Dalam realitas medan dakwah, setiap aktivis akan berhadapan dengan
berbagai macam kondisi dan situasi yang tidak semuanya sesuai dengan
yang diharapkan. Saat menunaikan amanah dakwah, kader harus menghadapi
situasi yang sulit bahkan rumit. Secara manusiawi, bisa muncul perasaan
khawatir –bahkan takut—ketika menghadapi resiko atau situasi yang tidak
dikehendaki.
Perasaan takut atau khawatir yang muncul pada diri aktivis dakwah
adalah sesuatu yang bersifat manusiawi, namun harus mampu dikendalikan
dan dikuasai agar tidak menghalangi penunaian amanah dakwah. Perasaan
seperti itu pernah dimiliki pula oleh Nabi yang sangat kuat dan perkasa,
Musa As. Perhatikan ungkapan ayat-ayat berikut :
“Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu menyeru Musa (dengan firman-Nya):
“Datangilah kaum yang zalim itu, (yaitu) kaum Fir’aun. Mengapa mereka
tidak bertakwa?” Berkata Musa: “Ya Tuhanku, sesungguhnya aku takut bahwa
mereka akan mendustakan aku. Dan (karenanya) sempitlah dadaku dan tidak
lancar lidahku maka utuslah (Jibril) kepada Harun. Dan aku berdosa
terhadap mereka, maka aku takut mereka akan membunuhku.” Allah
berfirman: “Jangan takut (mereka tidak akan dapat membunuhmu), maka
pergilah kamu berdua dengan membawa ayat-ayat Kami (mukjizat-mukjizat);
sesungguhnya Kami bersamamu mendengarkan (apa-apa yang mereka katakan)” (Asy Syu-ara’ : 10 – 15).
Dalam ayat-ayat di atas, Musa merasa takut atau khawatir bahwa
dirinya akan didustakan bahkan dibunuh. Musa mengatakan dia berdosa
terhadap orang-orang Mesir (walahum ‘alayya dzanbun) adalah
menurut anggapan orang-orang Mesir itu, karena sebenarnya Musa tidak
berdosa sebab dia membunuh orang Mesir itu tidak dengan sengaja.
Selanjutnya bisa dilihat pada surat Al Qashash ayat 15.
Beberapa pelajaran Fiqih Dakwah yang bisa diambil dari rangkaian ayat-ayat di atas antara lain:
1. Nabi Musa pun memiliki perasaan takut atau khawatir dalam menunaikan amanah dakwah
Perhatikan curhat Nabi Musa kepada Allah Ta’ala dalam ayat di atas. Berkata Musa: “Ya Tuhanku, sesungguhnya aku takut bahwa mereka akan mendustakan aku”. Dalam penggalan ayat berikutnya, Nabi Musa mengatakan, “…maka aku takut mereka akan membunuhku”.
Nabi yang dikisahkan memiliki fisik yang kuat, memiliki kekuatan yang
hebat, namun masih memiliki perasaan khawatir atau takut ketika hendak
menjalankan perintah dari Allah. Sesungguhnya perasaan seperti ini
memang sangat manusiawi, namun tidak boleh digunakan sebagai pembenar
untuk tidak melaksanakan tugas dakwah. Perasaan khawatir dan takut itu
harus segera diatasi dan dikuasai agar tidak melalaikan amanah dakwah.
2. Nabi Musa mampu menguasai perasaan takut dalam dirinya
Kendati Nabi Musa menyatakan perasaan takut dan khawatir, namun tidak
ada ungkapan permakluman atau meminta izin kepada Allah agar diberikan
keringanan untuk tidak melaksanakan perintah Allah. Kadang dijumpai
sebagian aktivis menolak melaksanakan suatu amanah dakwah, hanya dengan
pertimbangan perasaan takut dan khawatir. Hal seperti ini tidak boleh
dibiarkan, karena berarti sang aktivis tidak mampu menguasai
perasaannya.
Justru Nabi Musa meminta kepada Allah agar diberi teman, yaitu Harun,
untuk bersama-sama menunaikan perintah Allah. Artinya, perasaan takut
dan khawatir dalam dirinya tidak dibiarkan berkembang menjadi sifat
pembangkangan dan penolakan terhadap perintah Allah. Sudah selayaknya
para aktivis dakwah mengambil pelajaran penting dari sikap Nabi Musa
ini. Tidak pantas bagi aktivis dakwah untuk mengelak dari amanah dakwah
hanya karena pertimbangan ketakutan atau kekhawatiran.
Perasaan semacam itu wajar dan manusiawi, namun harus dikuasai dan diarahkan agar tidak menyebabkan lalai dari amanah dakwah.
3. Pentingnya teman yang menguatkan pelaksanaan amanah dakwah
Ketika Nabi Musa mendapatkan perintah untuk menghadapi Fir’aun
sendirian, terbayang betapa kesulitan akan menghadang dirinya yang
memiliki keterbatasan. Ungkapan Nabi Musa, “Ya Tuhanku, sesungguhnya aku takut bahwa mereka akan mendustakan aku. Dan (karenanya) sempitlah dadaku dan tidak lancar lidahku”
menandakan kekhawatiran Nabi Musa bahwa dirinya akan didera emosi atas
pengingkaran Fir’aun, sehingga membuat Musa tidak lancar berkomunikasi
menyampaikan peringatan kepadanya.
Selanjutnya Nabi Musa meminta kepada Allah agar diberikan teman untuk
menunaikan perintah Allah tersebut sehingga bisa lebih tenang. Ungkapan
Nabi Musa “…..maka utuslah (Jibril) kepada Harun…” maksudnya
agar Harun diangkat menjadi Rasul untuk membersamainya dalam menunaikan
perintah Allah. Ini memberikan pelajaran tentang pentingnya teman dan
kebersamaan yang akan menguatkan pelaksanaan amanah dakwah.
4. Pentingnya pendekatan kepada Allah untuk mendapatkan kekuatan jiwa
Ketika menghadapi perasaan yang takut dan khawatir menghadapi Fir’aun
dan kaumnya, Nabi Musa segera memohon kekuatan kepada Allah. Munajat
dan pendekatan kepada Allah sangat penting dilakukan setiap saat oleh
para aktivis dakwah, karena hanya Allah yang Maha Kuasa dan Maha
Perkasa. Seluruh makhluk adalah lemah, hanya Allah yang memiliki
kekuasaan dan kekuatan yang tidak terbatas dan tidak tertandingi.
Mendekat kepada Allah akan menghilangkan ketakutan dan kekhawatiran.
Untuk itu para aktivis dakwah harus memiliki aktivitas ruhaniyah untuk
selalu mendekatkan diri kepada Allah, agar Allah memberikan kekuatan,
kemampuan dan kelancaran dalam menjalankan amanah dakwah. Suksesnya
dakwah bukan semata ditentukan oleh kehebatan sang aktivis, namun yang
menentukan kesuksesan hanyal Allah Ta’ala.
sumber: http://cahyadi-takariawan.web.id/?p=2711
0 Komentar:
Posting Komentar
Kehormatan buat kami jika selesai baca Anda beri komentar atas Artikel ini....tapi, Mohon Maaf kawan Komentarnya yang sopan ya....he..he..he..