DR 
Yusuf Al Qardhawi
 dalam Fatawa Mu’ashirah, menjelaskan 9 perbedaan tajam antara Ahlus 
Sunnah yang moderat dengan Syi’ah Imamiyah Itsna Asy’ariah/12 Imam. 
Berikut ini fatwa beliau:
1. Sikap Syi’ah terhadap Al Qur`an.
Sikap mereka terhadap Al Qur`an seperti yang telah saya jelaskan 
berulang-ulang kali bahwa mereka tetap percaya dengan Al Qur`an yang 
kita hafal. Mereka berkeyakinan bahwa Al Qur`an adalah firman Allah 
Subhanahu Wa Ta’ala. Mushaf yang dicetak di Iran dengan mushaf yang 
dicetak di Mekah, Madinah dan Kairo adalah sama. Al Qur`an ini dihafal 
oleh anak-anak Iran di sekolah-sekolah agama (madrasah/pesantren) di 
sana. Para ulama Iran juga mengutip dalil-dalil Al Qur`an di dalam 
masalah pokok-pokok dan furu di dalam ajaran Syi’ah yang telah 
ditafsirkan oleh para ulama mereka di dalam kitab-kitabnya. Namun masih 
tetap ada di antara mereka yang berkata, “Sesungguhnya Al Qur`an ini tidak lengkap. Karena ada beberapa surat dan ayat yang dihilangkan dan akan dibawa oleh Al Mahdi pada saat dia muncul dari persembunyiannya.”
Mungkin saja sebagian besar ulama mereka tidak mempercayai hal 
ini. Sayangnya mereka tidak mengkafirkan orang yang telah mengatakan 
hal di atas. Inilah sikap yang sangat berbeda dengan sikap Ahlu Sunnah, 
yaitu barangsiapa yang meyakini telah terjadi penambahan dan pengurangan
 terhadap Al Qur`an, maka dengan tidak ragu lagi, kami akan cap dia 
sebagai orang kafir.
Padahal keyakinan seperti ini terdapat di dalam kitab-kitab rujukan mereka, seperti Al Kaafiy yang sebanding dengan kitab Shahih Al Bukhari bagi
 Ahlu Sunnah. Kitab ini telah dicetak dan 
diterjemahkan laludidistribusikan ke seluruh dunia tanpa ada penjelasan 
apa-apa di dalamnya. Ada pepatah di masyarakat, “Orang yang diam terhadap kebatilan, sama dengan orang yang membicarakannya.”
2. Sikap Syi’ah terhadap As Sunnah          
Definisi As Sunnah menurut Ahlu Sunnah adalah sunnah Rasulullah 
Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam yang telah dimaksum oleh Allah Subhanahu Wa
 Ta’ala dan Dia perintahkan umat Islam untuk menaati beliau di samping 
taat kepada-Nya.
Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman, “Katakanlah, “Taatlah kepada
 Allah dan taatlah kepada Rasul; jika kamu berpaling, maka sesungguhnya 
kewajiban Rasul (Muhammad) itu hanyalah apa yang dibebankan kepadanya, 
dan kewajiban kamu hanyalah apa yang dibebankan kepadamu. Jika kamu taat
 kepadanya, niscaya kamu mendapat petunjuk,” (QS An Nur [24]: 54). ”dan taatlah kepada Rasul (Muhammad), agar kamu diberi rahmat,”(QS An Nur [24]: 56). “Wahai
 orang-orang yang beriman! Taatilah Allah dan taatilah Rasul (Muhammad),
 dan Ulil Amri (pemegang kekuasaan) di antara kamu. Kemudian, jika kamu 
berbeda pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah kepada Allah (Al 
Qur’an) dan Rasul (sunnahnya),”(QS An Nisa [04]: 59). “Katakanlah
 (Muhammad), “Taatilah Allah dan Rasul. Jika kamu berpaling, ketahuilah 
bahwa Allah tidak menyukai orang-orang kafir,” (QS Ali Imran [03]: 32). “Barangsiapa
 menaati Rasul (Muhammad), maka sesungguhnya dia telah menaati Allah. 
