Pengalaman seorang akhwat ketika masih SMA, waktu itu ada pertemuan
antara pihak sekolah dengan pengurus musholla. Pihak sekolah ingin
bertemu dengan semua pengurus, laki-laki maupun wanita. Maka itulah kali
pertama para akhwat menyebrangi hijab di Musholla, yang membatasi ruang
laki-laki dengan wanita. Berada dalam satu ruangan, dengan posisi
berhadap-hadapan walau berjarak cukup jauh, itu situasi yang langka.
Karuan saja rasa kikuk menyerbu saat itu. Para akhwt duduku kaku
tertunduk, kalaupun bersuara hanya berbisik. Dan ketika pertemuan
berakhir, rasanya baru bisa bernapas lega.
Pengalaman lain, ketika seorang akhwat sedang berjalan bersama akhwat yang lain, kebetulan berpapasan dengan dua orang ikhwan kakak kelas. Mungkin ada keperluan dengan memberi salam. Salam itu dijawab akhwatnya tapi sejurus kemudian yang terjadi adalah saling dorong, siapa yang mau bicara dengan ikhwan itu. Tak ada yang mengalah. Alhasil, akhwat berdua itu malah bergegas pergi sambil mencari-cari akhwat yang seangkatan dengan ikhwan tadi. Terlau…?!
Tapi zaman sudah berubah, jangankan berada dalam satu ruangan dengan posisi berhadap-hadapan, makan bersama di satu meja pun, OK-OK saja. atau berada dalam satu mobil dan bercanda ria sepanjang perjalanan, itu sudah biasa. Bahkan, dalam forum yang seharusnya formal seperti rapat sekalipun, atmosfir saling ‘mencela’ dan bergurau antara ikhwan dan akhwat tidak sulit ditemui.
Sempat terpikir, mungkin perubahan yang terjadi semata-mata bentuk penyesuaian dakwah yang semakin terbuka. Namun jika sekian fenomena menyuarak: ikhwan dan akhwat berlama-lama ngobrol di telepon (padahal yang membayar tagihan orang tua), ada yang memasang foto sesama aktifis kampus pujaannya di meja belajar, ikhwan dan akhwat sudah berani ‘jalan bareng’, padahal mereka tak tahu apa-apa tentang taqdirullah. Akhwat yang mengalami depresi berat karena ‘ditinggal’ menikah oleh seorang ikhwan, bahkan ikhwan dan akhwat berhubungan terlalu jauh sampai berzina… itu semua bukan kebetulan kan?!
Ilustrasi pertama dan kedua, sebetulnya sama-sama tak layak ditiru. Sikap yang terlalu kakum justru menghambat komunikasi. Namun gaya komunikasi yang terlalu cair tentu saja beresiko membuka celah kemaksiatan. Lalu tidakkah mungkin bahwa ternyata kedua ‘kekeliruan’ tdai seharusnya punya satu pokok masalah, yaitu pemahaman?
Terkadang kita terjebak dengan group value. Kita mengikuti suatu nilai, semata-mata karena nilai itulah yang dianggap berharga dalam kelompok. Boleh jadi karena menganut group value itulah, sehingga dulu ada budaya ikhwan-akhwat bicara dengan posisi saling membelakangi. Sampai-sampai ada seorang ikhwan yang terus menerus bicara, padahal lawan bicaranya sudah pergi entah kemana.
Dan kini, mungkin karena group value juga sehingga ada tren akhwat pulang malam. Awalnya karena kepentingan mendesak, tapi lama-lama muncul pameo: akhwat yang tidak pulang malam, jam terbangnya diragukan?! sungguh menyedihkan ketika ada seorang akhwat berujar, “Dulu di SMA saya jarang sekali bergurai dengan ikhwan, tapi setelah di kampus bertemu banyak ikhwan yang sering mengajak bergurau, saya jadi terbiasa….” Lho?!
Harus kita ingat bahwa tarbiyah bukan proses labelisasi. Tarbiyah tak bertujuan membuat kita menjadi produk-produk homogen yang monoton, jumudm ataupun imma’ah (ikut-ikutan). Melainkan diharapkan menjadi orang yang memiliki standar yang jelas dalam setiap sikap.
Dalam Al Qur’an surat Al Baqarah ayat 177, Allah mencela orang-orang musyrik yang menyandarkan nilai-nilai kebajikan (Al-Birr) pada persangkaan jahiliyah mereka. Sedangkan pada surat al Israa’ ayat 36, Allah SWT mengingatkan agar kita tidak mengikuti sesuatu jika tidak mempunyai pengetahuan tentangnya.
Bicara tentang pergaulan aktfis islam, jelas aktifis muslimah memainkan peran penting di dlamanya. Melongok kiprah shahabiyah dalam berinteraksi dengan masyarakat, meraka bukan sosok steril yang tidak melakukan interaksi dengan kaum laki-laki.
Di antara mereka ada yang menyampaikan tuntutannya dengan Rasulullah, menjenguk muslim yang sakit, turut serta dalam perjamuan dan berbagai pertemuan, ikut berdinamika dalam berbagai peperangan, menyampaikan kritik secara langsung dan terbuka kepada khilafah, bahkan istri-istri Rasulullah menjadi tempat bertanya para shahabat setelah Rasulullah saw wafat.
