Fiqih Dakwah dalam Al Qur’an
Oleh : Cahyadi Takariawan
***********************
Dalam organisasi dakwah, salah satu karakter yang selalu dibangun dan
ditumbuhkan adalah kebersamaan dalam ‘amal jama’i. Ada qiyadah dakwah
yang memberikan arahan, instruksi, mengkoordinasikan serta
mengkonsolidasikan amal jama’i agar bisa berjalan lurus dan efektif. Ada
aktivis dakwah yang bekerja di bidang tugas masing-masing sesuai arahan
dan pembagian tugas dari qiyadah serta penataan organisasi.
Kendati ada instruksi qiyadah dan ketaatan aktivis dakwah, namun Al
Qur’an mengarahkan pentingnya kejelasan dalam segala sesuatu. Penting
bagi organisasi dakwah untuk membudayakan sikap kritis dan membiasakan
munculnya hujjah atau argumen di kalangan aktivis, agar dalam
melaksanakan tugas selalu berdasarkan ilmu pengetahuan dan kejelasan.
Bukan melaksanakan tugas dakwah semata-mata karena ketaatan yang tidak
dilandasi oleh ilmu, pemahaman dan kejelasan.
Allah Ta’ala telah berfirman tentang kisah Nabiyullah Ibrahim as yang
bersifat kritis dan berani menampilkan hujjah untuk mendapatkan
kejelasan.
“Maka tatkala rasa takut hilang dari Ibrahim dan berita gembira
telah datang kepadanya, diapun bersoal jawab dengan (malaikat-malaikat)
Kami tentang kaum Luth. Sesungguhnya Ibrahim itu benar-benar seorang
yang penyantun lagi penghiba dan suka kembali kepada Allah. Hai Ibrahim,
tinggalkanlah soal jawab ini, sesungguhnya telah datang ketetapan
Tuhanmu, dan sesungguhnya mereka itu akan didatangi azab yang tidak
dapat ditolak” (QS. Hud : 74 – 76).
Beberapa pelajaran Fiqih Dakwah yang bisa diambil dari rangkaian ayat tersebut adalah :
1. Pentingnya hujjah bagi aktivis dakwah
Dakwah bukanlah indoktrinasi, namun penyadaran, demikianlah salah
satu kaidah dalam dakwah. Oleh karena bukan proses indoktrinasi, maka
para aktivis dakwah harus menjadi cerdas dan memiliki hujjah (argumen,
pandangan) yang kuat untuk bekal dalam melaksanakan dakwah di tengah
kehidupan masyarakat. Dakwah akan lebih mudah diterima dan dicerna,
apabila disertai dengan argumen yang kuat.
Penting bagi Nabi Ibrahim As untuk mendapatkan kejelasan tentang kaum
Luth, maka iapun berdialog dengan para malaikat Allah. Ibrahim tidak
ingin memiliki ketaatan yang buta, namun memberikan keteladanan kepada
kita agar selalu memiliki ketaatan yang dilandasi oleh pemahaman,
pengetahuan dan kejelasan. Nabi Ibrahim harus memiliki keyakinan dalam
dirinya, sehingga ia akan mampu memberikan hujjah yang tepat. Untuk
itulah ia bertanya dan menyatakan pandangan kepada malaikat Allah
mengenai kaum Luth.
2. Keberanian menyatakan pandangan
Para aktivis dakwah juga harus memiliki keberanian untuk menyatakan
pandangan agar mendapatkan kejelasan dalam melaksanakan tugas dakwah.
Walaupun berhadapan dengan perintah Allah, namun tidak menghalangi Nabi
Ibrahim As untuk bertanya dan menyatakan pandangan dalam rangka
mendapatkan kejelasan. Nabi Ibrahim memberikan contoh keberanian dalam
menyatakan pandangan, bukan untuk menolak ketetatpan Allah, namun untuk
mendapatkan kejelasan.
Aktivis dakwah tidak layak menyimpan ketakutan atau keengganan
menyatakan pandangan yang konstruktif bagi gerakan dakwah. Tentu saja
harus disertai dengan etika, dan mengerti mekanisme serta saluran
komunikasi struktural dalam organisasi dakwah. Apabila ketaatan dibangun
diatas landasan pemahaman, maka dakwah akan kokoh dan gerakan dakwah
akan solid. Sebagaimana rangkaian arkanul bai’ah yang disusun oleh Hasan
Al Banna, yang menempatkan kepahaman pada rukun pertama, ketaatan pada
rukun keenam, serta tsiqah pada rukun kesepuluh.