Dan barangsiapa berpaling (dari ketaatan itu), maka (ketahuilah) Kami 
tidak mengutusmu (Muhammad) untuk menjadi pemelihara mereka,” (QS An Nisa [04]: 80). “Dan
 tidaklah yang diucapkannya itu (Al Qur’an) menurut keinginannya. Tidak 
lain (Al Qur’an itu) adalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya),” (QS An Najm [53]: 3-4) dan ayat-ayat yang lainnya.
Akan tetapi batasan As Sunnah menurut Syi’ah adalah sunnah Rasulullah
 Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam dan para imam mereka yang maksum. 
Maksudnya,sunnah mencakup bukan hanya sunnah Rasulullah Shalallahu 
‘Alaihi wa Sallam melainkan jugasunnah kedua belas imam mereka. Imam 
mereka yang 12 orang tersebut wajib ditaati sebagaimana taat kepada 
Allah Subhanahu Wa Ta’ala dan rasul-Nya yang dikuatkan dengan wahyu. 
Mereka telah menambahkan perintah Al Qur`an untuk taat kepada Allah 
Subhanahu Wa Ta’ala dan rasul-Nya yaitu agar taat kepada makhluk yang 
Allah Subhanahu Wa Ta’ala sendiri tidak memerintahkannya. Lebih dari 
itu, kita mengkritik Syi’ah karena telah meriwayatkan sunnah dari 
orang-orang yang tidak tsiqah (terpercaya) karena tidak memenuhi unsur 
keadilan dan kesempurnaan hafalan.
Oleh karena itu, kitab-kitab rujukan Ahlu Sunnah tidak diterima oleh mereka. Mereka tidak mau menerima kitab Shahih Bukhari, Muslimdan Kutub Sittah lainnya, tidak mau menerima kitab Al Muwatha,Musnad Ahmad dan kitab-kitab yang lainnya.
3. Sikap Syi’ah terhadap Para Sahabat
Pandangan negatif mereka terhadap para sahabat merupakan pokok dan 
dasar ajaran Syi’ah. Sikap mereka itu adalah turunan dari pokok ajaran 
mereka yang meyakini bahwa, Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam 
telah berwasiat jika beliau wafat, maka Ali bin Abi Thalib adalah 
pengganti beliau. Akan tetapi para sahabat menyembunyikan wasiat ini 
dan mereka merampas hak Ali ini secara zalim dan terang-terangan. Para 
sahabat telah berkhianat terhadap Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa 
Sallam yang menjadi wasilah mereka mendapatkan petunjuk dan mereka hidup
 di zaman beliau untuk menolongnya walaupun dengan nyawa dan segala yang
 mereka miliki.
Yang mengherankan, apakah mungkin para sahabat bersekongkol untuk 
melakukan hal ini, sementara Ali Radhiyallahu ‘Anh –sang 
pemberani- hanya bisa diam saja tidak berani mengumumkan haknya ini. 
Justru Ali malah ikut membaiat Abu Bakar, Umar dan kemudian Utsman. Ali 
tidak berkata kepada salah seorang dari mereka itu, ”Sesungguhnya 
aku mempunyai wasiat dari Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wa Sallam. Akan 
tetapi, mengapa kalian bersikap seolah-olah tidak tahu? Mengapa kalian 
hanya bermusyawarah dengan enam orang saja dan kalian menyibukkan diri 
kalian sendiri? Siapakah orangnya yang harus memilih sedangkan umat 
Islam telah menetapkan hal ini dengan wasiat Rasulullah Shalallahu 
‘Alaihi Wa Sallam?” Mengapa Ali tidak mau menjelaskan hal ini? 
