Ilustrasi. (inet) |
Nabi Musa As telah wafat. Tugas risalahnya telah purna dan
pengorbanannya untuk Bani Israil juga berakhir. Ajal yang ditetapkan
Allah tak dapat diundur atau diajukan. Meski malaikat maut yang akan
menjemputnya sempat mengadu kepada Allah ketika penyamarannya sebagai
manusia berujung reaksi keras Nabi Musa As yang mencolok matanya.
Malaikat mengadu pada Tuhannya, “Ya Rabb, Engkau utus aku kepada
hamba-Mu yang tak menginginkan kematian”.
Ternyata, penggalan
kisah tersebut hanya salah paham yang disebabkan minimnya informasi yang
sampai kepada Nabi Musa dan sang malaikat. Terbukti, ketika Allah
menitahkan kembali untuk menawarkan kepada Nabi Musa supaya beliau
meletakkan telapak tangannya di perut sapi liar (tsaur) dan
setiap bulu akan dihitung satu tahun kehidupan. Namun, Sang Nabi
menolak. Karena jika ajal sudah tiba, berarti perjumpaannya dengan
kekasihnya akan menjadi nyata. Nabi Musa memilih berdoa agar dimatikan
di tempat yang semakin dekat dengan tanah suci yang –dulu- pernah
dijanjikan kepada Bani Israil, Palestina[1].
Sepeninggal Musa As, risalah
kenabian tidaklah terhenti atau putus. Estafet tersebut berlanjut
dengan diutusnya para nabi setelahnya. Ada yang berpendapat, Yusya’lah
penerus pertama beliau, kemudian dilanjutkan oleh Samuel. Demikian tutur
sebagian pakar tafsir. Termasuk di antaranya Ibnu Katsir dalam Tafsîr al-Qur’ân al-Azhîm yang juga menuangkan pendapatnya dalam bukunya Qashash al-Anbiyâ’.
Rupanya,
penyesalan Bani Israil sangat mendalam karena penolakan mereka atas
tanah Palestina yang pernah dijanjikan Allah kepada mereka. Hukuman
Allah yang membuat mereka terkatung-katung pada akhirnya menjadikan
sebagian mereka tersadar akan kelalaian berjihad dan keengganan
berkorban untuk menjemput kemenangan yang sudah dipastikan Allah melalui
janji-Nya sebagaimana disampaikan Musa As.
Hal inilah
–mungkin- diantara sekian sebab yang menjadikan beberapa tokoh Bani
Israil memberanikan diri menghadap Sang Nabi Penerus[2]untuk
membicarakan mimpi-mimpi tanah suci dan perjuangan menuju ke sana.
Keluar dari kehinaan, kenistaan dan keterpurukan yang Allah timpakan
akibat maksiat dan penolakan berjihad di masa lampau.
“Apakah
kamu tidak memperhatikan pemuka-pemuka Bani Israil sesudah Nabi Musa,
yaitu ketika mereka berkata kepada seorang Nabi mereka, “Angkatlah untuk
kami seorang raja supaya kami berperang (di bawah pimpinannya) di jalan
Allah.” Nabi mereka menjawab, “Mungkin sekali jika kamu nanti
diwajibkan berperang, kamu tidak akan berperang.” Mereka menjawab,
“Mengapa kami tidak mau berperang di jalan Allah, padahal sesungguhnya
kami telah diusir dari anak-anak kami?” Maka tatkala perang itu
diwajibkan atas mereka, merekapun berpaling. Kecuali beberapa saja di
antara mereka. Dan Allah Maha Mengetahui siapa orang-orang yang zhalim.” (QS. al-Baqarah [2]: 246)
Cerita
singkat ini menggambarkan bahwa sifat pengecut tidak benar-benar hilang
di tengah-tengah mereka. Ada kepribadian ganda menyelinap di antara
rasa sesal sebagian mereka. Sebagian lagi sudah mulai nyaman dengan
kondisi yang sebenarnya pun tak bisa disebut ideal. Terkatung-katung di
tengah ketidakpastian dan berada di padang tîh dalam keadaan yang jauh dari nyaman.
