Dalam setiap masa, selalu ada orang brilian yang layak di
 teladani. Dengan segala macam cara dan penemuan baru serta pemikiran 
cemerlang. Tanpa kenal lelah, mereka telah berusaha semaksimal mungkin 
untuk berkarya dan memberikan sesuatu yang terbaik bagi kemaslahatan 
umat manusia. Ini merupakan cara mereka untuk beribadah dan berjuang 
bagi kepentingan umat.
Figur seorang filsuf muslim yang namanya sudah tidak asing dalam dunia Islam. Nama lengkapnya: Abu Nasr  Muhammad bin Tarkhan bin Awzalagh al-Farabi. Dalam teks-teks Latin di abad pertengahan, ia di kenal dengan nama Alfarabius atau Avennasar.
 Beliau lahir pada tahun 257 H / 870 M, di kampung Wasij di dalam 
wilayah Farab si seberang Sungai Sihun dan Jihun (Republik Turkistan 
sekarang). Ayahnya berasal dari Iran dan menjadi tentara kerajaan 
Samaniah dengan pangkat rendah. Sedangkan ibunya berasal dari daerah 
Turkistan. Dalam hal pendidikan keluarga, ayahnya sangat tekun mengajari
 anak-anaknya tentang ilmu bahasa dan ilmu agama, selain mengajarkan 
ilmu-ilmu yang berkaitaan dengan keduniawian.
Sejak kecil ia sudah menunjukkan kecerdasannya yang luar biasa. 
Secara rutin Abu Nasr muda mengunjungi masjid kampung Wasij dan masjid 
kota Farab untuk menghafal Al-Qur’an dan belajar fikih, hadis dan 
tafsir. Tidak hanya itu, bahasa Persia, Turkistan dan Kurdistan menjadi 
pelajaran yang sangat ia senangi, disamping mengasah keahlian dalam 
membaca dan menulis bahasa arab.
Urusan duniawi tidak menjadi hal yang mendasar yang diperhatikan Abu 
Nasr. Sedikitpun ia tidak terpengaruh. Hal itu bisa dilihat dari 
kehidupannya yang sangat sederhana. Tempat tinggal, makan minum, dan 
urusan pakaian, semuanya serba sekedarnya. Ia lebih gemar memakai 
pakaian kebangsaan Turki yang ringkas dan tidak menonjolkan kemegahan 
dalam berbusana. Dalam urusan makan secara konsisten ia menerapkan 
Sunnah Nabi, hanya makan ketika lapar, dan berhenti sebelum kenyang.
Tiada hari ia lewatkan tanpa bertafakur dan berfikir, baik tentang 
hal-hal dunia maupun akherat. Jiwanya selalu gelisah dan mengembara 
mengikuti akalnya menjelajah. Jarang sekali ia pulang ke rumah keluarga 
atau sanak saudaranya. Waktunya banyak dihabiskan untuk membaca dan 
menulis di taman, di pinggiran Sungai atau di atas Gunung. Tempat-tempat
 itulah yang menjadi saksi bisu pengembaraan jiwanya.
Suatu hari ayahnya menyempatkan diri duduk bersama dan 
berkata, “Sekarang kamu sudah besar, sudah hampir berusia 20 tahun, kamu
 lebih gemar kehidupan damai daripada kehidupan perang, kehidupan 
menyendiri daripada kehidupan bermasyarakat, bukannya ayah memintamu 
untuk jadi tentara atau pahlawan berkuda, tetapi ayah ingin kamu segera 
menikah dan meninggalkan kehidupan menyendirimu.”
 
Abu Nasr menjawab, “Ayah, saya bernazar, seluruh hidup saya ini akan 
dibaktikan untuk ilmu dan kehidupan ilmiah. Perkawinan dan anak 
merupakan masalah bagi seorang penuntut ilmu, karena bisa mengalihkan 
perhatian terhadap ilmu dan para ulama. Saya lebih senang hidup seperti 
ini dan bisa leluasa membaca kitab-kitab ulama zaman dahulu dan zaman 
sekarang.”
