Memangnya kenapa sih kok disuruh bermimpi? Bukankah mimpi
itu kembangnya tidur? Bukankah kita harus realistis? Atau istilah
Arab-nya waqi’iyyin, kenapa kok malah disuruh bermimpi? Bukankah mimpi
itu ahlam (bentuk jama’ dari hulm, yang artinya mimpi di siang bolong)?
Dan bukankah mimpi itu terjadi karena kebanyakan tidur? Tentunya yang
saya maksud dengan mimpi itu bukan sekedar sesuatu yang kita lihat
karena kebanyakan tidur. Bukan pula mimpi yang terjadi karena
terbawa-bawa oleh nafsu syahwat menjelang tidur. Bukan pula karena kita
dikejar-kejar oleh suatu atau berbagai persoalan duniawi, karenanya kita
melihatnya di dalam mimpi.
Akan tetapi, yang saya maksud dengan mimpi di sini adalah
suatu gagasan besar, cita-cita agung, angan-angan mulia yang luhur, yang
karena besarnya gagasan itu, atau karena agungnya cita-cita itu, atau
karena luhurnya angan-angan itu, lalu banyak orang-orang yang tidak
berilmu, atau berilmu, tapi ilmunya cethek alias dangkal, atau oleh
orang-orang yang obsesinya rendah dan murah, kita dituduh sebagai kaum
utopis, kaum pemimpi, lebih parah lagi kita dituduh sebagai pemimpi di
siang bolong, atau istilah Al Qur’an-nya Adh-ghatsu ahlaam (hidupnya
dibuai oleh mimpi-mimpi, QS Yusuf [12]: 44, Al Anbiya’ [21]: 5).
Dalam suatu pertemuan, ada seorang syekh mengatakan: “La
budda lil qaa-idi an yakuuna lahu ahlam, wa illa la yashluh an yakuuna
qaa-idan”. Maksudnya: Seorang pemimpin harus mempunyai banyak mimpi,
jika tidak, dia tidak layak menjadi pemimpin. Mendengar pernyataan
seperti itu, saya terperanjat dan kaget, lhoo kok begitu? Akan tetapi,
sebelum saya mengingkari pernyataannya itu, saya mencoba mereview
apa-apa yang pernah saya ketahui tentang mimpi, ternyata, banyak juga
dalil atau argumentasi yang bisa saya kemukakan untuk membenarkan
pernyataan syekh tadi.
Pertama: Nabi Yusuf as pada waktu kecil telah bermimpi
melihat sebelas bintang, satu matahari dan satu bulan bersujud
kepadanya, dan ternyata mimpi itu kemudian menjadi kenyataan.(QS Yusuf
[12]: 100).
Kedua: Nabi Yusuf as membuat strategi, mengorganisir dan
menjalankan program penyelamatan negeri Mesir dan sekitarnya dari bahaya
kelaparan juga berangkat dari mimpi sang raja yang dia ta’wil-kan
(sesuai dengan ilmu yang Allah swt berikan kepadanya) menjadi “sebuah
manajemen strategis” yang sangat luar biasa.
Ketiga: mukaddimah dari turunnya wahyu kepada nabi Muhammad
saw adalah ar-ru’yah ash-shadiqah (mimpi yang benar), yang menurut
riwayat ummul mukminin ‘Aisyah ra (sebagaimana diriwayatkan oleh Imam
Bukhari): “beliau tidak melihat satu mimpipun kecuali seperti merekahnya
fajar di pagi hari”.
Keempat: Salah seorang ulama’, pemikir, da’i dan mujaddid
Islam yang bernama Hasan Al Banna, selalu mengingatkan murid-muridnya
akan adanya satu kaidah sosiologi yang mengatakan bahwa: haqaa-iqul
yaumi ahlaamul amsi, wa ahlaamul yaumi haqaa-iqul ghadi (kenyataan hari
ini adalah mimpi kemarin, dan mimpi hari ini adalah kenyataan esok
hari).
Kaidah ini terus menerus dia doktrinkan kepada
murid-muridnya, tentunya dengan berbagai argumentasi qur’an dan sunnah
yang dia tetapkan sebagai rujukan utama gerakannya, sehingga, gerakan
yang dia bangun itupun –menurut sumber majalah Al Mujtama’- sekarang
telah tersebar ke lebih dari tujuh puluh negara di dunia, dimana gerakan
seperti yang dia bangun itu, pada saat itu banyak yang menilainya
sebagai gerakan kaum utopis, gerakan untuk merubah sesuatu yang hil dan
mustahal, namun sedikit demi sedikit, hal-hal yang tadinya dianggap
mimpi di siang bolong itupun berubah menjadi kenyataan.