Prediksi
Sang Nabi menjadi kenyataan. Kedatangan sebagian tokoh Bani Israil
tidaklah mewakili keseluruhan Bani Israil yang ada atau bahkan yang
telah insaf sekali pun. Nabi mereka menjawab, “Mungkin sekali jika kamu nanti diwajibkan berperang, kamu tidak akan berperang”. Dan benar! Meski kekhawatiran ini mereka jawab, “Mengapa kami tidak mau berperang di jalan Allah, padahal sesungguhnya kami telah diusir dari anak-anak kami?”. Nantinya, hanya sedikit saja di antara mereka yang memenuhi panggilan jihad dan perlawanan terhadap rezim jabbârin di Palestina, Jalut yang zhalim.
Pada
ayat berikutnya, Allah menuturkan proses turunnya pertolongan-Nya
dengan sangat meyakinkan dan alur yang menegangkan. Dimulai dari
pemilihan Thalut sebagai raja mereka.
“Nabi mereka mengatakan
kepada mereka, “Sesungguhnya Allah telah mengangkat Thalut menjadi
rajamu.” Mereka menjawab, “Bagaimana Thalut memerintah kami, padahal
kami lebih berhak mengendalikan pemerintahan daripadanya, sedang dia pun
tidak diberi kekayaan yang cukup banyak?” Nabi (mereka) berkata,
“Sesungguhnya Allah telah memilih rajamu dan menganugerahinya ilmu yang
luas dan tubuh yang perkasa.” Allah memberikan pemerintahan kepada siapa
yang dikehendaki-Nya. Dan Allah Maha Luas Pemberian-Nya lagi Maha
Mengetahui.” (QS. al-Baqarah [2]: 247)
Sang
Nabi Penerus menjelaskan bahwa Allah telah mengutus Thalut dan
mengangkatnya sebagai raja bagi Bani Israil. Para tokoh tersebut
terkejut. Sebagian di antara mereka mengira bahwa yang akan terpilih
adalah salah seorang di antara mereka yang dibahasakan al-Quran dengan al-Mala’. Tapi, nyatanya yang muncul adalah figur yang unpredictable. Sosok yang sama sekali tidak diperkirakan oleh mereka sebelumnya. Bahkan nantinya, muncul resistensi yang cukup kuat.
Mereka
menjawab, “Bagaimana Thalut memerintah kami, padahal kami lebih berhak
mengendalikan pemerintahan daripadanya, sedang diapun tidak diberi
kekayaan yang cukup banyak?”
Mereka mengira bahwa otoritas
kekuasaan dan pemerintahan akan berada di antara mereka. Tapi, ternyata
tidak. Penolakan mereka menurut ayat di atas berdasarkan dua hal:
- Kekuasaan dan pemerintahan lebih berhak dipegang oleh salah satu di antara mereka. Karena mereka merasa mewakili Bani Israi.l
- Thalut bukan figur yang menonjol kekayaan materinya yang mereka tuturkan dengan “al-Mâl”
Dua hal tersebut dijawab langsung oleh Sang Nabi, “Sesungguhnya Allah telah memilih rajamu dan menganugerahinya ilmu yang luas dan tubuh yang perkasa”.
Kelebihan Thalut:
- al-Mushthafâ (pilihan Allah).
- Diberikan keluasan ilmu.
- Dianugerahi fisik yang kuat dan perkasa.
Kemudian
standar materi sama sekali tidak dipakai oleh Allah. Di dalam ayat ini,
Allah menggunakan dua redaksi yang berbeda yang saling menguatkan
eksistensi kedua maknanya.
- Pertama, ba’atsa yang berarti mengutus/mengangkat (sebagai raja)
- Kedua, isthafâ yang berarti memilih (di antara akar katanya shafâ’– ishthifâ yang bermakna kemurnian)
Yang pertama menunjukkan al-Mab’uts
adalah otoritas pengangkatan sebagai raja berasal dari Allah. Dia
adalah anugerah Allah yang tak terbantahkan. Harus diterima dengan taat
dan penuh ketundukan. Raja Thalut bukan dipilih manusia. Tidak pula
direkomendasikan para malaikat. Bahkan tidak juga diusulkan oleh Nabi
mereka. Atau muncul dari kalangan yang menonjol di Bani Israil. Tapi
Thalut adalah pilihan Allah. Titah langit untuk bumi.