Ayahnya sangat kagum dengan prinsip yang dikemukakan Abu Nasr, lantas
 berkata, “Terserah kehendakmu! Semoga Allah SWT memudahkanmu untuk 
ilmu, dan memudahkan ilmu untukmu.”
Harta Amanah
Di Farab, tinggal seorang ulama yang kurang begitu terkenal, 
dikalangan para ulama, namun, ulama ini mempunyai banyak koleksi kitab, 
mulai dalam bidang logika, filsafat, musik, hingga bidang matematika. 
Separuh dari kitab itu ditulis dengan tangannya sendiri dan yang lainnya
 dibeli dari penjual kitab disepanjang pengembaraannya dari timur dan 
barat. Suatu hari ulama ini ingin mengembara satu kali lagi, namun 
bingung dengan keberadaan kitab-kitab di perpustakaannya yang tidak 
terjaga. Oleh karena itu, ia membawa semua kitabnya kepada Abu Nasr.
“Kamu adalah orang yang palin arif di Farab, dan mengerti nilai 
kitab-kitab ini,” kata ulama itu kepada Abu Nasr. “Setengah kitab ini 
berhubungan dengan bidang ilmu yang belum kamu ketahui, saya akan pergi 
dari kota ini untuk menyelesaikan beberapa urusan pribadi. Saya telah 
mencari kesana kemari seseorang yang dapat di beri amanah untuk menjaga 
kitab-kitab ini sampai saya kembali. Saya tidak dapat menemukan seorang 
pun, selain kamu yang sangat mencintai ilmu dan kitab-kitab. Kamu boleh 
memanfaatkan kitab-kitab ini selama saya pergi. Jika saya tidak kembali 
dalam masa 10 tahun, maka kitab-kitab ini menjadi milikmu. Saya tidak 
tahu lagi dimana saya akan menetap atau kapan ajal akan datang menjemput
 saya!”
Abu Nasr mengucap syukur dan merasa beruntung dengan adanya 
kitab-kitab peninggalan ulama yang musafir itu. Dengan tekun dan 
gembira, ia menelaah dan mempelajari kitab-kitab tersebut satu per satu.
 Kitab-kitab itu meliputi bidang filsafat, logika, matematima dan musik 
yang merupakan hasil karya ulama-ulama dari berbagai bangsa. Ada pula 
kitab terjemahan dari bahasa Yunani karangan Aristoteles dan Plato dalam
 bidang filsafat dan logika.
Masa 10 tahun telah berlalu, pemilik kitab tersebut tidak juga 
kembali dari pengembaraannya, selama masa itu Abu Nasr telah membaca 
kitab tersebut berpuluh-puluh kali. Bahkan kitab De Animus (perihal Roh)
 hasil karya Aristoteles, tercatat telah dibaca seratus kali. Ia begitu 
berkorban untuk mendapatkan ilmu. Semua kelelahan dan kebosanan di 
laluinya dengan sabar dan ikhlas. Setiap kali kitab itu dibaca ulang, 
beliau merasa menemui makrifat dan hakkikat yang baru. Ia sampai pada 
tingkatan mampu mengkritik, menambah dan membetulkan pendapat-pendapat 
dalam kitab-kitab itu dan membuat penjelasan (Syarah) perkara-perkara 
yang masih samar. Atas ketekunan dan kegigihannya, masyarakat di Farab 
memberinya gelar “Al-Farabi”, sebagai kebanggaan dan penghormatan terhadapnya.
