aku berikan
perlindungan kepadamu. Kembalilah dan sembahlah Rabbmu di negerimu.”
Kemudian Ibnu Daghnah mengumumkan ijarah (jaminan keamanan) bagi Abu Bakar kepada pemuka Quraisy. Mereka tidak menolak, namun mengajukan syarat, “Suruhlah
Abu Bakar untuk menyembah Rabbnya di rumahnya, shalat di dalamnya dan
membaca apa yang dia suka asalkan tidak menyakiti kita dan tidak secara
terang-terangan, karena kami khawatir para wanita dan anak-anak kita
akan terfitnah (terpengaruhi)”.
Dengan perlindungan itu Abu bakar tetap tinggal di Mekah. Abu Bakar
kemudian membangun masjid di halaman rumahnya. Di masjid ini Abu bakar
melaksanakan shalat dan membaca al-Qur’an, sehingga para wanita dan
anak-anak musyrikin tertarik dan memperhatikannya.
Apabila membaca al-Qur’an, Abu Bakar adalah seorang yang mudah
menangis. Hal ini membuat para pemuka Quraisy cemas sehingga mereka
memanggil Ibnu Daghnah dan berkata kepadanya, “Kami telah melindungi
Abu Bakar karena jaminanmu dengan syarat dia harus menyembah Rabbnya di
rumahnya. Tetapi dia sekarang telah melanggar syarat itu, dia telah
membangun sebuah masjid di halaman rumahnya lalu mendemonstrasikan
shalat dan mengeraskan bacaan al-Qur’an di dalamnya. Kami khawatir
anak-anak dan para wanita kami terfitnah olehnya, maka cegahlah dia.
Jika dia bersedia membatasi ibadahnya di rumahnya maka teruskanlah
perlindunganmu terhadapnya, tetapi jika dia tidak bersedia kecuali
melakukan ibadahnya secara demonstratif, maka mintalah
agar dia menarik jaminanmu! Karena kami tidak ingin mencederai
jaminanmu dan kami pun tidak menyetujui Abu bakar beribadah secara
demonstratif.”
Kemudian Ibnu Daghnah mendatangi Abu bakar dan berkata, “Engkau
tahu bahwa aku telah memberikan perlindungan kepadamu dengan persyaratan
yang ada, sekarang pilihlah engkau membatasi ibadahmu atau engkau
kembalikan perlindunganku, karena aku tidak suka orang-orang Arab
mendengar bahwa aku mencederai perjanjian yang aku berikan kepada
seseorang.” Abu Bakar menjawab, “Aku kembalikan perlindunganmu dan aku ridha dengan perlindungan Allah saja.” [2]
Bergaul dan berbuat baik di tengah-tengah masyarakat akan mendatangkan manfaat bagi perjuangan…
Mengapa Muth’am bin Adi mau memberikan ijarah kepada Nabi saw? Apa yang mendorong Ibnu Daghnah memberikan ijarah kepada Abu Bakar? Mengapa mereka melakukannya padahal mereka adalah golongan musyrik yang tidak mau menerima Islam?
Salah satu jawaban yang mungkin untuk pertanyaan di atas adalah: ‘Mereka bersedia memberikan ijarah karena telah mengenal dan mengakui integritas serta kebaikan-kebaikan yang ada pada Muhammad b dan Abu Bakar’.
Integritas dan kebaikan-kebaikan yang telah dilakukan Rasulullah saw
dan Abu Bakarlah nampaknya yang menanamkan simpati ke dalam hati Muth’am
bin Adi dan Ibnu Daghnah sehingga rela memberikan ijarah.
Perhatikanlah ucapan Ibnu Daghnah kepada Abu Bakar: “Orang
seperti kamu wahai Abu Bakar tidak pantas keluar dan tidak pantas pula
diusir. Sesungguhnya kamu adalah orang yang suka membantu orang yang tak
berpunya, menolong orang yang sengsara, menghormati tamu, dan membela
orang yang berdiri di atas kebenaran. Karena itu, aku berikan
perlindungan kepadamu. Kembalilah dan sembahlah Rabbmu di negerimu.”
Terlebih lagi Rasulullah saw, bukankah beliau sejak sebelum bi’tsah (masa kenabian) sudah digelari al-Amin oleh masyarakat Quraisy, yang artinya ‘orang yang dapat dipercaya’ atau ‘orang yang jujur’?