Yang kedua menunjukkan al-mushthafâ
sebagai proses pemilihan dan kemurnian yang dihasilkan dari proses
tersebut. Terbaik di antara orang-orang baik. Bagaikan madu yang
disarikan melalui lebah dari saripati bunga-bunga. Maka pengangkatan
Thalut oleh Allah sebagai raja tidak seperti menghadirkan makhluk lain –superpower-
di tengah-tengah Bani Israil. Tetapi, ia adalah manusia biasa dan
berada di tengah-tengah mereka. Allah justru ingin menegaskan proses
pemilihan tersebut berjalan natural dengan bimbingan-Nya. Dia adalah
yang terbaik di antara yang ada. Dan nantinya menjadi pembuka dan
sebagai pendahuluan untuk memunculkan figur lainnya yang lebih baik
lagi, yaitu Dawud muda yang kelak akan menggantikan kedudukannya sebagai
raja sekaligus Nabi bagi Bani Israil.
Sungguh lembut rekayasa
Allah dalam memunculkan tokoh dan menganugerahi pemimpin yang diperlukan
Bani Israil. Pemimpin yang diperlukan untuk mengeluarkan mereka dari
kepengecutan. Mengangkat mereka dari kemalasan dan keengganan berkorban.
Menarik kuat mereka dari kehinaan dan kenistaan akibat melanggar titah
Tuhan. Pemimpin yang berwawasan dan berbadan kuat.
Sang Nabi Penerus melanjutkan kompetensi dan karakteristik kepemimpinan Thalut.
“Dan
Nabi mereka mengatakan kepada mereka, “Sesungguhnya tanda ia akan
menjadi raja, ialah kembalinya Tabut kepadamu. Di dalamnya terdapat
ketenangan dari Tuhanmu dan sisa dari peninggalan keluarga Musa dan
keluarga Harun. Tabut itu dibawa malaikat. Sesungguhnya pada yang
demikian itu terdapat tanda bagimu, jika kamu orang yang beriman.” (QS. al-Baqarah [2]: 248)
Thalut
diyakini sebagai figur yang dijanjikan mampu mengembalikan Tabut yang
hilang dan dirampas dari mereka. Atau penafsiran kedua secara zhahir,
Allah akan mengembalikan Tabut tersebut melalui malaikat yang
membawanya.
Ibnu Katsir, juga para pakar tafsir klasik lainnya
memuat beberapa riwayat mengenai bentuk fisik Tabut tersebut. Sebagian
besar mendiskripsikannya berupa peti berbentuk kotak empat persegi
panjang. Tapi, penulis –sengaja- tidak menghadirkan riwayat-riwayat
tersebut atau analisa dari riwayat tersebut demi ringkasnya tadabbur.
Yang menarik justru kalimat setelah Tabut yang dituturkan dengan redaksi “فِيهِ سَكِينَةٌ مِّن رَّبِّكُمْ” (di dalamnya terdapat ketenangan dari Tuhanmu).
Seolah Allah ingin menekankan makna Tabut tersebut benar-benar menjadi
“pusaka” spirit dan pasokan mental bagi Bani Israil. Secara fisik, Tabut
memuat peninggalan Musa dan Harun ‘Alaihimassalam.
Banyak pendapat mengungkapkan apa sesungguhnya Tabut tersebut. Sebagian menyatakan berisi Alwâh, lembaran-lembaran Kitab Taurat. Tetapi kata sakinah”
lebih berdimensi ruh dan sipiritual. Bahwa Tabut tersebut adalah salah
satu sumber spirit bagi Bani Israil. Ia ibarat sang saka merah putih di
era perlawanan gerilyawan dan pejuang Indonesia melawan penjajahan
Belanda atau Jepang.
Ia bagaikan seonggok besi tua berwujud becak
di salah satu sudut rumah mewah di pelataran rumah megah seorang kaya
raya. Ketika sang pemilik rumah bepergian, sang anak mencoba merapikan
halaman dan menjual besi tua tersebut dengan tujuan merapikan taman dan
pekarangan rumah. Ketika sang ayah kembali, ia terkejut karena besi tua
tersebut telah hilang. Lalu ia memerintahkan anaknya untuk mencari becak
tua sampai berhasil mendapatkannya kembali.
Sang anak pun
terheran-heran, mengapa besi tua itu sangat berarti bagi ayahnya yang
sangat kaya raya. Sang ayah dengan penuh penekanan bertutur bahwa ia
dulunya adalah seorang tukang becak. Ia ingin menjelmakan becak tersebut
sebagai Tabut bagi anak-anaknya yang akan memutar kembali kisah
perjuangannya. Sebagai teladan dan buah tutur kekuasaan Allah
terhadapnya.