 
Pengembaraan yang Abadi
Terinspirasi oleh ulama musafir yang mewariskan kitab-kitabnya, 
Al-Farabi pergi menjelajah mencari ilmu, melihat dunia dan bertemu para 
ulama, beliau sangat berhasrat untuk membeli, meminjam, atau menyewa 
kitab supaya dapat disalin dengan tulisannya sendiri. Wilayah jelajahnya
 meliputi Asia tengah, Iran dan Khurasan (Afganistan). Semua harta benda
 warisan ayahnya diberikan kepada kerabatnya. Beliau sudah merasa  cukup
 kaya dengan jiwa dan ilmunya. Dimana saja berhenti, beliau meninggalkan
 sebuah kitab kepada seorang ulama atau menurunkan sebagian ilmunya 
kepada seorang penuntut ilmu yang namanya pernah beliau dengar.
Pada usia 50 tahun, tapatnya pada tahun 310 H / 922 M, ia memasuki 
kota Baghdad. Niatnya sudah bulat ingin menemui maha guru ilmu logika, 
yaitu Abu Bishir Matta bin Yunus. ulama-ulama di Siraz memberi tahu 
bahwa ia dapat bertemu dengan sang maha guru ini setelah sembahyang 
magrib di masjid besar Baghdad.
Pada pertemuan yang baru pertama kali terjadi, secara bergurau, Abu 
Bishir bertanya, “Abu Nasr! Apakah setelah berumur lanjut seperti ini 
kamu baru datang untuk belajar ilmu logika. Filsafat dan matematika?”
Al-Farabi menjawab, sambil tersenyum, “Tuan An-Nabighah Az-Zubyani, 
menghasilkan syair yang begitu indah dan bernilai seni tinggi setelah 
berumur 40 tahun. Ilmu itu harus kita cari mulai dari buaian ibu sampai 
liang lahat. Dalam bidang ilmu, saya telah membuat beberapa sumbangan 
dengan menulis syarah-syarah tentang ilmu logika dan filsafat. Namun 
harus di ingat bahwa setiap orang yang berilmu, tentu ada lagi orang 
yang lebih berilmu,” jawabnya diplomatis.
Penjaga Taman
Abu Bishir menjamu dan melayani Al-Farabi layaknya sebagai tamu 
kehormatan. Di sela-sela menikmati hidangan, Abu Bishir bertanya, 
“Apakah kamu mempunyai uang untuk hidup sehari-hari? Atau kita harus 
meminta sumbangan dari baitul Hikmah, Baitul Mal atau dari penguasa yang
 menaungi ilmu dan para ulama?”
Al-Farabi menjawab, “Tuan tidak perlu bimbang tentang kehidupan 
sehari-hari saya. Saya masih ada beberapa Dinar. Lagi pula saya lebih 
suka bekerja mencari nafkah daripada bergantung kepada belas kasihan 
orang lain. Sejak bertahun-tahun lalu, saya memilih suatu pekerjaan yang
 tidak menghalangi saya berfikir, belajar dan mencari ilmu, yaitu 
sebagai penjaga Taman.”
Abu Bishir berseru dengan heran, “Apa? Kamu bekerja sebagai penjaga taman? Berapa kamu di beri upah sebagai penjaganya?”
Al-Farabi menjawab, “Empat puluh dirham, cukup untuk makan minum 
selama sebulan, membeli makanan keledai, sisanya untuk membeli kertas 
dan tinta. Taman itu tidak banyak memerlukan penjagaan kecuali pada 
malam hari. Oleh karena itu, saya menjaga taman malam hari, dengan 
ditemani cahaya lilin tanpa memejamkan mata sehingga matahari terbit. 
Kemudian saya tidur selama tiga jam, setelah bangun langsung menyiapkan 
sarapan, kemudian keluar menemui para ulama.”
Abu Bishir kini maklum, bahwa dia berhadapan bukan dengan ulama 
sembarangan. Al-Farabi merupakan ulama yang memilih hidup membujang 
daripada beristri dan mempunyai anak. Ia merupakan seorang ulama yang 
menumpahkan seluruh pikiran dan jiwanya untuk mencari ilmu. Al-Farabi 
adalah seorang yang telah membebaskan rohnya dari nafsu syahwat dan 
harta benda. Beliau memilih suatu pekerjaan yang belum pernah dilakukan 
oleh ulama-ulama sebelumnya, yaitu penjaga taman.