Kemudian, jika memang Al Hasan bin Ali benar-benar telah tercatat 
sebagai khalifah setelah Ali karena ada wasiat Rasulullah Shalallahu 
‘Alaihi Wa Sallam, tapi mengapa justru Al Hasan mengalah dan memberikan 
jabatan khalifah ini kepada Mu’awiyah? Mengapa Al Hasan melakukan hal 
ini, padahal ini merupakan perintah dari Allah Subhanahu Wa Ta’ala? Dan 
mengapa justru Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam di dalam 
haditsnya (hadits ramalan Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wa Sallam) memuji sikap Al Hasan ini?
Pertanyaan ini tidak bisa dijawab sama sekali oleh mereka.
Inilah tuduhan palsu mereka terhadap para sahabat yang tidak 
terbukti. Keterangan mereka ini sangat bertentangan dengan keterangan 
yang Allah Subhanahu Wa Ta’ala sebutkan di dalam beberapa surat Al 
Qur`an. Seperti di akhir surat Al Anfal, surat At Taubah, surat Al Fath 
di pertengahan di akhirnya, surat Al Hasyr dan surat-surat lainnya.
Demikian pula As Sunnah telah memuji para sahabat baik secara umum 
maupun secara khusus. Juga zaman mereka itu dianggap sebagai sebaik-baik
 zaman setelah Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wa Sallam.
Juga apa yang dicatat oleh sejarah tentang mereka. Mereka adalah 
orang-orang yang telah menghafal Al Qur`an dan dari mereka lah umat 
menukilnya. Mereka juga adalah orang-orang yang telah menukil As Sunnah 
dan menyampaikan apa yang mereka nukil dari Rasulullah Shalallahu 
‘Alaihi wa Sallam baik perkataan, perbuatan maupun persetujuan beliau 
kepada umat ini.
Mereka juga adalah orang-orang yang telah melakukan futuh (pembebasan
 negeri lain dengan damai) dan membimbing umat ini menuju tauhid Allah 
Subhanahu Wa Ta’ala dan risalah Islam. Mereka juga telah mempersembahkan
 kepada bangsa-bangsa yang dibebaskannya contoh-contoh teladan Qur’ani 
yang dijadikan sebagai petunjuk.
4.Imamah Ali dan Keturunannya yang Berjumlah 12 Imam Adalah  Pokok Ajaran Syi’ah. Barangsiapa yang Menolak, maka Dia Dicap Kafir.
Di antara masalah akidah Syi’ah Imamiyah Itsna ’Asyariyah yang 
bertentangan dengan Ahlu Sunnah adalah, keyakinan Syi’ah bahwa 
kepemimpinan Ali dan keturunannya dari garis Husein merupakan 
pokok-pokok keimanan, seperti beriman kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala, 
beriman kepada para malaikat-Nya, beriman kepada kitab-kitab-Nya, 
beriman kepada para rasul-Nya dan beriman kepada hari akhir. Tidak sah 
dan tidak akan diterima oleh Allah Subhanahu Wa Ta’ala iman seorang 
muslim, jika dia tidak beriman bahwa Ali adalah khalifah yang ditunjuk 
oleh Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Demikian juga halnya dengan 11 imam 
keturunan Ali bin Abi Thalib. Barangsiapa yang berani menolak hal ini 
atau meragukannya, maka dia adalah kafir yang akan kekal di neraka. 
Seperti inilah riwayat-riwayat yang tercantum di dalam Al Kaafiy dan kitab-kitab lainnya yang mengupas masalah akidah mereka.
Atas dasar inilah, sebagian besar kaum Syi’ah mengkafirkan Ahlu 
Sunnah secara umum. Hal ini dikarenakan akidah Ahlu Sunnah berbeda 
dengan akidah mereka (Syi’ah). Bahkan Ahlu Sunnah tidak mengakui akidah 
seperti ini dan menganggap bahwa akidah ini adalah batil dan dusta atas 
nama Allah Subhanahu Wa Ta’ala dan rasul-Nya.