Kira-kira demikianlah visualisasi Tabut. Agar
terhadirkan di tengah Bani Israil kegigihan perjuangan Musa yang harus
rela jauh dari keluarga aslinya. Besar di tengah rezim kezhaliman. Lalu
melawan kezhaliman yang sumbernya juga adalah ayah angkatnya, Fir’aun.
Setelah itu pun, Musa dengan sabarnya menyertai kaumnya dengan berbagai
permintaan yang melampaui batas. Musa menyertai mereka saat Allah
menghukum mereka di padang Tih.
Umat Islam pun saat ini bisa
menghadirkan Tabut-tabut baru yang menjadi sarana datangnya sakinah.
Tabut peninggalan Nabi Muhammad Saw itu bisa berupa mushaf-mushaf yang
ada dalam genggaman kita. Dengan melihat mushaf yang kita pegang,
memutar memori kita pada perjuangan Nabi Muhammad Saw saat menerima dan
menyampaikan risalah kenabian-Nya.
Bagi sepasang suami istri,
Tabut keluarga mereka bisa berupa cincin pernikahan yang disimpan. Saat
usia pernikahan emas mereka, kotak kecil berisi cincin tersebut akan
memutar kembali memori indah saat-saat mereka memadu cinta dan harmoni
dalam ikatan suci yang dicatat malaikat-Nya.
Lalu, Allah mengisahkan kepemimpinan Thalut.
Maka
tatkala Thalut keluar membawa tentaranya, ia berkata, “Sesungguhnya
Allah akan menguji kamu dengan suatu sungai. Maka siapa di antara kamu
meminum airnya; bukanlah ia pengikutku. Dan barangsiapa tiada
meminumnya, kecuali menceduk seceduk tangan, maka dia adalah
pengikutku.” Kemudian mereka meminumnya kecuali beberapa orang di antara
mereka. Maka tatkala Thalut dan orang-orang yang beriman bersama dia
telah menyeberangi sungai itu, orang-orang yang telah minum berkata,
“Tak ada kesanggupan kami pada hari ini untuk melawan Jalut dan
tentaranya.” Orang-orang yang meyakini bahwa mereka akan menemui Allah
berkata, “Berapa banyak terjadi golongan yang sedikit dapat mengalahkan
golongan yang banyak dengan izin Allah. Dan Allah beserta orang-orang
yang sabar.” (QS. al-Baqarah [2]: 249)
Thalut
meninggalkan Bani Israil yang enggan memenuhi panggilan jihad dan
kewajiban yang Allah turunkan untuk mereka. Thalut pun penuh percaya
diri dan menyampaikan ujian atau seleksi pertama berupa sungai. Thalut
mengatakan, “Maka siapa di antara kamu meminum airnya; bukanlah ia
pengikutku. Dan barangsiapa tiada meminumnya, kecuali mengambil seciduk
tangan, maka dia adalah pengikutku.” Kenyataan mengungkapkan bahwa mereka yang lolos ujian ini sangat sedikit.
Imam
Qatadah menyebutkan jumlah mereka hanya empat ribu dari enam puluh atau
tujuh puluh ribu pasukan. Dari pasukan yang sedikit itu muncul keraguan
sebagian di antara mereka, “Tak ada kesanggupan kami pada hari ini untuk melawan Jalut dan tentaranya.” Tapi sebagian mereka menguatkan lagi, mengukuhkan kembali iman dan keyakinan mereka, “Berapa
banyak terjadi golongan yang sedikit dapat mengalahkan golongan yang
banyak dengan izin Allah. Dan Allah beserta orang-orang yang sabar”.
Golongan kecil itu disebut Allah sebagai “Orang-orang yang meyakini bahwa mereka akan menemui Allah.”
Orang yang berkeyakinan akan berjumpa dengan Allah bukanlah mereka yang
frustasi dengan kehidupan. Mereka tidaklah orang yang menyia-nyiakan
anugerah kehidupan ini. Justru, mereka menegaskan pentingnya usaha untuk
menjemput kemenangan yang dijanjikan Allah:
- Mengesampingkan apapun hasil perjuangan mereka. Jika menang di dunia, maka tugas mereka akan terus berlanjut untuk merekayasa kebaikan supaya tersebar dengan luas dan mudah. Jika mereka gugur sebagai syahid, maka takkan sia-sia. Justru Allah akan menanti mereka dengan derajat dan kedudukan mulia di sisi-Nya.