Kita tentu mengetahui sebuah riwayat masyhur ketika beliau b berkata kepada kerabat-kerabatnya dari Quraisy, “Jika
kalian kuberitahu bahwa di lembah sana terdapat pasukan berkuda hendak
menyerang kalian, apakah kalian akan mempercayaiku?”
Mereka menyahut, نَعَمْ، مَاجَرَبْنَا عَلَيْكَ اِلاَّ صِدْقًا, “Ya, kami belum pernah menyaksikan engkau kecuali selalu berada dalam kejujuran.” [3]
Selain dikenal sebagai al-Amin, Quraisy juga mengakui
keutamaan Muhammad b sebagai seorang yang cerdas, penyantun, dan berbudi
luhur, sehingga di usianya yang relatif masih muda, 20 tahun, sudah
diikutsertakan sebagai anggota Hilful Fudhul, sebuah perserikatan yang bertujuan memulihkan keamanan dan menegakkan keadilan bagi penduduk Mekah dan sekitarnya.[4]
Setelah diangkat menjadi nabi dan rasul, Nabi saw pernah bercerita tentang Hilful Fudhul,
لَقَدْ شَهِدْتُ فِى دَارِ عَبْدِ اللهِ بْنِ جُدعَانَ حِلْفًا مَا
اُحِبُّ أَنَّ لِى حُمْرَ النِّعَمِ. وَلَوِادَّعَى بِهِ فىِ الْاِسْلاَمِ
لَأَجَبْتُ
“Sesungguhnya aku telah menyaksikan di rumah Abdullah bin Jud’an
sebuah perjanjian/persekutuan, yang aku tidak suka menggantinya dengan
unta merah (guna menyalahi perjanjian/persekutuan itu). Seandainya aku
diajak kepada perjanjian/persekutuan itu di masa Islam, sungguh aku akan
menyambutnya.” [5]
Selain itu, saat berusia 35 tahun, Rasulullah saw pun ikut aktif
dalam perbaikan Ka’bah. Beliau ikut ‘kerja bakti’ memanggul batu di atas
pundaknya dengan beralaskan sehelai kain. Saat itu Rasulullah saw juga
memainkan peranan sangat penting dalam memecahkan masalah pelik ketika
terjadi pertengkaran sengit di antara kabilah tentang siapa yang paling
berhak mendapatkan kehormatan mengembalikan Hajar Aswad ke tempat
semula.Rasulullah saw kemudian berhasil memecahkan masalah itu dengan
sangat brilian.[6]
Jadi, sejak sebelum masa kenabian, Rasulullah saw dan Abu Bakar sudah
dikenal integritasnya di tengah-tengah masyarakat. Beliau b dikenal
sebagai orang yang selalu bergaul dan berbuat baik kepada sesama.
Khadijah pernah berkata tentang kebaikan-kebaikanRasulullah saw sesaat setelah wahyu Allah SWT pertama kali diturunkan,
وَاللهِ مَايُخْزِيْكَ اللهُ أَبَدًا، اِنَّكَ لَتَصِلُ الرَّحِمَ،
وَتَحْمِلُ الْكَلَّ وَتَكْسِبُ المَعْدُوْمَ، وَتُقْرِى الضَّيْفَ،
وَتُعِيْنُ عَلَى نَوَائِبِ الحَقِّ
“Demi Allah, Dia tidak akan pernah
mencelakaimu, karena engkau selalu menjalin kekeluargaan, dan menanggung
yang berat (orang kesusahan), dan membantu orang yang tak berpunya,
menghormati tamu, dan menolong orang-orang yang benar.”
Dari uraian di atas dapat ditarik sebuah hikmah, bahwa sebagai muslim, wabil khusus sebagai du’at ila-Llah, kita harus tampil di masyarakat, bergaul, eksis, dan selalu menebarkan kebaikan; memberikan kemanfaatan kepada siapa pun (ifadah). Setelah itu dengan sendirinya kebaikan itu akan kembali kepada kita.
Sebagai du’at, kita tidak boleh menghindarkan diri dari masyarakat;
tidak mau kenal, tidak berbaur, tidak mau memberi manfaat atau bahkan
malah membencinya dengan alasan masyarakat telah jauh dari ajaran Islam.