Selanjutnya, selain mempelajari logika dan filsafat kepada Abu 
Bishir, ia juga mendalami ilmu Nahwu dan Sharaf kepada Abubakar 
As-Sarraj. Ia mempelajari kamus Al-Ain karangan Al-Khalil bin Ahmad, 
yang merupakan kamus bahasa pertama yang ditulis dengan berbagai bahasa 
di dunia. Ia juga mempelajari Al-Kitab, karangan Sibawaih dalam bidang 
Nahwu, tak ketinggalan dalam bidang lain seperti Balaghah (Ritorika). Ia
 mempelajari semua itu dalam rentang waktu dua tahun. Penguasaan 
Al-Farabi dalam ilmu bahasa Arab membuatnya dapat menciptakan istilah 
bagi istilah Yunani atau Persia dalam bidang logika, filsafat, 
matematika dan musik.
Al-Farabi melanjutkan pengembaraannya ke Harran (di barat daya Turki 
sekarang). Kota ini merupakan salah satu pusat keilmuan islam khususnya 
dalam bidang logika, filsafat, pengobatan dan penerjemahan ilmu-ilmu 
Yunani ke dalam bahasa Arab. Tujuan perjalanannya untuk menemui seorang 
lagi tokoh ilmu logika, filsafat, pengobatan yang menetap di Harran 
yaitu Yuhanna bin Hilan.
Ujian di Kota Aleppo
Al-Farabi melanjutkan perjalanannya ke kota Aleppo di Syria setelah 
10 tahun menetap di Baghdad. Di kota ini Amirnya bernama Syaifud Daulah 
yang terkenal sangat mencintai ilmu, para ulama, penyair penulis dan 
ahli keduniaan.
Pertama kali dalam hidupnya, ia menghadap Amir yang notabene sebagai 
pemerintah. Sang Amir terlihat sedang duduk di singgasana tinggi dengan 
di kelilingi para ulama di kiri kanannya. Al-Farabi di minta duduk 
seperti ulama-ulama lainnya. Namun beliau tidak menurut perintah 
tersebut. Beliau berkata, “Siapa yang akan duduk di situ, Tuanku atau 
saya? Sang Amir berseru, “Kamu!” tetapi Al-Farabi tidak menghiraukan 
semua itu dan berjalan lalu duduk di singgasana bersebelahan dengan sang
 Amir. Atas tindakannya ini, Al-Farabi, harus di uji untuk menjawab 
berbagai hal yang ditanyakan oleh para ulama-ulama lain, apabila ia 
tidak bisa menajwab, hukuman nya akan di bunuh.
Para ulama bertubi-tubi mengajukan berbagai persoalan kepada 
Al-Farabi dalam bidang Fikih, Hadis, tafsir, ilmu kalam dan ilmu bahasa,
 ditambah dengan pertanyaan seputar logika, filsafat dan matematika. 
Al-Farabi dengan mudah, lancar dan mendalam sambil menyebut 
hujjah-hujjah dan contoh-contoh menjawab semua persoalan yang diajukan. 
Akhirnya jawabannya menjadi sebuah kitab yang di beri judul “Risalah fi jawabil Masa’il Su’ila anha al-Farabi (risalah tentang jawaban kepada persoalan-persoalan yang dia ajukan kepada Al-Farabi).
Puncak Kematangan Ilmiah
Puncak kematangan ilmiah diraih Al-Farabi ketika mencapai usia 60 
tahun. Beliau masih tegap, sehat dan sangat baik penglihatannya. Dalam 
bidang logika ia menulis beberapa jilid tentang buku Organon-nya 
Aristoteles. Jilid-jilid tersebut kebanyakan masih berupa manuskrip dan 
bisa ditemukan di banyak perpustakaan Arab dan negera-negara lain.