- Dalam perjuangan kuantitas memang perlu. Tapi, di atas semuanya yang menentukan adalah Allah. Maka saat ini, yang lebih diperlukan adalah kualitas dan meledakkan potensi kemenangan melalui ikhtiar dan usaha maksimal.
Alur cerita ini seolah menjadi tenang dengan penegasan, “Dan Allah beserta orang-orang yang sabar.” Tapi cerita berlanjut dengan ketegangan berikutnya.
“Tatkala
Jalut dan tentaranya telah nampak oleh mereka, mereka pun (Thalut dan
tentaranya) berdoa, “Ya Tuhan kami, tuangkanlah kesabaran atas diri
kami, dan kokohkanlah pendirian kami dan tolonglah kami terhadap
orang-orang kafir.” (QS. al-Baqarah [2]: 250)
Doa
tulus ini muncul dari kekuatan iman di saat kondisi realitas seolah
mereka akan segera dikalahkan Jalut dengan segala mitos dan kuantitas
tentaranya ataupun perlengkapan fisik mereka yang melebihi Bani Israil
yang dibawa Thalut. Maka mereka pun dengan segala ketundukan memohon
kesabaran, kekuatan pertahanan dan pertolongan atas orang-orang kafir.
“Mereka
(tentara Thalut) mengalahkan tentara Jalut dengan izin Allah dan Daud
membunuh Jalut. Kemudian Allah memberikan kepadanya (Daud) pemerintahan
dan hikmah (sesudah meninggalnya Thalut) dan mengajarkan kepadanya apa
yang dikehendaki-Nya. Seandainya Allah tidak menolak (keganasan)
sebagian umat manusia dengan sebagian yang lain, pasti rusaklah bumi
ini. Tetapi Allah mempunyai karunia (yang dicurahkan) atas semesta alam.” (QS. al-Baqarah [2]: 251)
Dengan
segala keangkuhan dan kesombongan, Jalut menantang Bani Israil untuk
mengirim orang terbaiknya, tanding dengannya. Jalut pun menjanjikan
pasukan dan kerajaan bagi siapa saja yang bisa mengalahkannya.
Jalut
terpedaya oleh mitos yang dibuat-buat para penjilatnya. Benar, ia
perkasa dan kuat dengan prestasi-prestasinya. Tetapi, ia lupa bahwa saat
ia merendahkan orang lain dan menganggap dirinya paling kuasa,
sejatinya pelan-pelan ia telah menggali kuburnya. Ia terlalu silau
dengan popularitasnya. Ia terbius oleh angin puji-puji yang tak
sekalipun menyinggung kekurangannya. Tak ada yang berani mengkritiknya.
Tak ada yang berani melawan titahnya. Ia terbiasa mendengar paduan kata
ketundukan. Telinganya selalu mendengar ketundukan padanya tanpa tahu
apa motif ketundukan tersebut; loyalitas atau kemunafikan.
Tanpa
diduga, seorang remaja muncul dari barisan Bani Israil yang barangkali
berpikir berkali-kali untuk maju menandingi Jalut dengan segala
mitosnya. Dawud muda maju dengan sebuah ketapel mungil di tangannya.
Ribuan
pasang mata memandanginya tak percaya. Bocah inikah yang maju? Waraskah
akal sehatnya? Ia akan menyerahkan nyawanya di tangan sang zhalim
durjana. Sejenak suasana hening penuh tanda tanya.
Mari,
visualisasikan kesombongan Jalut dengan tawa terbahak-bahak yang meledak
sekaligus meremehkan Dawud kecil yang menurutnya bukan tandingannya.
Bahkan jagoan mereka pun diragukan bisa menandingi Jalut. Apalagi Dawud.
Apalagi bocah kecil itu tak bersenjata kecuali ketapel kecil di
tangannya.
Tawa sombong dan angkuh itu segera terhenti. Kembali
semua mata memandang. Mitos yang dibesar-besarkan itu tersungkur oleh
sebiji batu kecil yang diayunkan Dawud muda.
Sang Zhalim itu lupa
akhir kisah para pendahulunya. Namrud si angkuh terbunuh dengan seekor
lalat yang Allah kirim memasuki tenggorokannya melalui hidungnya.
Fir’aun si sombong lain yang mengaku tuhan tak berdaya
diombang-ambingkan ombak Laut Merah. Ia mati tenggelam. Keduanya mati
terhina. Bukan mati di tangan pendekar atau orang hebat. Tetapi mereka
mati dengan cara terhinakan.