Bahkan Syi’ah juga mengkafirkan para sahabat yang tidak mengakui 
imamah Ali Radhiyallahu ‘Anh. Mereka juga mengkafirkan tiga orang 
khulafa rasyidin sebelum Ali yaitu Abu Bakar, Umar dan Utsman dan para 
sahabat lain yang mendukung ketiga orang khalifah ini. Kita ketahui 
bahwa semua para sahabat telah meridhai tiga khulafa rasyidin, termasuk 
Ali bin Abi Thalib yang pada saat itu Ali lah orang terakhir membaiat 
Abu Bakar. Kemudian Ali berkata, ”Sesungguhnya kami tidak 
mengingkari keutamaan dan kedudukan Anda wahai Abu Bakar. Akan tetapi 
kami dalam hal ini mempunyai hak karena kami adalah kerabat (keluarga) 
Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wa Sallam.” Akan tetapi Ali tidak menyebutkan bahwa diamempunyai nash wasiat dari Allah Subhanahu Wa Ta’ala dan Rasul-Nya.
Sedangkan kami Ahlu Sunnah menganggap bahwa masalah imamah dan yang 
berkaitan dengannya termasuk ke dalam furu’ dan bukan termasuk 
pokok-pokok akidah Islam. Masalah ini lebih baik dikaji di dalam 
kitab-kitab fiqih dan muamalah dan bukan dikaji di dalam kitab-kitab 
akidah dan pokok-pokok agama. Walaupun dengan sangat terpaksa para ulama
 Ahlu Sunnah membicarakan masalah ini di dalam kitab-kitab akidah untuk 
membantah seluruh ajaran Syi’ah di dalam masalah ini.
Syaikh Muhammad ‘Arfah, seorang anggota Lembaga Ulama Senior Al Azhar
 pada zamannya, telah menukil dari kitab-kitab akidah milik Syi’ah 
Imammiyah Itsna ’Asyariyyah sebagai penguat apa yang kami ucapkan 
tentang mereka. Beliau berkata,
”Jika kita mau mengkaji kitab-kitab akidah milik orang-orang Syi’ah, 
maka kita akan menemukan adanya kesesuaian atas riwayat-riwayat yang 
mereka sampaikan. Kita pun bisa langsung menukil ajaran mereka yang kita
 anggap sebagai ajaran yang sangat berbahaya yaitu masalah imamah, 
ajaran mengkafirkan para sahabat dan tiga orang khulafa rasyidin. Mereka
 terus mengkafirkan kaum muslimin sejak Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa
 Sallam wafat sampai hari ini. Hal ini disebabkan kaum muslimin tidak 
pernah mengakui imamah Ali dan 12 imam mereka. Hal ini seperti yang kami
 kutip dari penghulu ahli hadits Abi Ja’far Ash-Shaduq Muhammad bin Ali 
bin Husein bin Babawaih Al Qummi yang meninggal dunia pada tahun 381 
Hijriyah yang merupakan ahli hadits kedua dari tiga ahli hadits (Syi’ah)
 yang juga dia itu adalah pengarang kitab yang berjudul, “Man La Yahdhuruh Al Faqih”, salah satu kitab dari empat kitab rujukan Syi’ah di dalam masalah pokok-pokok ajaran mereka. Dia berkata, ”Kami
 berkeyakinan pada orang-orang yang menolak imamah Ali bin Abi Thalib 
dan seluruh imam setelah beliau adalah seperti orang-orang yang menolak 
nubuwah (kenabian) para nabi. Kami juga berkeyakinan bahwa orang-orang 
yang mengakui imamah Ali dan menolak satu dari imam setelah Ali adalah 
seperti orang-orang yang mengakui/beriman kepada para nabi akan tetapi 
mereka menolak Nabi Muhammad Shalallahu ‘Alaihi Wa Sallam.”Dia juga berkata di dalam “Risalat Al I’tiqadat”, bahwasanya Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, ”Barangsiapa
 yang menolak imamah Ali setelah aku (Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wa 
Sallam), artinya dia telah menolak kenabianku dan barangsiapa yang 
menolak kenabianku, artinya dia telah menolak rububiyah Allah Subhanahu 
Wa Ta’ala.”
Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam telah bersabda, ”Wahai Ali, 
Sesungguhnya  kelak setelah aku wafat, engkau itu akan dizhalimi. 
Barangsiapa yang menzhalimimu, sama dengan dia telah menzhalimi aku; 
barangsiapa yang bersikap adil terhadapmu, sama dengan dia telah 
bersikap adil terhadap aku; dan barangsiapa yang menolakmu, sama dengan 
menolak aku.”
Imam Shadiq AS berkata, ”Orang yang menolak imam terakhir kami, sama dengan menolak imam pertama kami.”
Nabi Muhammad Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda,
 ”Para
 imam setelah aku ini ada berjumlah dua belas orang. Imam yang pertama 
adalah Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib AS, dan imam yang terakhir 
adalah Al Mahdi. Menaati mereka sama dengan menaati aku dan bermaksiat 
kepada mereka sama dengan bermaksiat kepada aku. Barangsiapa yang 
menolak salah seorang dari mereka, sama dengan menolak aku.” Imam Shadiq berkata, 
”Barangsiapa
 yang meragukan tentang kekufuran musuh-musuh kami dan sikap zhalim 
mereka terhadap kami, maka dia dianggap telah kafir.”[1]
5. Dakwaan Wasiat dari Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam untuk Ali
Dakwaan adanya wasiat dari Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam 
untuk Ali menjadi khalifah setelah beliau wafat –seperti keyakinan 
Syi’ah- sungguh telah merampas hak kaum muslimin untuk memilih pemimpin 
dari kalangan mereka sendiri. Itulah wujud pengamalan terhadap perintah 
musyawarah yang telah dijadikan oleh Allah Subhanahu Wa Ta’ala sebagai 
ciri khas kaum muslimin,”Sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah antara mereka,” (QS Asy Syura [42]: 38).
Seolah-olah dengan adanya wasiat itu, umat Islam terbelakang 
selamanya, sehingga Allah Subhanahu Wa Ta’ala harus menentukan siapa 
orangnya yang berhak mengurusi dan memimpin umat Islam. Juga diharuskan 
orang yang memimpin umat Islam ini datang dari rumah tertentu dan dari 
keturunan tertentu dari keluarga rumah ini. Padahal semua manusia adalah
 sama. Yang jelas bahwa yang berhak memimpin umat Islam adalah orang 
yang diterima (diridhai) oleh umat Islam dan dia mampu untuk memikul 
amanah ini dan menakhodai umat ini.
Saya yakin jika Negara Islam yang dipersepsikan oleh Ahlu Sunnah 
adalah bentuk Negara Islam ideal yang telah digambarkan oleh Al Qur`an 
dan As Sunnah yang shahih. Yaitu sangat sesuai dengan yang diinginkan 
oleh masyarakat dunia pada saat ini bahwa rakyat berhak menentukan 
nasibnya sendiri, tidak menganut teori negara Teokrasi atau sebuah 
sistem yang mana negara dikuasai oleh pemerintahan berasaskan agama 
(tertentu) atas nama Pemerintahan Langit yang membelenggu leher 
masyarakat dan hati nurani mereka. Semua lapisan masyarakat tidak kuasa 
atas diri mereka sendiri kecuali harus mengatakan, ”Kami mendengar dan 
kami taat!”
Keyakinan Syi’ah ini dibantah oleh takdir Allah, di mana Imam yang 
ke-12 mereka sedang bersembunyi, seperti yang mereka yakini. Akhirnya, 
umat manusia ditinggalkan tanpa imam maksum lebih dari 11 abad. 