Salah satu argumentasi yang dikemukakan oleh Hasan Al Banna
adalah kisah pembebasan Bani Israil dari keterbudakan rezim Fir’aun di
Mesir. Bagaimana suatu bangsa yang sudah terbudak sedemikian rupa, pada
akhirnya mampu melepaskan dirinya dari keterbudakan yang begitu dahsyat.
Saudara-saudaraku yang dimulyakan Allah …
Dunia sekarang telah dipenuhi oleh berbagai ketidak adilan,
kezhaliman, kerusakan dan pertikaian. Dalam skala lokal saja,
tanda-tanda semakin menjauhnya agenda reformasi yang pada awalnya
diusung oleh para mahasiswa itu, bukannya semakin mendekat kepada
kenyataan, justru bayang-bayang semakin menjauhnya cita-cita itu
senantiasa tampak di depan mata.
Namun demikian, kita tidak boleh berputus asa, kita harus
senantiasa optimis, bahwa malam tidak akan selamanya malam, ia pasti
akan berganti dengan merekahnya fajar, bukan fajar kadzib (fajar dusta,
fajar yang setelah terang benderang gelap lagi), tapi fajar shadiq,
fajar yang benar, fajar yang berlanjut dengan munculnya surya, munculnya
mentari yang menyinari berbagai permukaan bumi, dan secara perlahan
mengusir kegelapan malam yang tadinya begitu menyelimuti. Kita harus
tetap tegar, tabah dan tsabat dalam mengusung cita-cita besar kita,
cita-cita liyuzh-hirahu ‘alad-diini kullihi (QS At-Taubah [9]: 33, Al
Fath [48]: 28, dan Ash-Shaff [61]: 9), cita-cita hatta la takuuna
fitnatun wa yakuunad-diinu (kulluhu) lillah (QS Al Baqarah [2]: 193, Al
Anfal [8]: 39), dan cita-cita khaira ummatin ukhrijat linnaas (QS Ali
Imran [3]: 110).
Memang, banyak kalangan menilai bahwa cita-cita seperti itu
hanyalah mimpi belaka, namun, berbagai argumentasi di atas, kiranya
sanggup untuk membuat kita tidak tertipu oleh penilaian banyak kalangan
itu, anggaplah hal itu hanyalah sebuah laumata laa-im (celaan orang yang
mencela), yang harus kita sikapi dengan la yakhafuuna (tidak takut),
sebagaimana disebutkan dalam QS Al Maidah [5]: 54, kita harus tetap
tsabat agar kita menjadi representasi dari fasaufa ya’tillahu biqaumin,
representasi dari qaum yang disebutkan dalam ayat tersebut.
Dalam rangka merealisasikan mimpi kita yang besar itu, kita
harus melakukan langkah-langkah binaa-ur rijaal (pembinaan tokoh-tokoh
masa depan), sebab hanya dengan langkah seperti inilah, setapak demi
setapak mimpi itu semakin dekat kepada kenyataan. Sebagai penutup dari
taujih ini, marilah kita simak kisah tentang dialog antara Umar bin Al
Khaththab ra dengan beberapa orang di zamannya. Umar bin Al Khaththab
berkata: “Berangan-anganlah!”.
Maka salah seorang diantara yang hadir berkata: “Saya
berangan-angan kalau saja saya mempunyai banyak uang (dinar dan dirham),
lalu saya belanjakan untuk memerdekakan budak dalam rangka meraih ridha
Allah”. Seorang lainnya menyahut: “Kalau saya, berangan-angan memiliki
banyak harta, lalu saya belanjakan fi sabilillah”. Yang lainnya lagi
menyahut: “Kalau saya, mengangankan mempunyai kekuatan tubuh yang prima,
lalu saya abdikan diri saya untuk memberi minum air zamzam kepada
jama’ah haji satu persatu”.Setelah Umar bin Al Khaththab mendengarkan
mereka, iapun berkata: “Kalau saya, berangan-angan kalau saja di dalam
rumah ini ada Rijaal (tokoh) seperti Abu Ubaidah bin Al Jarrah, Umair
bin Sa’ad dan semacamnya”.
Dari dialog tentang mimpi ini, kita dapat mengetahui betapa
urgen dan pentingnya membina para pemuda itu. Semoga Allah swt
memberikan kekuatan kepada kita untuk mampu mewujudkan mimpi indah kita,
amin.
sumber : http://al-ikhwan.net
Mantap.. Gmn jika judulnya di ganti "Mewujudkan Mimpi"
BalasHapus