”Kemudian Allah memberikan
kepadanya (Daud) pemerintahan dan hikmah (sesudah meninggalnya Thalut)
dan mengajarkan kepadanya apa yang dikehendaki-Nya.”
Dawud
muda pun tidak instan menjelma raja. Tapi Allah menempanya untuk
dijadikan pewaris kerajaan Thalut setelah ia wafat. Benar, setelah
mengalahkan Jalut, ia menjelma sebagai pahlawan yang Allah angkat dari
posisi sebelumnya yang tak dikenal kaumnya. Dawud muda sang penggembala
kambing, seorang pemuda biasa.
Yang menarik dari redaksi ayat di atas adalah, “فَهَزَمُوهُم بِإِذْنِ اللَّهِ” (mereka mengalahkan tentara Jalut dengan izin Allah).
Dan bisa jadi, kekalahan tersebut tanpa didahului pertumpahan darah.
Karena Allah segera menjelaskan proses kekalahan mereka yaitu dengan
“وَقَتَلَ دَاوُودُ جَالُوتَ” (dan Daud membunuh Jalut). Dawud membunuhnya dalam tanding dengan Jalut yang menantang Bani Israil dengan penuh keangkuhan dan kesombongan.
Allah
meruntuhkan simbol kezhaliman dan keangkuhan tersebut. Allah memupuskan
semua mitos yang dipalsukan. Dengan satu kematian saja, Jalut.
Meskipun, tidak menutup kemungkinan proses itu terjadi di tengah kecamuk
perang dan korban jiwa yang berjatuhan.
Tetapi penulis memilih
penafsiran pertama. Bahwa Allah cukup mematikan simbol dan ruh
kezhaliman tersebut melalui seorang anak muda dengan senjata seadanya.
Itulah kekalahan yang baik. Kemenangan yang berkah. Kemenangan dengan
mengalahkan yang bukan berarti membunuh dan menghancurkan. Kemenangan
yang diraih dengan sportifitas yang tinggi meski diremehkan lawan.
Kemenangan yang diraih dengan keberanian yang penuh optimisme meski
sangat tidak diunggulkan. Kemenangan yang berpijak pada keyakinan akan
janji dari Sang Pemberi kemenangan.
Dan itulah sunnah
Allah. Akan selalu Dia kirimkan tokoh protagonis yang akan hentikan
kezhaliman, pupuskan mimpi angkuh sang durjana, robohkan mitos yang
dibesar-besarkan dengan omong kosong dan rekayasa yang
didengung-dengungkan untuk menakut-nakuti hamba Allah yang menebar
kebaikan. Karena jika tidak demikian, kerusakan akan meluas. Dan Allah
tidak menyukai kerusakan di bumi-Nya.
“Itu adalah ayat-ayat
dari Allah, Kami bacakan kepadamu dengan hak (benar) dan sesungguhnya
kamu benar-benar salah seorang di antara nabi-nabi yang diutus.”(QS. al-Baqarah [2]: 252)
Kisah
di atas bukanlah dongeng atau cerita fiksi buatan manusia. Tetapi kisah
nyata yang Allah berikan kepada Nabi Muhammad Saw sebagai tanda
kerasulan dan membuktikan kekuasaan Allah yang tiada batas. Beliau
sampaikan kisah tersebut kepada kita untuk dipercayai sebagai spirit
menjemput kemenangan yang dijanjikan Allah, di depan mata. Kemenangan
itu dekat. Raihlah dengan ikhtiar dan taat.
Catatan Kaki:
[1] Lihat
hadits Bukhari nomer 3407, riwayat Abu Hurairah. Imam Muslim dengan
riwayat mirip dari Abu Hurairah (nomer 2372). Hadits yang sejenis juga
diriwayatkan oleh Imam Ahmad bin Hanbal dalam Musnadnya.
[2] Menurut
kebanyakan pakar tafsir nabi yang dimaksud di sini adalah Samuel bin
Bali bin Alqamah. (lihat dalam Tafsir Ibnu Katsir dan Qashash al-Anbiya’
Ibnu Katsir)
0 Komentar:
Posting Komentar
Kehormatan buat kami jika selesai baca Anda beri komentar atas Artikel ini....tapi, Mohon Maaf kawan Komentarnya yang sopan ya....he..he..he..