Bagaimana mungkin Allah Subhanahu Wa Ta’ala akan membiarkan umat manusia
 tanpa imam yang akan membimbing mereka? Ternyata mereka (orang-orang 
Syi’ah) berkata, ”Kami masih mempunyai Al Qur`an dan As Sunnahuntuk membimbing kami” ketahuilah, justru kami (Ahlu Sunnah) sejak dahulu sudah mengatakan hal ini.
6. Superioritas Kelompok Tertentu atas Seluruh Umat Manusia 
Keyakinan orang-orang Syi’ah dibangun atas dasar rasa superioritas 
(merasa paling lebih) dari seluruh makhluk Allah Subhanahu Wa Ta’ala. 
Mereka merasa mempunyai karunia yang sangat besar jika dilihat dari 
penciptaannya. Mereka ini berhak untuk mengatur orang lain walaupun 
mereka tidak memilihnya. Hal ini dikarenakan telah menjadi keputusan 
langit.
Pemikiran seperti ini sangat bertentangan dengan ajaran Islam secara 
umum. Hal ini disebabkan seluruh manusia adalah sama seperti deretan 
sisir. Hanya ada satu Rabb bagi seluruh umat manusia dan memiliki nenek 
moyang yang sama yaitu Adam ‘Alaihis Salam. Mereka semua diciptakan dari
 bahan yang sama, yaitu sperma. Oleh karena itu, tidak ada rasa 
superioritas seorang manusia atas manusia yang lain kecuali dengan 
taqwanya. Hal ini seperti yang telah dijelaskan di dalam Al Qur`an, “Wahai
 manusia! Sungguh, Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki 
dan seorang perempuan, kemudian Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan 
bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sungguh, yang paling mulia di 
antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa. Sungguh, 
Allah Maha Mengetahui, Mahateliti,” (QS Al Hujurat [49]: 13).
Sesungguhnya manusia itu diutamakan atas yang lainnya hanya 
karena amal perbuatan, dan bukan karena faktor keturunan. Sebab siapa 
yang amalnya lambat, maka nasabnya tidak akan mempercepat langkahnya 
meraih ridha-Nya. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman, ”Apabila 
sangkakala ditiup, maka tidak ada lagi pertalian keluarga di antara 
mereka pada hari itu (hari Kiamat), dan tidak (pula) mereka saling 
bertanya,” (QS Al Mu`minun [23]: 101). Kemudian Allah Subhanahu Wa 
Ta’ala menyebutkan bahwa yang akan menghukumi umat manusia di hari 
Kiamat adalah Al Mizan yang tidak akan menzhalimi seorang pun. Manusia 
lah yang memilih para pemimpin dalam bingkai musyawarah. Manusia 
berbaiat kepada para pemimpin dengan syarat jangan melanggar 
batasan-batasan Allah Subhanahu Wa Ta’ala dan hak-hak manusia.
Hanya Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam saja satu-satunya orang yang dipilih oleh wahyu, ”Allah lebih mengetahui di mana Dia menempatkan tugas kerasulan-Nya,” (QS Al An’am [06]: 124). Selain beliau, hanya manusia biasa dan tidak dipilih oleh wahyu.
Kemudian kenyataan sejarah menunjukkan bahwa orang-orang yang mengaku
 berhak menduduki sebuah jabatan pemerintahan atas dasar nash (Al 
Qur`an/As Sunnah), ternyata mereka itu tidak menduduki jabatan apa-apa. 
Justru mereka hidup seperti manusia pada umumnya (rakyat biasa), 
mendapatkan persamaan di dalam hukum. Kecuali Ali bin Abi Thalib yang 
dibaiat oleh kaum muslimin menjadi khalifah. Karena jika dilihat dari 
sisi keilmuan, beberapa imam ‘maksum’ keturunan Ali tidak dikenal 
sebagai orang yang unggul kecerdasannya dan layak menjadi imam. Namun 
ada sebagian dari keturunan Ali termasuk ke dalam tokoh besar di 
bidang fiqih, seperti Muhammad Al Baqir dan Ja’far Ash-Shadiqseperti 
imam-imam fiqih lainnya.