Kita juga bisa merujuk kepada kisah Nabi Ibrahim yang meminta kepada
Allah untuk menunjukkan kepadanya bagaimana Allah menghidupkan makhluk
yang telah mati, sebagaimana diabadikan dalam surat Al Baqarah ayat 260.
Kisah-kisah semacam ini semakin menguatkan pemahaman, bahwa Al Qur’an
mengarahkan kita untuk berani menyatakan argumen untuk mendapatkan
kejelasan.
3. Qiyadah harus berjiwa besar untuk menerima pandangan
Dalam organisasi dakwah, para qiyadah harus menyediakan kelapangan
jiwa untuk menerima pandangan, pendapat, argumen dari para aktivis. Para
qiyadah harus memberikan ruangan yang memadai dan proporsional bagi
munculnya pertanyaan dan pandangan dari para aktivis. Sikap ini justru
akan semakin memberikan penguatan posisi dan menambah penghormatan
kepada para qiyadah, karena berbagai pandangan para aktivis bisa
tersalurkan.
Allah Ta’ala tidak menyalahkan atau mencela Nabi Ibrahim As atas
pertanyaan dan pandangan yang disampaikan, bahkan dalam ayat tersebut
Allah memberikan pujian terhadap beliau As, “Sesungguhnya Ibrahim itu benar-benar seorang yang penyantun lagi penghiba dan suka kembali kepada Allah”.
Oleh karena itu, para qiyadah dituntut untuk memiliki jiwa besar dalam
berinteraksi dengan para aktivis dakwah dan masyarakat pada umumnya,
untuk menerima pandangan dengan tulus.
4. Taat kepada ketentuan Allah
Ketika pandangan sudah disampaikan, bukan berarti keputusan akhir
harus selalu sesuai dengan pandangan tersebut. Karena dalam organisasi
dakwah, ada sangat banyak aktivis yang masing-masing membawa argumen.
Tidak mungkin semua pandangan tersebut akan diambil sebagai keputusan
akhir. Setelah berbagai pandangan dikumpulkan, maka apapun keputusan
akhirnya harus ditaati dan dilaksanakan bersama.
Allah Ta’ala menegaskan kepada Nabi Ibrahim agar menghentikan dialog
itu, karena Allah telah memberikan waktu yang cukup bagi kaum Luth namun
mereka tidak mau kembali kepada kebenaran. Maka adzab Allah akan
ditimpakan kepada kaum Luth sebagai balasan atas kezaliman dan
keingkaran mereka. “Hai Ibrahim, tinggalkanlah soal jawab ini,
sesungguhnya telah datang ketetapan Tuhanmu, dan sesungguhnya mereka itu
akan didatangi azab yang tidak dapat ditolak”.
Pada akhirnya Ibrahim tunduk dan taat secara mutlak kepada ketentuan
Allah dengan penuh kerelaan. Demikian pula para aktivis dakwah harus
tunduk kepada ketentuan Allah. Dalam beramal jama’i, para aktivis harus
tunduk kepada keputusan jama’ah, walaupun keputusan jama’ah itu tidak
sesuai dengan pendapat dan pandangan pribadinya. Karena tidak mungkin
seluruh pendapat dan pandangan dari para aktivis akan dijadikan sebagai
keputusan akhir, pasti ada pendapat dan pandangan yang tidak
terakomodir.
Jika pandangannya tidak terakomodasi dalam keputusan organisasi,
tidak layak para aktivis menolak untuk mengikuti hasil keputusan dengan
alasan, “itu bukan pendapat saya”, atau “saya sudah memberi pendapat
tetapi tidak digunakan”, atau “sia-sia saja saya memberi pendapat,
ternyata tidak digunakan untuk mengambil keputusan”.
0 Komentar:
Posting Komentar
Kehormatan buat kami jika selesai baca Anda beri komentar atas Artikel ini....tapi, Mohon Maaf kawan Komentarnya yang sopan ya....he..he..he..