Namun satu hal yang harus dicatat, bahwa para shohabiyah dan generasi muslimah terdahulu melakoni segala hak kebabasan mereka dengan pemahaman, penuh kehati-hatian, dan kontrol diri yang kuat.
Misalnya saja pada kisah dua orang puteri Nabi Syu’aib as. Mereka tidak menutup mata dari tugas memberi minum ternak, dalam rangka berbakti kpd orang tua. Mereka juga sadar, bahwa tugas itu harus mereka jalani dengan resko harus berhadapan dengan laki-laki yang bukan mahram. Maka dn sabar mereka hadapi resiko itu dengan strategi menunggu giliran memberi minum sehingga mereka tak perlu bercampur baur dengan laki-laki yang bukan mahramnya.
Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan Bukhari dan Muslim, dikisahkan seorang muslimah datang dan menyerahkan dirinya (agar dinikahi) kepada Rasulullah saw. Ia paham bahwa ia memiliki kebebasan menawarkan dirinya kepada muslim yang sholih.
Namun ketika ia melihat Rasulullah saw tidak memutuskan apa-apa mengenai dirinya, ia pun duduk dan bahkan membiarkan Rasulullah saw menikahkannya dengan laki-laki lain. Nyata sekalim bahwa ia menyerahkan diri kepada Rasulullah saw semata-mata dalam rangka baktinya kepada beliau, bukan karena hawa nafsu. Betapa indah cara mereka membingkai dirinya dengan pemahaman.
Ketika seorang muslimah memahami kebebasannya, pada saat yang sama ia juga harus memahami keterbatasannya. Ia haru memahami bahwa dirinya mempunyai potensi fitnah yang besar. Kalau saja potensi itu sesuatu yang bisa diabaikan, tentunya Rasulullah tidak sampai bersabda, “Aku tidak meninggalkan sesudahku fitnah bagi kaum lelaki lebih berbahaya daripada perempuan” (Muttafaqun alaihi)
Seorang muslimah, terutama dalamusia belia, harus memahami bahwa pertemuannya dengan seorang laki-laki memiliki kemungkinan dimanipulasi oleh setan yang terkutuk. Dalam satu riwaya Ath-Thabrani dan Ali dikatakan Rasulullah saw bersabda “Aku melihat seorang anak laki-laki dna seorang anak perempuan yang sama sama masih muda belia. Aku khawatir keduanya akan dimasuki oleh setan”
Terkadang aktifis muslimah begitu cepat tsiqoh dan merasa save ketika berinteraksi dalam ruang lingkup organisasi Islam. Ia berpikir “Toh senior dan teman-teman saya adalah orang yang paham” Akibatnya ia tidak membangun imunitas yang cukup kokoh untuk melindunginya dari kemungkinan berzina. Padahal, setiap manusia memiliki kecenderungan berzina.
Dari Ibnu Abbas dikatakan: “Aku tidak pernah melihat sesuatu yang lebih mirip dengan perbuatan dosa kecil dibandingkan apa yang dikatakan oleh Abu Hurairah mengenai Nabi saw, yaitu Nabi bersabda: “Sesungguhnya Allah menentuka manusia cenderung berzina. Hal itu sama sekali tidak bisa dihindari dan pasti terjadi. Zina mata adalah memandang, zina lidah bertutur, zina nafsu adalah berharap-harap dan berkeinginan mendapatkan sesuatu, sementara kemaluan membenarkan atau mendustakan hal tersebut.” (H.R. Bukhari dan Muslim)
Abdul Halim Abu Syuqqah dalam kitab Tahrirul Mar’ah fii ‘Ashrir Risalah mengemukakan bahwa Islam telah mengatur peran wanita dalam kehidupan sosial dengan etika yang sangat sempurna. Etika tersebut memiliki karakter sebagai berikut:
Pertama, etika tersebut tidak menghambat proses keseriusan hidup serta tetap mempertahankan akhlak dan harga diri manusia.
Kedua, etika tersebut menumbuhkembangkan kesejahteraan dan kemakmuran, menjauhkan manusia dari kemungkaran sekaligus menempanya sehingga tidak terseret arus kejahatan.
Ketiga, etika tersebut menjamin kesehatan mental laki-laki dan wanita secara merata karena tidak membuka peluang sikap berlebih-lebihan, melanggar norma asusila atau memancing syahwat.
Selain itu, etika itupun tidak menimbulkan sikap pura-pura malu, tidak menimbulkan perasaan sensitif yang berlebihan terhadap lawan jenis, serta tidak menimbulkan seorang wanita menutup diri dari seorang laki-laki.
Sebaik-baik urusan adelah pertengahan. Ali ra mengatakan, “Hendaklah kalian mengambil model atau contoh yang pertengahan. Yang terlanjur hendaklah surut dan yang tertinggal hendaklah menyusul.”
Wallahu a’lam bis shawab
(dikutip dari majalah Al Izzah No.15/Th.2, 31 Maret 2001)
0 Komentar:
Posting Komentar
Kehormatan buat kami jika selesai baca Anda beri komentar atas Artikel ini....tapi, Mohon Maaf kawan Komentarnya yang sopan ya....he..he..he..