7.  Penyebaran Bid’ah di Kalangan Syi’ah
Di antara yang harus diperhatikan dari Syi’ah yaitu terjadinya 
penyebaran bid’ah yang mengandung kemusyrikan di kalangan para pengikut 
Syi’ah. Mereka menyembah kuburan dan situs-situs para imam dan syaikh 
mereka. Mereka berani bersujud ke kuburan, meminta pertolongan kepada 
ahli kubur dan berdoa meminta kebaikan untuk para peziarahnya dan supaya
 terbebas dari segala macam marabahaya. Menurut mereka bahwa para ahli 
kubur tersebut bisa mendatangkan manfaat dan bahaya, bisa membuat miskin
 dan kaya seseorang dan bisa membuat seseorang senang maupun sengsara.
Saya (Syaikh Yusuf Al Qardhawi) pernah melihat dengan mata kepala 
sendiri bagaimana para peziarah kuburan Imam Ridha bersujud sambil 
merangkak ke arah kuburan beliau dari jarak sepuluh meteran. Tentu hal 
ini bisa terjadi dikarenakan kerelaan dan anjuran dari para ulama 
Syi’ah.
Hal ini berbeda dengan perilaku orang-orang awam Ahlu Sunnah pada 
saat mereka melakukan ziarah ke kuburan para wali dan Ahlul Bait yang 
kedapatan berperilaku menyimpang dan bid’ah. Akan tetapi, perilaku ini 
ditolak keras oleh para ulama Ahlu Sunnah. Inilah perbedaan yang 
mendasar antara kami (para ulama Ahlu Sunnah) dengan mereka (para ulama 
Syi’ah). Yaitu para ulama Ahlu Sunnah mengecam perilaku munkar yang 
dilakukan oleh orang-orang awam. Bahkan ada sebagian para ulama Ahlu 
Sunnah yang mengafirkan perilaku orang-orang awam ini. Akan tetapi 
perilaku munkar dan syirik yang dilakukan oleh orang-orang awam Syi’ah 
adalah diridhai dan mendapat dukungan dari para ulama mereka.
8. Syi’ah Melakukan Distorsi Sejarah     
Sesungguhnya Syi’ah telah menjelek-jelekkan para sahabat, 
tabiin, dan para pengikut mereka. Juga mereka berani merubah alur 
sejarah umat Islam sejak zaman yang paling baik (zaman Rasulullah 
Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam dan para sahabatnya dan generasi setelah 
ini). Yaitu zaman terjadinyafutuh (pembebasan negeri dengan 
cara damai) dan kemenangan gilang gemilang serta berbondong-bondongnya 
umat manusia masuk Islam. Juga terbangunnya kebudayaan yang mengacu 
kepada ilmu pengetahuan, iman dan akhlaq juga umat Islam ini mempunyai 
sejarah yang sangat gemilang. Sekarang umat Islam mencoba untuk bangkit 
kembali dengan cara berkaca kepada sejarahnya, menyambungkan masa 
sekarang dengan zaman dahulu. Menjadikan kemuliaan para pendahulu umat 
Islam sebagai figur  untuk mendorong generasi muda kini untuk maju dan 
jaya.
Sedangkan sejarah orang-orang Syi’ah dipenuhi dengan kegelapan. Inilah yang mendorong saya untuk menulis sebuah buku berjudul, 
“Tarikhuna Al Muftara ‘Alayhi” -
Sejarah Kita yang Diselewengkan-. Buku
 ini mengupas sejarah yang benar dan membantah seluruh tuduhan busuk 
orang-orang Syi’ah. Buku saya ini membuat orang-orang Syi’ah gerah. 
