Orang-orang yang beriman dan berhijrah serta berjihad di jalan Allah
dengan harta benda dan diri mereka, adalah lebih tinggi derajatnya di
sisi Allah, dan itulah orang-orang yang mendapat kemenangan.” (QS at-Taubah [9]: 20)
Pengertian hijrah adalah muhafazhan ‘aladdin (memelihara
agama). Rasulullah saw, dan para sahabat di masa lalu pernah melakukan
hijrah ketika Mekkah tak lagi menjanjikan kemaslahatan. Dan ketika hidup
tak punya pilihan lain kecuali meninggalkan kota tersebut. Rasulullah
dan para sahabat melakukan ‘eksodus’ keluar Mekkah semata-mata adalah
untuk menyelamatkan diri dan juga aqidah islam yang sudah tertanam kuat
dalam keyakinan. Sementara para sahabat yang memang hidup dengan kaumnya
yang tidak mengganggu baik keselamatan jiwa maupun aqidahnya, memilih
diam di tempat. Hijrah di masa lalu yang pernah dilakukan oleh
Rasulullah dan para sahabat adalah meninggalkan negeri tersebut demi
menyelamatkan aqidah Islam (selain tentumya atas perintah Allah Swt.).
Persoalannnya sekarang, apakah hijrah masih tetap berlaku? Jawabannya masih. Karena definisi dari hijrah adalah muhafazhan ‘aladdin
(memelihara agama). Di tengah maraknya budaya dan gaya hidup yang
amburadul, tentu saja dituntut kejelian kita dalam mensikapinya. Di
negeri ini memang kita dibiarkan bebas untuk beragama atau tidak, tidak
pernah diganggu dan tidak ada ancaman ketika kita menjalankan ajaran
agama kita. Persoalan yang kemudian muncul adalah kita dihadapkan pada
permasalahan penyesatan aqidah. Bagaimana tidak, di satu sisi kita bebas
menjalankan ajaran agama kita, tapi bersamaan dengan itu marak pula
sarana-sarana yang bisa menyesatkan aqidah kita. Diskotik, bursa seks,
minuman keras, narkoba, perjudian dan bentuk penyesatan aqidah lainnya
marak dan nyaris tak tersentuh hukum. Dalam kondisi seperti ini, tentu
bila kita tak mampu untuk membendungnya, tak ada pilihan lain kecuali
hijrah.
Untuk kasus seperti ini, tentu hijrah yang kita lakukan adalah
berusaha untuk tidak bersentuhan dengan tempat atau perbuatan tersebut.
Bila itu terjadi di tempat kita bekerja, misalnya, dan kita mampu untuk
membendung dan mengubahnya, tentu yang utama adalah tetap tinggal di
tempat tersebut. Tetapi bila yang terjadi adalah kebalikannya, maka
sudah sepantasnya kita berhijrah dan meninggalkan tempat atau aktivitas
yang bisa merusak aqidah kita.
Perbuatan-perbuatan yang bisa merusak aqidah harus segera kita
tinggalkan, menjauhi teman atau lingkungan yang bisa membawa kita ke
dalam penyesatan aqidah adalah langkah bijaksana. Dan, bila msalah itu
berkaitan dengan yang kita perbuat, maka ketika kita sadar dengan
kesalahan yang selama ini kita lakukan, langkah selanjutnya kita harus
berani mengambil keputusan untuk mengubah diri.
Dalam berhijrah (dari kegelapan menuju cahaya), juga dituntut
pengorbanan kita. Rasulullah dan para sahabat ketika terpaksa harus
meninggalkan Mekkah, mereka meninggalkan orang-orang yang dicintai,
rumah dan harta benda lainnya demi menyelamatkan aqidahnya.
Dalam
masalah keyakinan ini pun, Sa’ad bin Abi Waqash dengan berat hati harus
berpisah dengan ibunya yang tetap menginginkan dia kembali ke ajaran
syirik nenek moyangnya. Begitu pula Mushab bin Umair yang ikhlas
meninggalkan kemewahan hidup sebagai anak bangsawan untuk menyelamatkan
aqidahnya ketika orangtuanya tetap menginginkan Mushab dalam kesyirikan.
Tentu saja, pengorbanan para sahabat dalam berhijrah untuk
menyelamatkan aqidahnya tidak akan sia-sia. Tetapi sebaliknya, orang
yang lebih rela menanggalkan aqidahnya ketimbang mengorbankan harta
benda dan apa saja yang dimiliki dan dicintainya untuk hijrah dari
kegelapan menuju cahaya Islam, diancam oleh Allah dalam sebuah
firman-Nya: “Orang-orang itu tempatnya di neraka jahanam, dan jahanam itu seburuk-buruknya tempat kembali.” (QS an-Nisaa [4]: 97)
Salam,
O. Solihin
0 Komentar:
Posting Komentar
Kehormatan buat kami jika selesai baca Anda beri komentar atas Artikel ini....tapi, Mohon Maaf kawan Komentarnya yang sopan ya....he..he..he..