Rasulullah saw bersabda,
الْمُسْلِمُ إِذَا كَانَ مُخَالِطًا النَّاسَ وَيَصْبِرُ عَلَى
أَذَاهُمْ خَيْرٌ مِنْ الْمُسْلِمِ الَّذِي لَا يُخَالِطُ النَّاسَ وَلَا
يَصْبِرُ عَلَى أَذَاهُمْ
“Jika seorang muslim bergaul dengan orang lain dan bersabar atas gangguan mereka, adalah lebih baik daripada seorang muslim yang tidak bergaul dengan orang lain dan tidak bersabar atas gangguan mereka.” (Sunan Tirmidzi No. 2431 dan dishahihkan Albani).
Jika kita selalu berbuat baik kepada masyarakat, maka kita pun akan dapat memanfaatkan kebaikan yang ada pada mereka (istifadah). Kita harus menghargai kebaikan-kebaikan dari mana dan dari siapa pun ia berasal.
Perhatikanlah bagaimana Rasulullah saw dan Abu bakar mau meminta dan menerima ijarah dari
Muth’am bin Adi dan Ibnu Daghnah yang musyrik. Perhatikan pula
bagaimana Rasulullah saw menghargai kebaikan-kebaikan Raja Najasyi yang
beragama nasrani. Saat menyuruh para sahabat hijrah ke Habasyah, beliaub
bersabda,
لَوْ خَرَجْتُمْ اِلَى اَرْضِ الْحَبَشَّةَ فَاِنَّ بِهَا مَلِكًا لاَ
يُظْلَمُ عِنْدَهُ أَحَدٌ وَهِىَ اَرْضُ صِدْقٍ حَتَّى يَجْعَلَ اللهُ
لَكُمْ فَرَجًا مِمَّا اَنْتُمْ فِيْهِ
“Hendaknya kalian pergi ke Habasyah, karena di sana ada seorang
raja yang di dalam kekuasaannya tidak seorang pun boleh dizalimi, dan di sana adalah bumi kejujuran. Sampai Allah memberikan jalan keluar kepada kalian.”
Maka, sekeras apa pun perbedaan dan pertentangan antara
kitadengan‘musuh’ kita, tidak seharusnya menghapuskan ‘hubungan baik’,
sikap proporsional, danpenghargaan atas kebaikan-kebaikan mereka.
Sesungguhnya, Muth’am bin Adi dan Ibnu Daghnah adalah seorang kafir
yang berlainan aqidah dengan kaum muslimin sebagaimana orang Quraisy
lainnya. Abu Jahal dan Abu Lahab adalah juga kafir sebagaimana Muth’am
bin Adi dan Ibnu Daghnah. Tetapi, ada perbedaan besar antara kedua jenis
manusia kafir tersebut. Yang satu adalah golongan kafir yang suka damai
dan mendukung kaum muslimin, sedangkan yang lain adalah golongan kafir
yang memusuhi dan memerangi kaum muslimin.
Bermusyarakah dengan masyarakat untuk meraih cita-cita dakwah
Islam adalah agama yang adil dan penuh kasih sayang. Dalam kaitan
aturan pergaulan dengan sesama manusia, Islam telah menggariskan nilai
yang sangat proporsional dan bijaksana. Allah SWT berfirman,
“Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil
terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak
(pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai
orang-orang yang berlaku adil. Sesungguhnya Allah hanya melarang kamu
menjadikan sebagai kawanmu orang-orang yang memerangimu karena agama dan
mengusir kamu dari negerimu, dan membantu (orang lain) untuk
mengusirmu, dan barangsiapa menjadikan mereka sebagai kawan, maka mereka
itulah orang-orang yang zalim.” (Q.S. Al-Mumtahanah: 8-9)
Dalam ayat ini, Allah SWT menerangkan bahwa Dia tidak melarang
orang-orang yang beriman berbuat baik, mengadakan hubungan persaudaraan,
tolong-menolong dan bantu-membantu dengan orang-orang kafir selama
mereka tidak mempunyai niat menghancurkan Islam dan kaum muslimin, tidak
mengusir dari negeri-negeri mereka dan tidak pula berteman akrab dengan
orang-orang yang hendak mengusir itu.
Ayat ini merupakan ayat yang memberikan ketentuan umum dan prinsip
agama Islam dalam menjalin hubungan dengan orang-orang yang bukan Islam
dalam satu negara. Kaum muslimin diwajibkan bersikap baik dan bergaul
dengan orang-orang kafir, selama orang-orang kafir itu bersikap dan
ingin bergaul baik terutama dengan kaum muslimin. [7]
Jika terhadap seorang kafir yang mau berdamai kita dapat bersikap baik dan adil serta ber-istifadah (mengambil
manfaat), apalagi terhadap sesama muslim se-aqidah—yang bersyahadat
mengakui keesaan dan beribadah kepada Allah SWT serta mengakui Muhammad
sebagai Nabi dan Rasul-Nya, melaksanakan shalat, menunaikan zakat,
berpuasa, dan melaksanakan haji—yang kalaupun memiliki perbedaan atau
memiliki cacat dalam agamanya, besar kemungkinan perbedaannya tidak
sejauh perbedaan antara kita dengan seorang kafir.