Ia banyak menulis tentang kitab-kitab yang berkenaan dengan bidang 
filsafat, fisika, matematika, metafisika, akhlak dan politik. Kebanyakan
 kitab ini sampai kepada kita, dicetak dan diterjemahkan kedalam 
berbagai bahasa modern di dunia. Al-Farabi menulis dengan sangat teliti 
dan padu sehingga tidak terdapat unsur-unsur pengulangan. Makna-makna 
yang padat diungkap menjadi perkataan yang ringkas. Ia tidak 
mensyarahkan persoalan yang sudah menjadi pengetahuan umum, sebaliknya 
ia hanya mensyarah topik-topik serta peristiwa-peristiwa yang utama 
saja. Semua itu ia niatkan untuk memudahkan ulama-ulama lain agar tidak 
membuang masa hidupnya hanya untuk mensyarah persoalan-persoalan yang 
biasa.
Selama di Baghdad, Al-Farabi merangkum berbagai persoalan yang terjadi ke dalam dua buah kitab, yaitu At-Tanbih ala sabili as-Sa’adah (menyadarkan orang kepada jalan kebahagiaan) dan Ara ahl al-Madinah al-Fadhilah
 (pendapat warga kota sempurna). Di samping itu, ia menulis kitab tidak 
kurang dari 70 kitab dan risalah tentang topik-topik yang unik, tanpa 
unsur-unsur pengulangan di dalamnya.
Karya-karya Al-Farabi dalam bidang logika antara lain: 1) At-Tawti’afi al-Matiq, di edit oleh Mr. Turker dengan terjemahan bahasa Turki (Ankara-1958 M) 2) Introductory Section on Logic, edisi bahasa Inggris, oleh DM. Dunlop (1995 M), sedang edisi bahasa Turki Oleh M. Turker (Ankara 1958 M) 3) Treatise in The Canons of Art of Poerty,
 edisi bahasa Inggris oleh AJ. Arberry (1938) sedang teks bahasa Arabnya
 di cetak ulang oleh A. Badawi (Cairo 1953 M). karyanya di bidang fisika
 antara lain: 1) Against Astrology di edit oleh F.Dieterisi (Lieden 1890 M). sedang terjemahan dalam Bahasa Jerman terbit tahun 1892 M. 2) De Intelectual (Fi al-Aql)
 buku ini terdapat edisi kritik pleh M Bouyges (Bierut 1936 M) sedang 
versi bahasa Latinnya dikerjakan oleh E. Gilson (1929 M). dalam bidang 
Metafisika antar lain: 1) About the Scope of Aristoteles Metaphysics, di edit dan di terjemahkan dalam bahasa Jerman oleh F. Dieterici. 2) one the one (Fi al-Wahid wa al-Wahdah). Edisi kritik dan terjemahannya dalam bahasa Inggris dikerjakan oleh H. Mushtaq.
Mahakarya Al-Farabi yang paling monumental adalah Ihsa al-Ulum (Ensiklopedi ilmu)
 yang di sunting dan diterbitkan di Kaherah oleh DR. Uthman Amin. Kitab 
ini mengumpulkan semua ilmu Al-Farabi dalam berbagai bidang. Karya ini 
merupakan Ensiklopedi pertama dalam sejarah pemikiran Islam, bahkan 
dalam sejarah pemikiran umat manusia. Di dalamnya di jelaskan ilmu-ilmu 
yang terkenal pada zamannya satu demi satu, bagi setiap bidang ilmu, ia 
jelaskan cabang-cabangnya juga.
Al-Farabi meninggal di Damaskus pada tahun 339 H / 950 M dalam usia 
kurang lebih 80 tahun. Namun hingga kini, karya-karyanya masih terus 
dipelajari orang dan menjadi rujukan dalam berbagai bidang. Sudah 
selayaknya kita dapat mengambil tauladan dari perjalanan hidupnya dan 
mencontoh dedikasinya yang tak mengenal lelah.
 
(Tulisan ini diadaptasi dari Hidayah Edisi 26 Tahun 2003)
www.sufiz.com