Dalam perjalanan kehidupan gemilang Nabi Muhammad bin Abdullah, kita 
tidak bisa lepas dari sesosok manusia pilihan Allah yang satu ini. 
Seorang pemuda parlente yang cerdas, kaya dan juga necis. Ia 
merupakan dambaan bagi setiap pembesar Quraisy kala itu. Pada setiap 
pertemuan bangsawan Quraisy di Darun Nadwah, kehadirannya selalu 
dinanti. Dan ketika ia datang, maka dipersilahkannya duduk di sana untuk
 berbincang bersama. Para pembesar Quraisy berharap, pemuda ini kelak 
akan menjadi penerus mereka.
Pemuda yang satu ini merupakan keturunan orang berpunya. Rambutnya 
selalu tersisir rapi, pakaiannyapun berasal dari kain yang halus. 
Ditambah lagi dengan kecerdasan dan ketampanannya. Pemuda ini , nyaris 
menjadi idaman setiap perawan di jazirah arab kala itu.
Ketika petinggi Quraisy sibuk membicarakan perihal dakwah Rasulullah,
 ia dengan seksama mengikuti tiap detailnya. Hingga kemudian watak 
kepemudaannya muncul : Penasaran. Ya, ia kemudian penasaran untuk 
mengetahui lebih jauh tentang Muhammad Rasululah dan ajaran yang 
dibawanya. Allah membimbingnya menuju cahaya. Maka dengan ini, 
kesempurnaan fisiknya terimbangi dengan tersinari hatinya oleh cahaya 
Ilahi.
Atas izin dari Allah, ia mengetahui bahwa Nabi dan para sahabatnya 
biasa melakukan liqo’-pertemuan- di rumah Arqam bin Abil Arqam. Jauh dan
 terpencilnya rumah tersebut sama sekali tidak menyurutkan langkah sang 
pemuda untuk menuju ke sana. Hingga kemudian, tepatnya ketika fajar 
hendak menyapa, sampaialah ia di dalam majelis surga itu. Disana , 
Rasulullah membacakan Al Qur’an dan menyampaikan risalah dakwah yang 
beliau emban. Diriwayatkan, sang pemuda yang haus akan kebenaran ini 
‘hampir melayang’ lantaran sangat tenang ketika mendengar bacaan Al 
Qur’an dari Nabi yang menyejukkan jiwa. Maka, Nabipun mengulurkan 
tangannya sehingga tangan mereka saling bercengkerama dalam keromantisan
 imani.
Waktu terus berjalan, ia tetap mendatangi majlis Nabi itu dengan 
mengendap-endap. Bukan lantaran takut diketahui oleh keluarga dan 
pembesar Quraisy, melainkan lebih pada ‘strategi dakwah’ yang 
diinstruksikan oleh Nabi.
Tersebutlah dalam sebuah riwayat, seorang Quraisy bernama Usman bin 
Thalhah yang mendapati sang pemuda berkali-kali mendatangi rumah Arqam. 
Ia juga mendapati ketika sang pemuda melakukan ibadah (shalat) 
sebagaimana ibadah yang dilakukan oleh Rasulullah. Maka, ia mengadu. 
Mengadu yang maknannya khawatir. Apa yang dilihatnya itu diadukan kepada
 Ibu sang pemuda dan pembesar-pembesar Quraisy.
Maka, dipangillah sang pemuda untuk menghadap di tengah-tengah 
pembesar Quraisy. Di sana ada ibunda tercintanya, Khunas binti Malik. Di
 sana, ia diadili.
Pantang mundur sebelum babak belur. Terlanjur basah, ya sudah mandi 
sekali. Mungkin, kalimat itu yang tepat untuk melukiskan sikap sang 
Pemudah Parlente itu. Ia mengakui semua tuduhan tersebut, bahwa ia 
mendatangi rumah Arqam, mengikuti majlis Nabi dan melakukan sholat 
sebagai konsekuensi dari apa yang diikutinya.
Ibu kandung yang seharusnya melindunginya, justru berbalik 
menyerangnya lantaran malu kepada pembesar Quraisy lainnya, ia langsung 
naik pitam mendengar pengakuan tulus anak tercintanya. Ketika sang anak 
menyampaikan ajaran yang diikutinya, Bahwa tiada Tuhan yang wajib 
disembah Selain Allah dan Nabi Muhammad adalah Utusan Allah, serta merta
 sang ibu menghampiri anaknya dan hendak menampar habis-habisan wajah 
tampan anaknya. Dengan ke-Maha Kasih Sayangan Allah, sang Ibu 
mengurungkan niatnya. Wajah teduh sang anak sunguh melunakkan hati sang 
ibu, sedurhaka apapaun dia kepada anaknya. Sebagai konsekuensi dari 
keimanannya, sang ibu memberi ‘hadiah’ kepada anak kesayangannya itu : 
dikurung tanpa diberi makan. Hadiah yang sungguh ‘biadab.’