Maka, marilah kita perluas pergaulan kita. Mari kita perluas
musyarakah kita. Ajaklah masyarakat di sekitar kita—pejabat, birokrat,
ulama, tokoh masyarakat, pemimpin ormas, pemimpin partai, tokoh
perempuan, budayawan, kalangan profesional, buruh, tani, nelayan, tokoh
lintas agama, dll—untuk bekerjasama dalam kebajikan.
“…dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan
takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran,
dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat
siksa-Nya.” (Q.S. Al-Maidah: 2)
Namun sikap seperti ini (baca: semangat bermusyarakah) jangan sampai
memadamkan kewaspadaan kita untuk selalu bersiap siaga menghadapi
ancaman dari musuh-musuh dakwah; jangan sampai jadi kebablasan sehingga melupakan komitmen kita pada aqidah, syariah, akhlak, serta cita-cita dakwah Islam.
“Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang
kamu sanggupi dan dari kuda-kuda yang ditambat untuk berperang (yang
dengan persiapan itu) kamu menggentarkan musuh Allah dan musuhmu dan
orang orang selain mereka yang kamu tidak mengetahuinya; sedang Allah
mengetahuinya. Apa saja yang kamu nafkahkan pada jalan Allah niscaya
akan dibalasi dengan cukup kepadamu dan kamu tidak akan dianiaya
(dirugikan).” (Q.S. Al-Anfal: 60)
Allahu Akbar wa li-Llahil hamd!
[1]Diringkas dari kutipan Syaikh Munir Muhammad al-Ghadban terhadap buku tahdzibu Sirah, hal. 97-98 dan Mukhtaru as-Sirah, hal. 123 dalam bukunya Manhaj Haraki, terjemahan Rabbani Press.
[2]Dikutip dari Manhaj Haraki, Syaikh Munir Muhammad al-Ghadban, dengan sedikit perubahan redaksi, bersumber dari Mukhtaru as-Sirah, Abdullah bin Muhammad bin Abdul Wahhab, hal. 87-88.
[3]Lihat: Shahih Bukhari, 2/702-743
[4]Deklarasi Hilful Fudhul diadakan di rumah Abdullah bin Jad’an
at-Taimi, yang dibicarakan dalam pertemuan itu berkaitan tidak adanya
kehakiman dan undang-undang yang melindungi kepentingan segenap penduduk
Mekah dan sekitarnya, terutama untuk melindungi kaum lemah dan golongan
lapisan bawah yang dianiaya oleh pihak yang kuat (lihat: Kelengkapan
Tarikh Muhammad Jilid 1, KH. Moenawar Chalil, hal. 78-79).
[5]Dikutip dari Sirah Ibnu Hisyam, dan ada pula hadits serupa itu yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam Musnadnya.
[6]Atas usulan Huzaifah bin Mughirah, perkara itu diserahkan kepada
seorang hakim, dan hakim yang dipilih adalah siapa saja yang keesokan
harinya lebih dulu masuk ke masjidil haram. Keesokan harinya orang
melihat bahwa Muhammadlah yang lebih dulu masuk ke masjidil Haram.
Beliau kemudian memecahkan perkara itu dengan seadil-adilnya. Beliau
meminta sehelai kain, kemudian kain itu dihamparkannya. Lalu Hajar Aswad
beliau letakkan di tengah-tengahnya. Kemudian para pembesar Quraisy
dimintanya supaya bersama-sama memegang tepi kain itu ke tempat Hajar
Aswad akan diletakkan. Setelah itu, Hajar Aswad itu diambil oleh Nabi
saw dan diletakkannya pada tempatnya semula (lihat: Kelengkapan Tarikh
Nabi Muhammad hal. 96-97 dan Fikih Sirah Al-Buthy hal. 65-66).
[7] Lihat: Al-Qur’anul Karim wa tafsiruhu
0 Komentar:
Posting Komentar
Kehormatan buat kami jika selesai baca Anda beri komentar atas Artikel ini....tapi, Mohon Maaf kawan Komentarnya yang sopan ya....he..he..he..