Kemudian salah seorang Syi’ah menulis sebuah buku membantah buku saya 
ini. Dia berkata, 
”Yusuf Al Qardhawi ini Wakil Allah Subhanahu Wa Ta’ala atau Wakil Bani Umayyah?”[2]
9. Ajaran Taqiyyah
Di antara ajaran Syi’ah yang menyangkut akhlaq adalah menjadikan 
Taqiyyah sebagai dasar dan pokok ajaran di dalam berinteraksi dengan 
orang lain. Mereka selalu melakukan Taqiyyah, yaitu menampakkan sesuatu 
yang berbeda dengan yang ada di dalam hati. Mereka itu mempunyai dua 
wajah. Wajah yang pertama dihadapkan ke sekelompok orang dan wajah yang 
lainnya dihadapkan ke kelompok yang satunya lagi. Mereka juga mempunyai 
dua lidah.
Mereka berdalih dengan firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala, ”Janganlah
 orang-orang beriman menjadikan orang kafir sebagai pemimpin, melainkan 
orang-orang beriman. Barangsiapa berbuat demikian, niscaya dia tidak 
akan memperoleh apa pun dari Allah, kecuali karena (siasat) menjaga diri
 dari sesuatu yang kamu takuti dari mereka,” (QS Ali Imran [03]: 
28). Akan tetapi, dengan sangat jelas ayat menerangkan bahwa 
dibolehkannya Taqiyyah adalah pada saat darurat yang memaksa seorang 
muslim harus melakukan hal ini (Taqiyyah) karena takut dibunuh atau ada 
bahaya besar yang mengancamnya. Keadaan seperti ini masuk ke dalam 
pengecualian, seperti firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala, ”Barangsiapa
 kafir kepada Allah setelah dia beriman (dia mendapat kemurkaan Allah), 
kecuali orang yang dipaksa kafir padahal hatinya tetap tenang dalam 
beriman,” (QS An Nahl [16]: 106).
Pengecualian ini tidak bisa dijadikan sebagai acuan di dalam 
bermuamalah. Hal ini (Taqiyyah) boleh dilakukan pada saat darurat, yang 
mana keadaan darurat bisa menghalalkan sesuatu yang terlarang. Akan 
tetapi tetap harus dihitung secara cermat. Untuk orang lain yang tidak 
terpaksa, tidak boleh melakukan hal ini. Karena sesuatu yang terjadi 
atas dasar pengecualian tidak bisa dikiaskan.
Akan tetapi Syi’ah Imamiyah menjadikan Taqiyyah ini sebagai dasar di 
dalam muamalah mereka karena para imam mereka membolehkan hal tersebut. 
Dari Ja’far Ash Shadiq bahwasanya dia telah berkata 
”Taqiyyah adalah agamaku dan agama leluhurku.” Ibnu Taimiyyah berkata mengomentari ucapan ini, 
”Allah
 Subhanahu Wa Ta’ala telah menyucikan Ahlul Bait dari hal ini dan mereka
 tidak memerlukan Taqiyyah. Karena mereka adalah orang-orang yang paling
 jujur dan paling beriman. Oleh karena itu, agama mereka adalah Taqwa dan bukan Taqiyyah.”[3]
__________________________________
[1] Padahal semua ini adalah hadits-hadits palsu yang dibuat oleh mereka sendiri.
 
[2] Buku ini ditulis oleh seorang Syi’ah asal Mesir yang bernama Dr. Ahmad Rasim An Nafis.
 
[3] Lihat kitab 
Al Muntaqa min Minhajil I’tidal, karya Imam Adz Dzahabi hal. 68.
 
 
Rep/Red: Shabra Syatila 
Sumber: Fatawa Mu'ashirah 
*)http://fimadani.com/9-kesesatan-syiah-imamiyah-menurut-syaikh-al-qardhawi/