Hijrah ke Habasyah
Pengurungan yang dialami oleh Pemuda itu berlanjut hingga 
diberlakukannya perintah Rasulullah untuk hijrah ke Habasyah yang 
pertama, sekitar tahun kelima setelah kenabian, tepatnya pada bulan 
Rajab. Rombongan hijrah ini terdiri dari dua belas kaum lelaki dan empat
 kaum wanita.
Setelah mendengar kabar perintah Nabi tersebut, ia mencari cara untuk
 mengelabui ibu dan penjaga selnya sehingga bisa keluar. Dengan 
kecerdasannya, tipu muslihatnya berhasil. Ia keluar dari tahanan ibunya 
dan kemudian bergabung bersama kafilah dakwah menuju Habsyi. Disana, 
pemuda ini tinggal bersama kaum muhajirin lainnya. Mereka hidup secara 
aman, tanpa tekanan sebagaimana dialami mereka ketika berada di Makkah..
 Hingga kemudian pulang menuju mekkah, sesuai titah Rasulullah.
Pertemuan Terakhir dengan Ibunda
Kisah ini merupakan sebuah sekuel sejarah peradaban tentang watak 
keras seorang anak dan ibu. Dimana keduanya bagai langit dan bumi. Tidak
 bisa disatukan dan cenderung saling menguatkan pendapatnya 
masing-masing.
Sepulangnya dari Habasyah, sang pemuda tetap tidak bergeming dengan 
kudeta dari ibu tercintanya. Dengan tidak mengurangi rasa hormatnya, ia 
terus berbakti. Berdakwah, menasehati dan juga mendoakan agar ibunya 
bergabung dalam kafilah dakwah Nabi. Namun, lagi-lagi kita disadarkan 
oleh Allah. Bahwa hidayah mutlak milikNya. Kita tidak akan bisa 
membagikannya secara gratis kepada siappaun yang kita ingini. Meskipun, 
yang kita ingin beri hidayah adalah ibu. Orang yang paling berharga 
kehadirannya, bagi siapapun.
Tibalah masa perpisahan itu. Sang anak terperanjat ketika ibunya 
melontarkan sebuah kalimat usiran. Kalimat yang maknanya ‘perceraaian’ 
antara anak dan ibu kandungnya. Kata sang ibu geram, “ Pergilah sesuka 
hatimu! Sesungguhnya aku bukanlah Ibumu lagi!” dengan tidak mengurangi 
rasa hormat sedikitpun sebagai anak, sang pemuda menjawab dengan santun,
 tegas dan berwibawa, “ Wahai Ibunda! Nanda telah menaruh kasihan kepada
 Bunda dan sudah menasehati Bunda. Karena itu, saksikanlah bahwa tiada 
Tuhan yang wajib disembah selain Allah dan Nabi Muhammad adalah utusan 
Allah.” Sebuah jawaban telak yang maknanya, ‘ Lho Jual, Gua Beli.’ 
Dengan geram, sang ibu menjawab, “Demi Bintang! Sekali-kali aku tidak 
akan masuk ke dalam agamamu. Otakku bisa jadi rusak dan buah pikiranku 
tidak lagi diindahakn oleh orang lain.”
Dan perpisahan itu adalah niscaya. Sebagaimana perpisahan Nuh dengan 
Istri dan Anaknya, antara Luth dengan Istrinya, Aisyah dengan Fir’aun 
juga perpisahan antara Muhammad dengan Abu Thalib. Karena keimanan 
tidaklah mungkin bersatu dengan kekafiran. Kebenaran, selamanya akan 
berbalikan badan dengan keburukan. Cahaya, selamanya akan menajdi lawan 
kegelapan. Maka pemuda itu, resmi ‘bercerai’ dengan ibu kandung yang 
sangat diingininya mendapat hidayah. Semoga kita terlindung dari hal 
demikian.
Syahidnya Sang Pemuda
Waktu terus berjalan. Sang pemuda dengan setia mendampingi Nabi, 
hingga beliau termasuk dalam kafilah dakwah yang hijrah ke Madinah dan 
membentuk sebuah Pemerintahan Islam di sana. Kegigihannya dalam 
menegakkan kalimat Allah sudah tidak bisa diragukan lagi. Dan akhir 
hidupnya, semakin menegaskan bahwa beliau adalah salah satu Ahli Surga, 
Ia termasuk dalam barisan pemuda-pemuda yang dirindukan surga.
Medan Uhudpun bertalu-talu. Mengundang gairah para sahabat yang 
merindu syahid. Tak terkecuali, semua yang tidak berhalangan turut serta
 di dalam barisan syuhada’ itu. Mereka keluar dari kota Madinah dan 
menyongsong musuh di gunung Uhud. Di sinilah, kisah indah itu bermula, 
sang pemuda syahid. Ia menemui Allah dengan senyum kemenangan dambaan 
setiap insan yang beriman.
Tatkala pasukan muslim kocar kacir lantaran ulah beberapa sahabat 
yang ‘gila harta’, dimana pasukan musuh memburu habis-habisan rombongan 
yang diduga akan menyelamatkan Nabi, maka sang pemuda menaikkan 
tinggi-tinngi panji yang dibawanya. Ia berteriak untuk memancing 
perhatian musuh. Agar musuh berbalik mengejar dirinya dan mengacuhkan 
rombongan Nabi. Di sini, sikap kesatriaannya terlihat sangat jelas. Ia 
tak takut mati, sedikitpun. Ia bahkan terlihat seperti singa yang gagah.
 Singa yang nampaknya sudah bisa mencium surga sementara ia masih berada
 di dunia. Ia yang sendiri, nampak seperti dibantu oleh ribuan malaikat.
 Ia berhasil mengalahkan banyak pasukan musuh yang menyergapnya. Sampai 
kemudian datanglah seorang musuh bernama Ibnu Qumaiah. Dengan sisa 
tenaga yang ada, ia berusaha sekuat mampu mempertahankan panji, sembari 
berniat agar Nabi berhasil lari lebih jauh lagi dari kejaran musuh. Ia 
sama sekali tidak megkhawatirkan nyawanya. Yang ada dalam benaknya 
hanyalah surga dan keselamatan Nabi.
Ibnu Qumaiah berhasil memotong tangan kanan sang pemuda. Ia tidak 
bergeming. Panji yang dipegannya kemudian dialihkan menuju tangan 
kirinya. Ia mendekapnya, sementara telapak tangan kirinya masih memegang
 pedang dan mengayunkannya. Sang durjana tetap saja bernafsu untuk 
membunuh sang pemuda, sabetan pedang keduanya berhasil memotong tangan 
kiri sang pemuda. Maka panji yang ada kemudian ia dekap. Sekuat 
dekapannya, dengan sepenuh jiwa. Akhirnya, dengan sebilah tombak, sang 
pemuda tersenyum. Tombak itu ditancapkan oleh Ibnu Qumaiah sehingga 
putus di dalam tubuh sang pemuda.. Tombak itu telah menjadi perantara 
pertemuannya dengan kekasih sejatinya, Allah Subhanahu Wa Ta’alaa. 
Wajahnya menelungkup ke tanah dengan basuhan darah sucinya. Ia syahid di
 medan uhud. Diriwayatkan, setiap kali tangannya terpotong oleh tebasan 
pedang musuh, ia selalu berkata, “ Muhammad hanyalah utusan Allah. Dan 
telah berlalu Nabi-Nabi  yang serupa dengannya.”
Uhudpun berakhir. Rasul bersedih karena sebagian besar sahabatnya 
syahid. Termasuk sang paman Hamzah bin Abdul Muthalib yang syahid 
lantaran bidikan tombak seorang budak sewaan Hindun. Beliau mengelilingi
 medan Uhud dengan wajah sedih. Sedih karena beliau ditinggal oleh para 
pembela agama yang diembannya. Ketika menjumpai jasad Sang Pemuda yang 
tertelungkup, beliau membacakan firman Allah dalam surat Al Ahzab ayat 
23, “Di antara orang-orang mukmin itu ada orang-orang yang menepati 
apa yang telah mereka janjikan kepada Allah; maka di antara mereka ada 
yang gugur. Dan di antara mereka ada (pula) yang menunggu- nunggu dan 
mereka tidak merobah (janjinya).”
Allahu Akbar walillahil hamd! Pemuda itu telah menunaikan 
janjinya. Ia telah menjual dirinya untuk Agama Allah. Ia telah menebus 
nyawanya dengan kesyahidan yang mengharukan. Ia telah membuat kita 
berdecak kagum dengan keberaniannya. Ia selayaknya, menjadikan kita 
menangis sejadi-jadinya, jika ternyata kita tidak mengenal siapa Pemuda 
mulia itu. Sahabat yang berjiwa muda, berparas gagah dan dirindu surga. 
Sang Pemuda Parlente  itu adalah Mush’ab bin Umair Radhiyallahu ‘Anhu. 
Semoga Allah menerima semua kemuliaan beliau. Aamiin..
Akhirnya, sahabat Khabbab bin Al Arrat meriwayatkan, “Tak sehelai 
kainpun untuk menutupi jasadnya selain burdah. Andai ditaruh di atas 
kepala, terbukalah kedua kakinya. Andai ditaruh dikakinya, terbukalah 
kepalanya. Maka Nabi bersabda, ‘ Tutupkan burdah itu di kepalanya dan 
tutupi kakinya dengan rumput Idzkir.”
Mush’ab yang tampan telah memberikan contoh. Bahwa iman bukan 
setengah-setengah. Ia harus diperjuangkan, meskipun harus berpisah 
dengan keluarga yang dicintai, harta yang dibanggakan, pun nyawa yang 
tinggal satu-satunya. Dari Mush’ab kita juga belajar, bahwa bakti kepada
 orang tua harus terus dilakukan, meskipun orang tua kafir. Semoga kita 
bisa meneladani Mush’ab, sekuat kemampuan kita. Mush’ab, aku rindu 
padamu.
Oleh: Usman Al Farisi